View Full Version
Rabu, 24 Mar 2010

Menggugat ''Pemaksaan'' Nyepi Kepada Umat Non-Hindu di Bali

Seorang provokator pluralis, Dawam Raharjo, pernah mengeluarkan pernyataan provokatif. ”Indonesia yang penduduknya mayoritas muslim, seharusnya dipimpin oleh golongan non muslim yang minoritas, agar kontrol sosialnya mengena. Pasalnya, bila yang mengontrol lebih banyak, maka yang sedikit akan berfikir seribu kali untuk menyeleweng,” demikian kata pokrol aliran sesat Ahmadiyah tersebut.

Permulaan Maret 2008 dua tahun lalu, bertepatan dengan pergantian tahun Saka 1930. Setiap menyambut kedatangan tahun baru, warga Hindu Bali melaksanakan hari raya Nyepi. Ritual Nyepi memiliki empat inti, yang disebut Catur Brata, meliputi amati geni (tidak boleh menyalakan api atau lampu), amati karya (tidak boleh bekerja, berbuat gaduh, atau memukul-mukul), amati lelungan (tidak boleh bepergian, keluar pekarangan), dan amati lelanguan (tidak boleh makan). Di Bali, mematuhi Catur Brata bukan hanya kewajiban kaum Hindu, tetapi juga “dipaksakan” kepada umat penganut agama lain.

Minoritas warga non-Hindu di daerah itulah yang menjadi korbannya. Warga non-Hindu di Gianyar dan Denpasar misalnya, dilarang menyalakan lampu pada hari itu. Bila melanggar, tak jarang rumah mereka dilempari. Barangkali hanya oknum semata. Di lain kejadian, pernah seorang anggota TNI non-Hindu yang anggota keluarganya meninggal, terpaksa menunda pemakaman, demi memenuhi tuntutan ritual Nyepi. Bukan itu saja, seluruh penerbangan nasional maupun internasional ditiadakan karena Bandar udara ditutup.

Bahkan pernah terjadi ketika Nyepi jatuh pada hari Jumat, umat Islam yang hendak melaksanakan kewajiban syariat nya beribadah Jumat tidak diperkenankan mengumandangkan adzan. Kalao masalah ini mungkin tidak terlalu masalah. Untuk mencapai masjid mereka harus berjalan memutar agar tidak melewati pemukiman warga Hindu Bali. Kaum Muslim yang tinggal di tengah pemukiman kaum Hindu Bali bahkan tidak sedikit yang tidak bisa shalat Jumat. Mungkin terkecuali di daerah kampung Bali yang mayoritas Muslim (kampung muslim).

Tragisnya, perayaan Nyepi beberapa tahun lalu jatuh pula pada hari Jumat (7 Maret 2008). Kenyataan ini dengan sangat jelas telah mengganggu hak asasi, menghambat ibadah umat Islam, yang suatu saat bukan mustahil menyuburkan benih-benih konflik horizontal.

Mengapa segala intoleransi ini tidak pernah dianggap sebagai bentuk diskriminasi, dan tidak pernah ada dari golongan pembela demokrasi, pembela HAM, atau pengumandang pluralisme yang menggugat ketimpangan tersebut, seperti saat mereka menggugat RUU APP dan RUU P yang nyata-nyata bertujuan demi kemaslahatan umat dan bangsa Indonesia? Mengapa orang-orang itu tidak pernah mengatakan, ”Bali bukan hanya diisi oleh orang Hindu saja Bung…!” seperti saat mereka menolak penerapan Syariat Islam secara nasional maupun daerah di Indonesia dengan sering mengatakan dan berteriak, ”Indonesia bukanlah negeri yang berisi Islam saja. Indonesia bukanlah Timur Tengah. Indonesia adalah Bhineka Tunggal Ika dst…!” Aneh ……!!!!!

Munculnya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) ”Kota Injil” di Manokwari bulan April tahun lalu masih bisa dimaklumi kemarahan mereka sebagai reaksi atas lahirnya perda-perda Anti Maksiat bernuansa Syariah Islam dan rencana pendirian Islamic Center, kendatipun alasan mereka juga kurang masuk akal. Lain halnya umat Hindu di Bali, alasan apa yang bisa diterima akal sehat sebagai pembenaran atas perilaku diskriminatif yang sudah berlangsung lama ini yang barangkali di negeri asalnya saja tidak se-arogan dengan memaksakan seluruh pemeluk agama untuk nyepi (kecuali beberapa petugas dan pecalang)?

Mereka tentu menyadari, sedang berdomisili di sebuah negeri, yang penduduknya mayoritas beragama bukan Hindu. Dan eksistensi negara ini lahir berasal cucuran darah para ulama dan laskar umat Islam, serta para santri. Tetapi mengapa masyarakat Bali bersikap “jumawa “dan tidak takut dituduh melangar hak asasi dan hak beribadah masyarakat non-Hindu? Perlukah tradisi budaya Nyepi ini dipertahankan seperti metodenya saat ini dengan “mematikan sementara” denyut nadi seluruh kegiatan di Bali tanpa pandang bulu para penduduknya yang berlatarbelakang heterogen meskipun mayoritasnya Hindu?

 

Pertanyaan di atas mencermati fakta bahwa hanya pemeluk Hindu Bali saja yang “memaksakan” ritual Nyepi dengan model seperti ini, sedangkan umat Hindu lain melakukan Nyepi di rumah sendiri-sendiri tanpa menganggu aktivitas orang dan pemeluk agama lain. Bahkan di India yang menjadi pusat kelahiran Hindu pun tidak dijumpai “Nyepi” massal ala Bali ini. Demikian yang kukutip dari Saras Dewi, dosen filsafat di Universitas Indonesia (UI) dan pengajar Filsafat Upanishad di Sekolah Tinggi Agama Hindu, Rawamangun Jakarta, dalam sebuah wawancaranya di sebuah media. Ketika menjawab pertanyaan: “Apakah ritual Nyepi ini adalah khas Bali?

Betul, walaupun mungkin ada beberapa hindu-hindu lain di India yang juga ikut merayakannya. Bali ini kan adatnya luar biasa banyak. Ada Galungan, Kuningan, Hari Raya Saraswati dan lain sebagainya, yang mungkin di India tidak dirayakan. Atau dirayakan dengan versi yang berbeda. Kalau Hindu di Bali versi perayaan penghormatan terhadap Tahun Baru Saka ya seperti ini. Mungkin Hindu yang lain berbeda lagi. Karena Hindu itu memiliki denominasi atau sekte yang luar biasa banyak.

Ahmed Fikreatif


latestnews

View Full Version