View Full Version
Selasa, 07 Sep 2010

Qur'an dan Teror [Menanggapi Hari Pembakaran Al Qu'ran]

Menyikapi rencana pembakaran Al-Qur'an oleh sekte Kristen di Amerika Serikat pada 11 September mendatang, umat Islam tentu harus bertindak. Terlebih, gagasan pembakaran tersebut mengandung pesan yang berintikan bahwa Qur'an adalah sumber terorisme dan jihad sama dengan terorisme.
Tulisan ini mencoba menjelaskan bahwa gagasan ini adalah gejala kekalahan intelektual Barat. Secara frustasi Barat menyalahkan Al-Qur'an sebagai sumber terorisme. Padahal, prilaku AS yang zalim terhadap umat manusia khususnya umat Islam-lah yang menyulut lahirnya aksi terorisme di seluruh dunia. Oleh karena itu, AS harus menghentikan kezalimannya jika ingin memutus rantai terorisme. 

QUR’AN DAN TEROR

 

Reza Ageung S.Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Hidayatullah, Balikpapanwebsite : www.reza85ageung.wordpress.com

 

Apa yang direncanakan oleh Pendeta Terry Jones pada peringatan 9 tahun runtuhnya WTC  11 September mendatang  adalah sebuah keluguan dengan logika yang terlalu simplistis. Menurutnya, para teroris itu terinspirasi oleh Al-Qur’an, karenanya kitab suci umat Islam itu mesti dibakar. Sesederhana itukah memutus rantai terorisme?

Jelas yang ia maksud sebagai “inspirasi terorisme” adalah ayat-ayat tentang jihad. Di sinilah pesan yang sebenarnya dari gagasan pembakaran Qur’an : serangan pemikiran dengan menyamakan jihad dengan terorisme, sebuah stigmatitasi yang klasik, sebetulnya. Serangan pemikiran inilah yang lebih memerlukan jawabannya ketimbang pembakaran Qur’an itu sendiri. Sebab, jika publik menerima pemahaman ini, bahwa jihad adalah terorisme, maka secara berlebihan dapat dikatakan bahwa pembakaran al-Qur’an menjadi masuk akal di mata publik.

Hanya saja, di sisi lain, jelas kontra-opini terhadap stigmatisasi itu akan menjadi hampa karena ditujukan pada golongan frustasi semacam Terry Jones dan kawan-kawan. Biasanya, Barat, atau agen-agen pemikirannya, tidak serta merta secara telanjang mengatakan bahwa jihad itu terorisme. Secara halus, propaganda yang ditujukan untuk memadamkan kehendak jihad dari benak umat Islam berwujud pemikiran bahwa Islam adalah agama moderat, cinta damai, dan sejenisnya. Lalu jihad akan dipersempit menjadi hanya bermakna “sungguh-sunggguh”, “berperang melawan hawa nafsu” dan sebagainya.

Dalam wujudnya seperti ini, Barat masih berada dalam ranah perang intelektual dengan Islam. Namun, gagasan pembakaran Qur’an ini telah menyumbangkan lompatan mundur yang besar dari perang itu: Barat kalah secara intelektual, dan akhirnya secara frustasi langsung menyalahkan Qur’an.  Alih-alih ingin memperlunak Islam dan memisahkan “Islam radikal” dari “Islam mainstream” sebagaimana biasanya Barat berpropaganda, gagasan pastor senior di Florida ini justru ingin mendeklarasikan bahwa Islam itu, sebagai sebuah agama, memang agama kekerasan (seorang ekstremis sayap kanan Kristen yang mendukung gagasan ini mengatakan bahwa ia mendukung langkah pastor itu “untuk mengakhiri gagasan bahwa Islam adalah agama cinta damai...Justru Islam adalah kultur kekerasan dengan tujuan mendominasi dunia”).

