SOLO - Tim Pembela Muslim (TPM) menilai polisi menyembunyikan agenda tertentu terkait operasi penanganan pelatihan militer di Aceh. Bahkan polisi dinilai terlalu gegabah dengan menyebarkan sejumlah informasi yang bisa meresahkan dan bahkan melecehkan institusi resmi milik negara.
Koordinator TPM, Mahendradatta, mengatakan sejauh ini informasi tentang kegiatan pelatihan militer masih simpang-siur. Keterangan yang diberikan oleh orang-orang yang ditangkap atau menyerahkan diri dengan keterangan yang diberikan oleh polisi, dianggapnya saling bertentangan.
Dia memaparkan, para peserta yang ditangkap atau menyerahkan diri mengatakan tidak ada rencana menyerang pejabat atau obyek bangunan tertentu. Bahkan ada yang mengatakan berlatih untuk dikirim ke Gaza demi membantu muslim Palestina.
"Namun polisi ini mengatakan seolah-olah mereka akan melakukan serangan terhadap pejabat negara pada 17 Agustus mendatang. Selain itu seolah-olah juga ditemukan peta MRT Singapura tapi tidak dijelaskan mau diapakan peta MRT itu. Polisi harus menjelaskan hal ini terlebih dulu. Jangan menyembunyikan agenda apapun atas kejadian itu," jelasnya.
Hal itu disampaikan di sela-sela pertemuan TPM dengan pengurus MUI Kota Surakarta, sejumlah ustadz dan santri di Gedung Syari'ah, Jalan Adi Sumarmo No 177, Solo, Kamis (27/5/2010).
Sejumlah tokoh yang terlihat hadir adalah Abu Bakar Ba'asyir, Habib Rizieq Syihab, Habib Hussein al-Habsy, Munarman, Rochmat L Labib (Ketua DPP HTI) dan lain-lainnya. Sedangkan tim TPM yang hadir diantaranya Mahendradatta, Achmad Michdan, dan Achmad Kholid.
"Pernyataan bahwa anak-anak yang baru saja berlatih itu akan menyerang presiden pada 17 Agustus itu kan jelas-jelas menyinggung TNI sebagai pengamanan presiden. Seolah-olah mereka (TNI) ini tim pengamanan yang lemah yang gampang ditembus oleh anak-anak yang baru bisa berlatih," ujarnya.
Selain itu, lanjutnya, penjelasan yang terbuka dan transparan mengenai motif pelatihan militer di Aceh tersebut diperlukan untuk penanganan selanjutnya hingga di pengadilan nanti. Sebab jika tetap dibiarkan simpang-siur antara keterangan pelaku dengan polisi, nantinya akan semakin memperburuk keadaan.
Teroris Pakai Tag Nama
Dalam kesempatan tersebut, Mahendra juga menyidir polisi yang dinilai semakin gampang melumpuhkan terduga teroris dengan cara menembak mati di tempat. Sebagai bentuk sindiran, TPM menghimbau para teroris yang akan beraksi agar menggunakan tag nama di dadanya agar tak salah tembak.
Mahendra memaparkan, dalam operasi di Cikampek dan Cawang beberapa waktu lalu polisi mengatakan menembak mati para teroris membahayakan. Tapi sudah berhari-hari ditembak, hingga kini jenasah orang yang ditembaki hingga mati itu berada di ruang mayat karena tidak diketahui identitasnya.
"Peristiwa ini tidak ketemu nalarnya. Orang yang sama sekali tidak dikenal, tidak jelas identitas, tidak jelas peran maupun sosoknya tapi ditembak mati. Ketika ditanya siapa dia dan apa perannya, yang menembak itu juga masih kebingungan. Ini sangat aneh," ujar Mahendra.
Mahendra melanjutkan, jika cara-cara seperti itu diteruskan maka akan semakin banyak orang tak bersalah yang menjadi korban. Bisa saja seorang tukang ojek tiba-tiba langsung ditembak mati saat memboncengkan terduga teroris. Padahal si tukang ojek itu tidak tahu siapa yang dibencengkan.
"Karena itu kami menghimbau agar para teroris yang hendak beraksi sebaiknya menggunakan tag nama di dadanya. Tulis besar-besar 'Aku Teroris'. Dengan demikian orang yang tidak tahu urusan biar tidak dekat-dekat dengannya agar tidak ikut jadi sasaran penembakan polisi," pungkasnya.
[dtk]