Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengharamkan nikah wisata atau pernikahan yang dilakukan oleh wisatawan Muslim untuk jangka waktu selama ia dalam perjalanan wisata.
"Nikah wisata atau biasa dikenal dengan nikah mu'aqqat hukumnya haram," demikian dibacakan oleh Sekretaris Komisi C yang membahas fatwa Asrorun Ni'am Sholeh, dalam Musyawarah Nasional (Munas) MUI di Jakarta, Selasa.
Pernikahan yang dimaksudkan adalah bentuk pernikahan yang dilakukan dengan memenuhi syarat dan rukun pernikahan namun pernikahan itu diniatkan untuk sementara saja. Ketua MUI Bidang Fatwa Ustadz Ma'ruf Amin, mengatakan setelah penetapan fatwa tersebut pihaknya akan melakukan sosialisasi mengenai keputusan tersebut.
"Kita akan sosialisasikan ke daerah-daerah dimana ini terjadi," kata Ustadz Ma'ruf.
Sosialisasi akan dilakukan ke daerah karena Ustadz Ma'ruf menyebut praktek pernikahan semacam itu biasanya terjadi tidak secara resmi namun dibawah tangan dan umum dilakukan di beberapa daerah tertentu. Di beberapa daerah, praktek nikah wisata itu dilakukan oleh penduduk setempat karena alasan ekonomi dimana para turis yang menikahi mereka biasanya harus membayar "mahar" dalam jumlah lumayan besar.
Setelah sosialisasi, MUI juga akan mengeluarkan rekomendasi terkait termasuk kemungkinan mengeluarkan peraturan untuk menjalankan fatwa tersebut. "Kita mungkin akan bicara dengan menteri atau DPR kalau menyangkut (pembuatan) Undang Undang," kata Ustadz Ma'ruf.
Ganti Kelamin Haram
Majelis Ulama Indonesia (MUI) juga mengeluarkan fatwa haram terhadap perubahan jenis kelamin, jika dilakukan dengan sengaja dan tidak ada alasan alamiah dalam diri bersangkutan.
"Mengubah jenis kelamin yang dilakukan dengan sengaja misalnya dengan operasi ganti kelamin, hukumnya haram," ujar Sekretaris Komisi C yang membahas tentang fatwa, Asrorun Ni'am Sholeh, di Jakarta, Selasa (27/7).
Fatwa tersebut dikeluarkan MUI setelah melalui pembahasan dalam Musyawarah Nasional (Munas) VIII. Selain mengenai perubahan alat kelamin, MUI juga mengeluarkan beberapa fatwa lainnya. Asrorun mengatakan, membantu melakukan operasi ganti kelamin jika penggantian tersebut dengan sengaja, hukumnya juga haram.
MUI juga memfatwakan tidak boleh menetapkan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi perubahan alat kelamin sehingga tidak memiliki implikasi hukum syar'i terkait perubahan tersebut.
Karena tidak boleh ditetapkan keabsahannya, kata Asrorun, kedudukan hukum jenis kelamin orang yang telah melakukan operasi sama dengan jenis kelamin semula, seperti sebelum operasi, meski sudah mendapat penetapan pengadilan.
Sedangkan menyempurnakan kelamin bagi seorang Khuntsa (banci) yang kelaki-lakiannya lebih jelas guna menyempurnakan kelaki-lakiannya hukumnya boleh. Demikian juga sebaliknya bagi perempuan.
Membantu melakukan operasi penyempurnaan kelamin juga diperbolehkan hukumnya serta penetapan keabsahan status jenis kelamin akibat operasi penyempurnaan alat kelamin sebagaimana dibolehkan. Sehingga ini memiliki implikasi hukum syar'i terkait penyempurnaann tersebut. Kedudukan hukumnya sesuai dengan jenis kelamin setelah penyempurnaan sekalipun belum memperoleh penetapan pengadilan terkait perubahan tersebut.
Atas dasar fatwa tersebut, MUI merekomendasikan kepada Kementerian Kesehatan untuk menjadikan fatwa itu sebagai pedoman guna memberikan aturan pelaksanaan operasi kelamin dengan melarang operasi ganti kelamin dan mengatur pelaksanaan operasi penyempurnaan. Juga, bagi organisasi profesi kedokteran untuk membuat kode etik kedokteran terkait larangan operasi ganti kelamin dan pengaturan bagi praktik operasi penyempurnaan kelamin.
Asrorun menambahkan, pemerintah dan DPR RI diminta membuat aturan hukum terkait dengan praktik operasi ganti kelamin dan penyempurnaan kelamin. Selain itu, pihaknya juga meminta Mahkamah Agung membuat surat edaran kepada hakim untuk tidak menetapkan permohonan penggantian jenis kelamin dari hasil operasi ganti kelamin.
[muslimdaily.net/republika]