View Full Version
Rabu, 07 Apr 2010

Mimpi Memimpin

Oleh Burhan Sodiq

Pemimpin bagi kita adalah sebuah tahta yang sangat agung. Di pihaknya lah nasib sebagian besar jamaah akan dipertaruhkan. Kalau pemimpinnya bagus, maka rakyatnya juga akan bagus. Tetapi kalau pemimpinnya bodoh, rakyatnya juga akan bodoh. Itulah kenapa kemudian kita harus jeli dan cerdik memilih pemimpin kita. Baik dari lingkup yang paling kecil berupa keluarga, maupun lingkup yang paling besar bernama negara.

Pemimpin yang baik juga bukanlah sebuah kebetulan. Dia adalah sosok yang dipilih, dibentuk dan didaulat untuk menjadi orang nomor satu di masyarakatnya. Bukan orang yang hanya dianggap menarik untuk menjadi pemimpin. Kalau dalam Islam, secara sederhana kita bisa melihat dalam praktek shalat jamaah. Memilih imam tidak bisa dilakukan dengan asal asalan. Dicari dulu orang yang paling senior, secara usia dan pengalaman. Kemudian dicari apakah yang bersangkutan memiliki hapalan dan bacaan yang bagus. Sebab kalau ternyata ia tidak memilikinya, maka ia harus rela diganti oleh yang muda. Jadi, sistem pemilihan juga sangat menentukan baik dan buruknya pemimpin kita.

Nah, sistem pemilihan langsung yang dianut oleh bangsa kita bisa jadi menimbulkan masalah, bila penentuan dipilih atau tidaknya hanya karena aspek popularitas saja. Siapa yang paling populer di masyarakat, maka dia lah yang akan pantas menduduki tahta. Akhirnya penentuan pemilihan pemimpin bukan karena dia cakap, pinter, cerdas, bijaksana, terhormat atau karena faktor kepribadian lainnya. Dia dipilih hanya karena dia paling dikenal di masyarakatnya, paling disukai, paling digemari dan paling banyak dipajang fotonya di jalanan dan media massa.

Padahal tingkat kepopuleran bisa jadi bermakna banyak. Mungkin populer karena kebaikannya, atau bahkan malah populer karena seringnya membuat sensasi di masyarakatnya. Lalu, logika apa yang akan digunakan bila kemudian orang mengajukan diri sebagai pemimpin karena dia populer dengan label bom seks-nya. Dia diajukan sebagai pemimpin bukan karena kecakapan berorganisasi atau mungkin kepandaian dalam mengelola masyarakat, tetapi hanya karena dia terkenal dengan tubuh dan aurat yang sering diumbarnya.

Masyarakat mulai tidak peduli dengan moralitas. Hanya karena aspek popularitas kemudian mereka gelap mata dengan aspek-aspek besar lainnya. Partai yang konon memperjuangkan rakyat itu akhirnya lebih memilih cara-cara instan untuk menguasai sebuah pemilihan pemimpin di wilayahnya. Jelas hal ini merupakan kemunduran yang luar biasa dalam sistem pemilihan pemimpin kita. Suara rakyat adalah suara tuhan, nampaknya tidak akan berlaku bila model sistem pemilihannya semacam ini. Karena rakyat yang ada sekarang ini bukanlah rakyat yang benar-benar memahami islam. Sehingga pilihan pilihan mereka jauh dari apa yang dipilih oleh Islam.

Sebuah survey di Pacitan menyebutkan bahwa pemilih pemula yang merupakan para mahasiswa dan anak SMA menghendaki artis pengumbar aurat itu yang akan menjadi wakil bupati daerah itu. Ini adalah sebuah musibah besar yang melanda negeri ini. Semoga kita semua bisa bertaubat dari hal hal semacam ini.

Rakyat harus sadar dengan pilihannya. Jangan sampai mereka menjadi sangat buta dengan hidayah Allah ta'ala. Bila calon pemimpinnya saja mengurus auratnya tidak bisa, lalu bagaimana dia bisa menjadi pemimpin bagi umatnya. Semua harus mawas diri dan introspeksi, karena memilih dan dipilih pemimpin bukan hanya di dunia saja tanggung jawabnya, tetapi juga akan dipertanggungjawabkan di mahkamah Allah Ta'ala.

Konsekuensi Demokrasi memang akan menjadi seperti ini. Siapapun berhak mencalonkan diri jadi pemimpin, apakah itu artis ataukah ulama. Kedudukan mereka menjadi sama di mata hukum, pendapatnya juga akan berbobot sama di muka masyarakat. Padahal kita sangat tahu, bahwa pendapat ulama lebih sahih dan berbobot. Apakah sama orang yang berilmu dengan tidak berilmu? Maka demokrasi yang dijadikan alat untuk memilih pemimpin wajib untuk ditinjau ulang. Mengingat kerusakan yang akan ditimbulkan bila salah memilih pemimpin akan sangat besar.

TAHU DIRI TAHU POSISI

Satu hal yang juga harus diingat adalah budaya tahu diri tahu posisi yang sudah mulai hilang di masyarakat kita. Dengan modal 'mumpung ada peluang' segala penawaran disikat habis. Padahal boleh jadi ia tidak punya kemampuan sama sekali untuk memenuhi tawaran itu. Orang tidak paham politik, tidak pernah ngurus negara, tiba-tiba ingin menjadi pemimpin. Seharusnya setiap kita menjadi 'orang yang tahu diri dan tahu posisi'.

Tahu dengan kemampuan dan kecakapan kita, sehingga tidak terkesan memaksakan diri dan hanya bermodal aji mumpung saja. Rakyat memang tidak tahu apa-apa, karena bagi mereka hidup rukun, aman dan damai sudah lebih dari cukup. Siapapun yang memerintah, bagi mereka, tidak menjadi masalah. Karena urusan perut lebih mereka dahulukan daripada urusan akidah dan dienul islam mereka.

Jadi mereka yang mau mengajukan diri menjadi pemimpin harus paham resiko, bahwa mereka tidak hanya bertanggung jawab di dunia, tetapi juga di akhirat Allah Ta'ala. Jangan asal maju ingin memimpin semantara tidak memiliki keahlian apa-apa selain karena populer dengan auratnya. Sedangkan rakyat juga diminta untuk 'melek pemimpin', sadar dengan pilihan mereka dan berhati-hati dalam memilih pemimpin yang benar-benar bisa membawa mereka menjadi masyarakat tauhid yang diridai Allah Ta'ala.

[muslimdaily.net]


latestnews

View Full Version