مِنَ الْمُؤْمِنِينَ رِجَالٌ صَدَقُوا مَا عَاهَدُوا اللَّهَ عَلَيْهِ فَمِنْهُم مَّن قَضَى نَحْبَهُ وَمِنْهُم مَّن يَنتَظِرُ وَمَا بَدَّلُوا تَبْدِيلاً
"Di antara orang-orang mukmin itu ada orang-orang yang menepati apa yang telah mereka janjikan kepada Allah; Maka di antara mereka ada yang gugur. dan di antara mereka ada (pula) yang menunggu- nunggu (giliran gugur) tanpa sedikitpun mengubah (janjinya) itu." (Al-Ahzab : 23).
Usamah bin Ladin telah pergi. Ia pergi setelah membuktikan janji setia yang telah ia ikrarkan kepada Allah, Rabbul 'Alamin. Janji untuk mengorbankan segala sesuatu yang ia miliki demi Allah dan Rasulnya. Ialah, sosok yang Allah hadirkan bagi umat Islam abad ini sebagai model seseorang yang berjihad secara komprehensif. Tak hanya nyawa, tapi juga harta, keluarga dan segala-galanya, ia habiskan seluruhnya di jalan Allah. Sebuah model dari kalangan manusia, agar kita mudah menirunya.
Janji itu ia buktikan dengan wujud amal nyata yang sempurna. Rijalun shadaqu ma ahadul-Lah alaih. Lelaki perwira yang sanggup membuktikan janji setianya kepada Allah. Karenanya, dari sekian banyak mujahidin yang membuktikan janji setia itu, ia kemudian dipilih oleh Allah sebagai man qadha nahbahu, orang yang menjadi korban atas pelaksanaan dari janji tersebut.
Ya, janji setia ini bukan baiat kosong tanpa risiko. Ia meminta kesanggupan bagi siapapun yang mengikrarkannya untuk sewaktu-waktu kehilangan nyawa, setelah sebelumnya kehilangan segala-galanya. Karenanya, ia hanya mampu dipikul oleh para rijal, bukan sembarang orang. Ia hanya sanggup dilakukan oleh minal mukminin, hanya sebagian kecil, bukan seluruh kaum mukminin.
Sekelompok kecil dari kaum mukminin itu, atas hidayah Allah Ta'ala, telah memilih jalan terjal jihad fi sabilillah sebagai pilihan hidupnya—di antara banyaknya pilihan jalan lain yang lebih "nyaman." Bukan karena kepicikan berfikir, sempitnya ekonomi, atau kurang sempurnanya pemahaman Islam mereka. Justru merekalah orang-orang yang jujur dalam berilmu dan beramal. Meng-ilmui sebelum beramal, dan mengamalkan setelah mengilmui.
Kondisi mereka, sebagaimana ayat di atas, hanya ada dua: gugur karena menunaikan janji tersebut, atau sabar menunggu dalam antrian orang-orang yang hendak gugur berikutnya. Dalam masa penantian itu, hitam-putih gemerlap dan hiruk pikuknya dunia tidak mampu memalingkan mereka dari janji setia itu. Mereka tetap sabar dan mukhbit kepada Rabbnya, demi menunggu panggilan untuk menjadi tumbal berikutnya. Mereka mengisi antrian tersebut dengan amal-amal jihad fi sabilillah sebagai bukti kesetiaan kepada Allah dan Rasul-Nya.
Maka, gugurnya Usamah ibarat terpangkasnya satu dahan yang akan membuat tunas pohon tersebut maju menggantikan. Seperti satu gerbong kereta yang maju untuk menarik gerbong lain menggantikan posisinya. Dan, sungguh, Islam sangat kaya dengan tunas dan gerbong-gerbong yang akan menggantikan Usamah. Al-Qaidah bertabur orang-orang yang memiliki kualifikasi setara bahkan lebih baik dari Usamah bin Ladin untuk menggantikan estafet kepemimpinannya.
Biarkan Al-Qaidah berkonsentrasi mencari orang yang paling cocok dengan tuntutan pekerjaan hari ini—di antara kader-kadernya yang berkualitas—untuk menggantikan Usamah. Mungkin Az-Zawahiri, mungkin pula Al-Awlaki… atau nama lain yang barangkali masih asing bagi kita. Siapapun dia, biarlah Al-Qaidah menentukannya sendiri. Justru yang paling penting bagi kita adalah; di mana posisi kita dari rentetan gerbong yang berjalan setelah Usamah—dan para mujahidin lain—yang telah Allah pilih untuk gugur?
Rangkaian gerbong itu adalah umat Islam. Al-Qaidah, Taliban, JI, JAT atau organisasi kaum Muslimin lainnya berada dalam rangkaian tersebut. Karenanya, siapapun kita, pertanyaannya adalah: sudahkah kita masuk ke dalam antrian gerbong, mendaftarkan diri untuk siap menjadi korban dan tumbal berikutnya? Boleh jadi, setelah Usamah mangkat, pergeseran gerbong ini akan semakin cepat dari sebelumnya. Daftar tunggunya semakin pendek, namun peminatnya juga bakal melonjak. Siapkah Anda mendaftar? Syaratnya sederhana: jujur dan setia kepada Allah, jangan main-main! Karena itulah yang akan membuat kita sabar dalam antrian menunggu datangnya giliran.
Abu Abdurrahman