Oleh Ustad Budi Prasetyo
Memasuki bulan rajab, sebagian umat islam sibuk dengan berbagai amalan. Ada yang melaksanakan puasa rajab, shalat khusus di bulan Rajab, Umroh, dan juga peringatan isra’ dan mi’raj nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam.
Islam telah menetapkan bahwa bulan rajab ini adalah salah satu di antara empat bulan haram (suci). Pensucian bulan dalam islam ini berkaitan dengan kemuliaan bulan-bulan tersebut dan besarnya pahala atau dosa bagi yang melakukan kebaikan atau kemungkaran padanya. Dan di antara hikmah disucikannya bulan-bulan ini, umat islam mendapatkan keamanan untuk melakukan perjalanan dalam rangka menunaikan ibadah haji.
Meskipun islam memasukkan bulan Rajab ke dalam daftar bulan-bulan suci, namun Islam tidak mengajarkan adanya sebuah amalan khusus untuk dilaksanakan ada bulan ini. Tidak ada sunnah untuk melaksanakan puasa khusus di bulan Rajab, umrah khusus, atau pun peringatan Isra’ dan Mi’raj.
Dalam persoalan isra’ dan Mi’raj, umat Islam mempercayai adanya dan terjadinya, karena riwayat-riwayat yang menerangkan sampai ke derajat mutawatir. Tetapi di balik mutawatirnya riwayat tentang adanya peristiwa itu, terjadi perselisihan di kalangan ulama’ tentang kapan terjadinya peristiwa itu. Syaikh Mubarakfuri di dalam ar-Rahiqul Makhtum menyebutkan beberapa pendapat tentan terjadinya isra’ dan Mi’raj, sebagai berikut;
Dari sekian pendapat tentang kapan persisnya isra’ dan mi’raj terjadi, tidak satu pun pendapat yang didasari dengan riwayat yang shahih. Dari sini, tidak ada satu pendapat yang lebih kuat dari pendapat yang lain. Semuanya memiliki bobot yang sama, sehingga tidak bisa dikuatkan atas pendapat yang lain.
Hanya saja, setelah mengemukakan beberapa pendapat ini, syaikh Mubarakfuri menjelaskan bahwa ketiga pendapat pertama tertolak, karena isra’ dan Mi’raj terjadi setelah wafatnya paman beliau dan isteri beliau. Sementara isteri beliau wafat pada bulan Ramadlan tahun ke sepuluh setelah kenabian. Ketika Khadijah wafat, belum turun kewajiban menunaikan shalat lima waktu, karena perintah shalat ini diturunkan dalam peristiwa mi’raj nabi saw ke sidratil Muntaha.
Penjelasan Syaikh Mubarakfuri tersebut di atas, memberikan pengertian bahwa peristiwa isra’ dan mi’raj itu ada, tetapi waktu terjadinya peristiwa ini tidak tercatat dalam sejarah. Maka umat islam hanya berkewajiban mempercayai adanya peristiwa itu saja. Tidak ada kewajiban meyakini kapan waktunya, apalagi kewajiban memperingatinya. Dengan mempertimbangkan lemahnya pendapat yang menyatakan bahwa Isra’ dan Mi’raj terjadi pada tanggal 27 Rajab, maka jelas tidak logis kalau Islam mengajarkan adanya peringatan Isra’ dan Mi’raj di bulan Rajab.
Dilupakannya waktu terjadinya isra’ dan mi’raj tentu memiliki makna pula. Dan di antara hikmah dilupakannya kapan peristiwa ini terjadi adalah agar umat islam tidak terbebani untuk melaksanakan peringatan. Andaikata toh Islam mengajarkan peringatan itu, tentu Rasulullah saw memerintahkan para shahabatnya untuk melakukan peringatan. Sebab tidak ada satu bagian dari agama islam ini yang tercecer, belum diajarkan oleh rasulullah saw. Firman Allah;
“Pada hari ini telah Kusempurnakan agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamuni’mat-Ku, dan telah Ku-ridhaiislam itu jadi agama bagimu” (al-maidah:3)
Dan jika peringatan Isra’ dan mi’raj ini disyari’atkan, tentu tidak akan ada perselisihan tentang kapan terjadinya peristiwa isra’ dan mi’raj, dan para shahabat pun akan menjelaskan apa yang harus dilakukan. Sebab para shahabat telah menyampaikan apa yang telah diajarkan oleh Rasulullah tanpa dikurangi. Memang salah satu dari shahabat bisa kurang dalam menyampaikan sesuatu, tetapi tidak akan ada kesepakatan di antara shahabat untuk mengurangi ajaran Islam.
Karena itulah, hal yang terpenting yang menjadi alasan tidak perlunya ada peringatan adalah karena tidak adanya tuntunan dalam agama Islam. Rasulullah saw bersabda;
مَنْ عَمِلَ عَمَلًا لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ
“Barangsiapa yang mengamalkan suatu amalan yang tidak kami perintahkan maka amalan itu tertolak” (HR Muslim)
Kadang-kadang orang beralasan, apa jeleknya sih mengadakan peringatan isra’ mi’raj. Toh pengajian itu ada manfaatnya yang sangat besar.
Pertanyaan semacam ini adalah sebuah kerancuan dalam berfikir. Memang benar pengajian itu tidak ada jeleknya. Tetapi jeleknya adalah karena menyelisihi sunnah Rasulullah saw. Keyakinan adanya ajaran untuk memperingati hari-hari tertentu dalam islam adalah sebuah penyimpangan dari sunnah. Jika kebaikan bercampur dengan kejelekan, maka kaidah fiqih menyatakan;
Menghindarkan keburukan harus didahulukan atas mendatangkan manfaat.
Maknanya, jika dalam sebuah aktifitas terkandung kebaikan, tetapi juga ada sisi negatifnya, maka hendaklah aktifitas itu ditinggalkan. Memang ada manfaat, tetapi ada efek samping yang negatif. Islam mengajarkan agar amal itu tidak berefek negatif, sehingga jika suatu amal ada efek negatif harus dihentikan.
Lalu kapan diadakannya pengajian?
Nah, justru itulah yang harus difikirkan. Agar pengajian untuk masyarakat tidak hanya dilaksanakan dalam peringatan saja, tetapi justru harus dilaksanakan secara rutin dan berkala. Pengajian yang diselenggarakan dalam sebuah peringatan tentu tidak akan beranjak dari persoalan itu-itu saja. Mungkin hanya berbeda tinjauan dan cara menyampaikan. Sedangkan persoalan lainnya, tentang tafsir al-Qur’an, sejarah nabi, aqidah, akhlak dan yang lainnya, kapan mengajarkannya? [muslimdaily.net]