Maka, gagasan ini mencerminkan sebuah ketakutan di satu sisi, dan kelancangan di sisi lain. Jelas, peristiwa 11 September—terlepas dari siapa sebenarnya pelakunya—hanyalah alasan bagi mereka untuk mengungkapkan ketakutan sebenarnya yang lebih besar terhadap Islam. Pertumbuhan pemeluk Islam yang pesat di Barat, muatan jihad dalam Islam, bahkan ajaran Islam itu sendiri sebagai sebuah peradaban adalah faktor-faktor ketakutan (teror) di masyarakat Barat yang dibayang-bayangi kemerosotan moral.

Tentunya, umat Islam tidak perlu berlebihan melakukan pembelaan diri terhadap stigma terorisme ini, karena bayangan kita tentang terorisme tidak nyambung dengan bayangan mereka tentang terorisme. Jihad, dominasi Islam atas dunia, memang ajaran-ajaran yang sudah inheren dengan agama kita (lihat QS As-Shaff : 9). Bahkan, membuat takut (teror) atas musuh Allah merupakan perintah Qur’an yang masyhur (lihat QS al-Anfal : 60). Pun aksi kekerasan terhadap musuh yang merampas kemerdekaan atau berbuat zalim tercatat dalam lembaran-lembaran sejarah Islam sebagai kepahlawanan. Dengan kata lain, kasarnya, teror (terhadap musuh) adalah tabi’at Islam itu sendiri!

Karenanya seharusnya masyarakat Barat-lah yang mesti berintrospeksi. Jika di tahun-tahun terakhir ini semakin banyak ancaman dan bayangan kekerasan menghantui masyarakat Barat, itu karena ada sebagian umat manusia yang merasa terzalimi oleh kebijakan pemerintah Barat, khususnya Amerika, dan merasa absah untuk membela diri atau bahkan membalas. Jika ada sebuah bangsa yang begitu saja diinvasi, rakyatnya dibunuhi, kemerdekaannya dirampas, bukankah wajar jika ia melawan atau membalas perlakuan itu? Jika sebuah umat diolok-olok, dijajah, diejek di film-film, ditindas dan ditipu berkali-kali, bukankah wajar jika ada putera-putera umat yang terbakar jiwanya untuk membela?—terlepas dari absah tidaknya aksi yang dilakukan dalam tinjauan fiqih.

Dengan kata lain, apa yang terjadi hari ini di panggung dunia adalah sebuah kewajaran kemanusiaan. Terorisme adalah reaksi balik dari penjajahan global yang dilakukan oleh Amerika cs. Ketika hal ini dikaitkan dengan agama, segera akan kita temukan bahwa Qur’an memang menyediakan kerangka umum untuk sebuah sikap keras dan tegas terhadap musuh Islam, namun meninjau fakta penjajahan secara politik, budaya, ekonomi dan bahkan militer atas umat ini, maka Amerika-lah yang sebetulnya paling bertanggung jawab atas lahirnya aksi terorisme di seluruh dunia.

Logika seperti inilah yang semestinya dibangun agar setiap orang punya pandangan yang fair soal terorisme. Secara karikaturis, walau berlebihan, hal ini pernah diilustrasikan dalam sebuah kartun politik buatan Iran : para teroris diumpamakan dengan boneka-boneka yang bisa meledak dan hanya dapat berjalan jika per-nya diputar, dan tangan yang memutarnya ternyata adalah lengan terbungkus baju bermotif bendera Amerika.

Tentu, terlalu kasar bahkan konspiratif jika kita menuduh para teroris itu adalah boneka-boneka Amerika. Namun, secara esensial kita dapat menarik simpulan bahwa mata rantai itu ada padaAmerika sendiri. Alih-alih terus menerus mengklaim sebagai korban terorisme, Amerika seharusnya menyadari bahwa selama kezalimannya atas umat manusia tidak dihentikan, maka selama itu pulalah rantai terorisme tidak akan pernah terputus. [muslimdaily.net]


latestnews

View Full Version