JAKARTA SELATAN - Sidang kasus ‘terorisme’ dengan terdakwa Putri Munawarah kembali dilaksanakan di PN Jaksel, Rabu (02/06) kemarin. Tidak seperti biasanya, persidangan kali ini dimulai pukul 16.15 wib, terlalu sore untuk sidang yang rencananya dilangsungkan pagi hari, mengingat Putri memiliki bayi yang berusia 5 bulan. Sidang yang berlangsung selama kurang lebih 75 menit ini menghadirkan dua saksi ahli dari Penasehat Hukum terdakwa dan satu saksi tambahan yang diajukan JPU. Sedianya saksi-saksi yang diajukan JPU sudah selesai dihadirkan pada sidang sebelumnya. Namun karena Majelis Hakim merasa kurang pas dengan keterangan yang diberikan saksi-saksi sebelumnya, maka pada persidangan kali ini, setelah diizinkan Majelis Hakim, JPU menghadirkan saksi tambahan yang sebelumnya tidak ada dalam agenda persidangan.
Budi Ari Satrio sebagai saksi ahli masalah Hukum dan Tindak Pidana merupakan dosen Universitas Indonesia. Dalam kesaksiannya, ia menjelaskan dengan gamblang maksud dari pasal-pasal yang didakwakan oleh JPU kepada Putri. JPU menggunakan dakwaan alternatif untuk menjerat terdakwa. Selain pasal 9 jo pasal 15 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, jaksa menggunakan pasal 13 huruf a atau huruf b jo pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Isi dari pasal yang didakwakan adalah sebagai berikut:
Pasal 9
Setiap orang yang secara melawan hukum memasukkan ke Indonesia, membuat, menerima, mencoba memperoleh, menyerahkan atau mencoba menyerahkan, menguasai, membawa, mempunyai persediaan padanya atau mempunyai dalam miliknya, menyimpan, mengangkut, menyembunyikan, mempergunakan, atau mengeluarkan ke dan/atau dari Indonesia sesuatu senjata api, amunisi, atau sesuatu bahan peledak dan bahan-bahan lainnya yang berbahaya dengan maksud untuk melakukan tindak pidana terorisme, dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun.
Pasal 13
Setiap orang yang dengan sengaja memberikan bantuan atau kemudahan terhadap pelaku tindak pidana terorisme, dengan :
dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
Pasal 15
Setiap orang yang melakukan permufakatan jahat, percobaan, atau pembantuan untuk melakukan tindak pidana terorisme sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12 dipidana dengan pidana yang sama sebagai pelaku tindak pidananya.
Pasal 55 ayat (1) KUHP
Dipidana sebagai pelaku tindak pidana:
(1). mereka yang melakukan, yang menyuruh melakukan, dan yang turut serta melakukan tindak pidana itu;
Pada Pasal 9 UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme yang didakwakan kepada Putri, saksi menjelaskan bahwa terdakwa harus mengetahui sejelas-jelasnya kegunaan senpi, amunisi, dan bahan peledak yang ada disimpan di rumahnya, sebagaimana yang ditemukan kepolisian pada saat penyisiran barang bukti. “Apakah untuk tindakan terorisme atau bukan?” katanya.
Sedangkan pada Pasal 13 a atau b, saksi menjelaskan bahwa terdakwa harus mengetahui dengan pasti identitas orang yang disembunyikannya. Dalam pasal tersebut, identitas orang yang disembunyikan terdakwa harus diketahui dengan baik, bukan dari pihak lain atau bukan dari identifikasi atau bukan kata orang lain, saksi menjelaskan bahwa terdakwa harus mengenalnya sendiri dan tahu bahwa yang disembunyikan adalah pelaku tindakan terorisme. Pada Pasal 15 saksi menjelaskan maksud dari kata mufakat yang ada pada pasal tersebut. “Yang namanya mufakat itu seperti permainan basket. Satu orang memasukkan bola ke keranjang, dribble dan lain sebagainya. Itu kerja tim. Jika tidak ada kesepakatan maka tidak bisa dikatakan sebagai kerja tim”, jelasnya. Pada Pasal 55 ayat (1) KUHP, saksi menjelaskan bahwa pasal tersebut berlaku untuk tindak pidana umum, termasuk tindak pidana terorisme juga.
“Jika terdakwa terdakwa tidak mengetahui tentang hal-hal tersebut, maka unsur-unsur dakwaan tidak terpenuhi”, jelasnya.
Saksi ahli kedua yang diajukan tim penasehat hukum terdakwa merupakan seorang kiai sebuah pondok pesantren di Solo. Dalam penjelasannya, Kiai Khatib mengatakan bahwa memang ada batasan antara wanita dan pria dalam Islam. Ia menyebutkan surat An Nur ayat 30-31 yang menerangkan bahwa antara wanita dan pria diharuskan menjaga dirinya agar terhindar dari fitnah. Saksi juga menjelaskan bahwa ada beberapa madzhab yang memiliki pandangan berbeda tentang aurat wanita. Dalam hal ini, saksi menjelaskan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuh kecuali muka dan telapak tangan, bahkan suara pun termasuk aurat bagi wanita. Saksi juga menyebutkan satu hadits yang menyebutkan bahwa bahkan saudara ipar pun bisa menjadi fitnah. Kaitannya dengan kasus ini adalah, suami terdakwa, Susilo Adib sangat menjaga aurat istrinya, sehingga ia tidak menghendaki Putri untuk mengurusi tamu-tamunya. Hal ini menyebabkan Putri tidak terlalu mengetahui kondisi tamu-tamu suaminya yang datang atau menginap di rumah yang dikontraknya bersama Susilo Adib.
Saksi ketiga merupakan saksi tambahan dari JPU. Penambahan saksi ini cukup mengejutkan karena pada sidang sebelumnya, JPU mengatakan bahwa tidak ada saksi lagi yang akan dihadirkan, namun ada pemberitahuan di awal siding bahwa JPU ingin menghadirkan saksi tambahan. Saksi yang dihadirkan JPU ini tergabung dalam Tim Penangkapan tersangka. Berbeda dengan saksi sebelumnya yang diperintahkan untuk mengegerebeg, surat perintah yang diterima saksi Zamri ini adalah surat perintah penangkapan. Seperti saksi sebelumnya yang bertugas di TKP, saksi menjelaskan kronologis kejadian mulai penggerebegan hingga penangkapan. Saat itu saksi tidak begitu jelas melihat wajah terdakwa, tetapi ia memastikan bahwa wanita yang ada dalam rumah adalah Putri Munawarah. Pernyataan ini dibenarkan terdakwa. Hanya saja ketika ditanya oleh TPM tentang nama yang harus ditangkap dalam penggerebegan tersebut, saksi mengakui bahwa tidak ada nama Putri Munawarah dalam surat perintah penangkapan yang ia terima.
[muslimdaily.net/DanishFayruz]