Pujian, harapan melangit dan patung. Setidaknya itulah ekspresi yang populer masyarakat kita tentang Obama. Namun, apakah semua orang benar-benar menyanjungnya? Kenapa popularitas orang yang digadang-gadang sebagai Dewa Perdamaian itu jeblok? Yuk kita “sambut” Obama....
Obama, kuucapkan selamat datang di negeri ini. Negeri yang sebenarnya penuh dengan karunia alam dari Rabb kami, namun tak dapat kami enyam. Kenikmatannya telah direnggut bangsamu yang bersekongkol dengan sebagian orang yang kebetulan menjadi pemimpin kami. Kuharap kau sempat mampir ke Papua; pulau dengan gunung emasnya yang telah bangsamu rambah sejak dulu hingga kini, sementara penduduknya masih ada yang terbelakang, bahkan mati kelaparan. Atau, mampirlah ke Cepu, lautan minyak kami yang bangsamu sedot, namun masih ada sebagian penduduknya yang hanya mampu hidup dengan geplak dan tiwul.
Selamat datang di zamrud katulistiwa. Negeri yang sebenarnya cukup kaya, namun bangsamu lihai merayu mereka untuk menerima lautan utang yang menjadi warisan—entah sampai generasi ke berapa dari—anak cucu kami. Bangsamu memang hebat. Menyusup ke birokrasi kami untuk membuat langkah-langkah konyol yang membuat finansial kami sekarat dan akhirnya mengemis kepada bangsamu. Tak perlu kau tutupi, sebab Jhon Perkins, salah satu wayangnya telah mengaku jujur kepada dunia ihwal segala sepak terjang busuk bangsamu terhadap kami. Dan, kedatanganmu kali ini sungguh tepat waktu. Saksikanlah dari dekat gejolak bangsa kami oleh skandal bank ribawi yang melibatkan “mafia Berkeley” didikan bangsamu. Mereka yang begitu teguh memegang prinsip ekonomi riba warisanmu.
Selamat datang di negeri sejuta pesantren. Negeri yang dihuni mayoritas Muslim yang taat dan rajin menimba ilmu. Sayang, ketidakrelaan bila kami komitmen terhadap agama kami, membuat bangsamu kasak-kusuk bergerilya di sekolah-sekolah kami. Menawarkan berbagai bantuan ke madrasah-madrasah kami, dengan syarat tak lagi mengajarkan Islam secara utuh. Cukup “Islam” yang toleran saja.. yang tetap berdiam membisu meski kedurjanaan bangsamu menari di depan mata. Bangsamu pun menawarkan pendidikan lanjutan di luar negeri. Atas dalih pertukaran pelajar dan perluasan wawasan, namun hakikatnya adalah sebuah langkah cuci otak para generasi kami. Mereka pulang membawa oleh-oleh hiruk-pikuk pemikiran. Datang dengan paham-paham nyeleneh yang sejatinya menyimpang dari ajaran agama kami, namun tetap ngotot menyandang sebagai kaum “Islam.” Meski betapa pun liberalnya pemikiran dan tidak tanduk mereka.
Selamat datang di negeri yang merdeka dengan jihad, dibayar dengan darah dan keringat para santri dan ulama. Namun bangsamu sungguh hebat, sanggup memutar-balikkan logika. Jihad, kunci utama gerbang kemerdekaan bangsa ini, atas pengaruh luar biasa dari bangsamu, kini disamakan dengan kekejian dan keberingasan. Jihad, yang tanpanya Islam tak akan sampai ke negeri kami, kini menjadi pesakitan… terdakwa atas segala macam kekacuan dan keonaran.
Selamat datang di negeri yang diwarnai para penjilat. Sudah lama mereka menanti kedatanganmu, mengelu-elukan dirimu hanya karena kau pernah sesaat tinggal di negeri ini, berujar, “Nasi goreng kesukaan saya…” Begitu hebat penuhananmu oleh mereka, sampai-sampai sebuah patung dibuat untuk mengenang dirimu. Persis seperti Bani Israel yang menyembah patung anak sapi. Atau kaum Nabi Nuh yang mematungkan tokoh-tokoh mereka. Akankah nasib yang akan menimpa kami sama dengan Bani Israel atau kaum Nabi Nuh yang terlaknat?
Selamat datang, Obama... Nikmatilah, karena sejatinya negeri ini milikmu. Engkaulah penguasa di sini, meski harus memakai kepanjangan orang-orang lokal yang menjadi pemimpin di negeri ini. Namun, jangan kau lupa, negeri ini menyimpan sekelompok orang yang tak pernah sudi menjilat pada diri dan bangsamu. Mereka, tak silau oleh sinar dan sihir pesona memancar dari balik senyummu. Atas rahmat dari Rabbul Alamin, bashirah mereka tetap hidup. Sehingga, masih mampu menangkap jerit dan lolongan saudara-saudara Muslim kami di balik seringai senyummu.
Mereka tidak pernah lupa kejahatan kemanusiaan yang kau pimpin di Iraq, Afghanistan dan bumi kaum Muslimin lainnya, meski engkau disandangi gelar Nobel Perdamaian. Mereka yang tetap melihat kebiadabanmu yang telanjang di bumi Palestina, meski engkau berpura-pura tampil sebagai pahlawan nanggung, yang hanya bernafsu meraup popularitas tanpa mau menindak tegas Israel sebagai biang keladi. Huh... mana mungkin pula engkau menindak, sedangkan engkau—betapa pun aneka baju yang kau kenakan—sejatinya adalah bagian dari bangsa zionis itu.
Jadi, kuharap engkau jangan mabuk dulu oleh gegap pujian para penjilatmu. Keberadaan mereka sangat mempengaruhi masa depanmu. Sebab, bagi mereka, Islam tak dapat dikalahkan. Mereka, boleh jadi hancur berkalang tanah oleh dahsyatnya genderang perang yang kau tabuh. Namun, kehancuran mereka menjadi pupuk yang menumbuhkan generasi baru di belakang mereka yang semakin mendekatkan kami kepada janji langit bahwa: Islam pasti akan menang!
Redaksi MuslimDaily, Solo