"Kehebatan" Densus 88 dalam mempereteli jaringan terorisme tak hanya mengundang decak kagum orang awam Indonesia. Barat sebagai sponsor dan guru besar utama kesatuan elit polisi itu, tentu saat-saat ini sedang termagut-magut melihat aksi anak-didiknya.
Namun, ada yang ganjil di tengah operasi pemberantasan "terorisme" kali ini. Detikcom melansir berita ringan namun cukup menggelitik. "Densus 88 Minta Tali Dari Warga Untuk Ikat 2 Teroris." Ceritanya, setelah mencekik dan menembak mati salah seorang tersangka terorisme, beberapa orang anggota Densus juga melumpuhkan target mereka lainnya yang mencoba kabur. Target pun tersungkur setelah kepalanya dihantam batu besar dan gagang pistol (silakan bayangkan sendiri). Tibalah saatnya untuk membawa buruan ke markas.
Eit… selidik punya selidik, ternyata satuan antiteror itu "lupa" tidak membawa tali atau borgol untuk mengingat korban yang masih hidup. Lalu, terjadilah apa yang ditulis oleh Detikcom di atas. Yang cukup menggelitik adalah soal "kelupaan" Densus untuk membawa tali/borgol. Bagi seorang polisi, apalagi sedang bertugas meringkus buronan, borgol ibarat peluit bagi tukang parkir. Tanpanya, tugas tidak akan sempurna diselesaikan. Bagaimana satuan elit ini bisa lupa membawa peralatan utamanya ini? Apakah dari awal sejak berangkat dari markas mereka memang hanya berniat membunuh, bukan meringkus hidup-hidup? Agaknya, wajar juga kalau banyak orang bertanya-tanya kenapa teroris selalu tertangkap dalam keadaan mati.
Meski Kapolri sudah menjelaskan, "Target melawan… dia orang berbahaya," tak cukup kita pahami sejauhmana bahayanya sehingga harus didor.
[muslimdaily.net]