![]() |
Hujan lebat malam itu mengguyur wilayah Pakistan secara merata. Hujan lebat seakan tidak pernah berhenti sejak pertengahan bulan Juli hingga awal bulan Ramadhan 1431 H. Tragedi kecelakaan pesawat Airbule domestik penerbangan dari Karachi- Islamabad (28/07) kabarnya diidentifikasi karena cuaca yang kurang bersahabat, awan mendung yang menaungi sebagian besar wilayah Islamabad, dan Pakistan secara umum. Pesawat jatuh di bukit Daman-e-koh 09:45 pagi hari, tepat di belakang asrama mahasiswa Indonesia yang kuliah di IIU Islamabad. Seluruh penumpang sejumlah 152 orang meninggal dunia termasuk di dalamnya adalah Pilot dan awak pesawat. Pencarian black box pesawat pun agak menyulitkan team investigasi karena cuaca tadi dan baru menemukan beberapa hari kemudian.
![]() |
Tragedi bencana tidak sampai di situ. Akhir Juli hujan masih terus lebat mengguyur Pakistan. Saya -malam itu- ikut mengantar salah satu teman mahasiswa yang selesai study S1 nya -ke Benazir Butho International airport- dan ingin kembali ke Indonesia. Hujan dari sebelum subuh hingga tengah malam tidak juga berhenti dan cukup menyulitkan perjalanan kami menuju dan sekembali kami dari bandara. Pagi harinya tersiar berita bahwa hampir seluruh wilayah Pakistan dan Peshawar (perbatasan Pakistan-Afghanistan) terendam banjir yang berbeda karakter. Swat valley yang merupakan dataran tinggi ikut terkena banjir bandang. Longsoran batu di datarang tinggi Swat banyak yang menghantan rumah warga dan cukup banyak warga yang meninggal. Lain halnya wilayah Punjab yang -secara umum- memang dataran yang bervariasi (dataran tinggi dan rendah) dan banyak aliran sungai di wilayah ini. Tiga aliran sungai besar (Jhelum River, Sutlej, Kabul River) yang mendominasi Pakistan bermuara di satu tempat yaitu sungai Indus, dan di situlah wilayah yang sangat besar memiliki dampak banjir; Rajanpur distrik Bahawalpur.
![]() |
Jumat 28 Agustus 2010 (17 Ramadhan) beberapa NGO's seperti Mer-C, ACT, PKPU, Baznas -yang disusul beberapa hari kemudian dompet dhuafa- datang ke Pakistan untuk memberi bantuan bagi korban banjir baik logistik maupun medis dan beberapa mahasiswa menjadi pendamping untuk ikut terjun ke lapangan yang terutama diperbantukan sebagai translater (penerjemah). Dan mereka tersebar di utara hingga selatan. ACT dan dompet dhuafa menempati pos di daerah utara tepatnya distrik Charsadda, Provinsi Khyber Pakhtunkhwa, team medis dari Mer-C menempati wilayah tengah Pakistan tepatnya distrik Multan di Provinsi Punjab dan PKPU di Provinsi Sindh wilayah selatan Pakistan. Menurut laporan, jumlah korban banjir mencapai 20juta jiwa melebihi prediksi PBB yang memperkirakan 14juta jiwa dan hampir 1800 orang yang meninggal dunia.
![]() |
Potensi besar dampak banjir agaknya bukan hanya di Provinsi Punjab yang notabenenya merupakan tempat bermuara tiga sungai besar tadi. Sebut saja Thatta, wilayah paling selatan Pakistan yang masuk ke dalam provisni Sindh. Berada pada daerah aliran sungai ditambah daerah ini sangat dekat dengan laut yang menjadi muara aliran sungai besar. Kondisi pasca banjir sangat parah. Minimnya persediaan air bersih, logistik, dan tenda pengungsian menjadi kendala. Tanggal 1 September, saya diinfokan oleh salah satu mahasiswa yang terjun di sana. Kawan-kawan sangat terenyuh bahkan menangis melihat nasib para pengungsi. Beberapa peribahasa agaknya cukup mewakili kondisi mereka. Hidup segan mati pun ogah. Bagai telur di ujung tanduk. Betapa tidak, dalam kondisi minimnya air bersih, pengungsian yang kotor, banjir susulan, hujan lebat (hingga awal September), jalan terputus, dan tidak adanya transportasi kecuali perahu 'dadakan', para pengungsi yang hendak menyebrang sungai 'buatan' itu pun harus ditarik Rs. 50 (1 rupees senilai Rp. 100) per orang. Lain lagi di distrik Multan. Wilayah Muzafargarh. Kerusakan di wilayah itu cukup parah. Kami mengamati bahwa parahnya kerusakan infrastruktur sebab dominannya adalah karena rumah penduduk banyak yang dibangun dari tanah yang mudah hancur ketika banjir datang. Menurut laporan kumpulan NGO di Pakistan, 400 orang meniggal dunia hanya di wilayah Muzafargarh. Rumah mereka hancur, jembatan dan jalan terputus karena hantaman banjir hingga mereka lari ke tempat lain yang memungkinkan untuk bertahan hidup. Ketika kami terjun di wilayah itu (awal September) mereka baru kembali dan mencari sisa-sisa barang yang memungkinkan untuk melanjutkan hidup mereka; membangun rumah dari kayu dan tanah yang mereka bangun sebelumnya. Tidak sedikit binatang ternak yang mati terkurung dalam kandang ketika banjir datang. Kami berenam (team Mer-C termasuk saya) fokus aksi di distrik Multan dan melakukan mobile klinik dari wilayah Gujrat hingga ke arah barat daya di Umer Kot yang hampir berbatasan dengan Provinsi Sindh selama 10 hari (31 Agustus – 9 September). Penanganan pasien yang seharinya kurang lebih 200 orang agaknya cukup melelahkan kami. Mengingat cuaca musim panas yang menyengat (45-48"C) dan bertepatan pada bulan Ramadhan dan para volunteer tetap melanjutkan shaum mereka (bi idznillah). Alhamdulillah, masyarakat sangat antusias menyambut kedatangan volunteer dari Mer-C. Kami mendapat tempat yang istimewa di hati mereka.
Tempat kami tinggal, tidur dan berbuka puasa cukup teduh di tengah sengatan musim panas walaupun ada rasa tidak enak karena terfikir bayangan pengungsi yang memprihatinkan hidup di tenda pinggir jalan raya dan pinggir sungai. Mer-C memberikan bantuan medis dan menyerahkan amanah dengan menghibahkan 200 tenda bagi para korban banjir. Alhamdulillah, team meyelesaikan amanah umat dan bertolak ke Islamabad tepat pada malam hari satu syawal Indonesia dan menikmati bayangan ketupat dan opor ayam di atas coaster (sejenis L300) yang menemani perjalanan kami dari awal hingga akhir. Jumat 10 September team Mer-C kembali ke tanah air.Akhirnya, hanya kepada Allah kita berharap, semoga Allah memberi kesabaran kepada mereka yang sedang diuji, di tengah kegembiraan kaum Muslimin yang merayakan hari iedul fithr mereka.
Allahumma taqabbal minna innaKa Anta assamii'ul 'aliim
[muslimdaily.net]