View Full Version
Jum'at, 03 Jun 2011

Da'wah, Siyasah, dan Kejayaan

Da’wah, Siyasah, dan Kejayaan
Oleh : Al Fadhli*

 

Sejak melemahnya kekhilafahan Turki Osmani, kehidupan politik nyaris hilang dalam wacana pemikiran Islam dan da’wah. Umat disibukkan dengan perbedaan madzhab dan keragaman pemikiran di kalangan internal yang pada akhirnya memecah belah umat itu sendiri. Kehidupan berislam yang pada awalnya begitu lekat kaitannya dengan politik dan pemerintahan berganti dengan kehidupan yang penuh ritual dan sufisme. Di sisi lain, mereka yang disebut pembaharu dalam dunia Islam justru semakin menegaskan pemisahan antara siyasah dan da’wah. Dalam dunia Islam, yang paling berjasa dalam proses pencucian ini, hingga runtuhnya kekuasaan Islam adalah Kemal Pasha –semoga Allah melaknatnya-.

Pertengahan abad ke 20, seorang pembaharu melantangkan suaranya di Mesir. Dari satu kedai kopi ke kedai yang lain. Tumbuh dan besar di lingkungan orang-orang yang mengenal diin dengan baik, ia sempat bersentuhan dengan dunia sufisme. Namun, daya nalarnya pun menyangkal berbagai penyimpangan kaum sufi pada titik tertentu. Akhirnya, ia pun berkata dalam Risalah Ta’alim-nya, “Islam adalah sistem yang menyeluruh, yang mencakup seluruh aspek kehidupan. Ia adalah negara dan tanah air, pemerintah dan umat, akhlak dan kekuatan, kasih sayang dan keadilan, peradaban dan undang-undang, ilmu dan peradilan, materi dan kekayaan alam, penghasilan dan kekayaan, jihad dan dakwah, pasukan dan pemikiran, sebagaimana juga ia adalah aqidah yang lurus dan ibadah yang benar, tidak kurang dan tidak lebih”. Sebuah pernyataan yang terasa asing di kalangan ulama dan fuqaha, begitu pun di kalangan politikus dan orang awam.

Para ulama menganggap bahwa yang dimaksud dengan Islam adalah ibadah ritual dan kebersihan jiwa. Sedangkan para fuqaha memahami Islam dengan shalat, shaum, zakat, dan haji. Begitu pun dengan orang awam. Sedangkan para politikus beranggapan bahwa Islam dan siyasah merupakan dua kutub yang berbeda yang tidak mungkin bersatu selamanya.

Begitulah Syaikh Hasan Al Banna –semoga Allah merahmati dan mengampuni kesalahannya- berda’wah di tengah masyarakat muslim yang jauh dari nilai-nilai keislaman. Berbagai gerakan di lakukan. Berbagai ijtihad dikerahkan untuk mencapai sebuah simpulan dalam menghadapi kehidupan di abad ke 20.

Gerakan Islam yang dibangun Syaikh Hasan Al Banna terus tumbuh, hingga akhirnya sebuah ijtihad siyasi dilakukan untuk mengirimkan beberapa utusan da’wah ke dalam Majelis Parlemen. Untuk apa..? Ya, untuk mengubah undang-undang dan merebut kekuasaan. Syaikh pernah berkata tentang kejanggalan undang-undang Mesir pada saat itu, Beliau menulis Risalah yang disampaikan pada Muktamar V Ikhwanul Muslimin:

“Sesungguhnya, Islam tidak diturunkan dalam keadaan tanpa undang-undang. Sebaliknya, ia telah menjelaskan banyak hal tentang asas-asas perundangan dan perincian hukum, baik perdata maupun pidana, baik hukum perdagangan maupun hukum kenegaraan. Al-Qur'an dan Sunah sarat dengan muatan ini, sementara para ahli fiqih juga telah banyak menuliskannya. Kalangan asing juga telah mengakui hakekat ini, dengan dipertegas oleh Muktamar Lahay Internasional yang dihadiri para praktisi hukum seluruh dunia.

Suatu hal yang aneh dan tidak masuk akal jika undang-undang yang berlaku untuk umat Islam bertentangan dengan ajaran agamanya, Al Quran dan Sunah Nabi-Nya. Jauh sebelumnya, Allah ta’ala telah memberi peringatan kepada Nabi-Nya mengenai masalah ini di dalam firman-Nya,

"Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di kalangan mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebagian apa yang diturunkan Allah kepadamu. Jika mereka berpaling (dari hukum yang telah diturunkan Allah), ketahuilah bahwa sesungguhnya Allah menghendaki akan menimpakan musibah kepada mereka disebabkan sebagian dosa-dosa mereka. Dan sesungguhnya kebanyakan manusia adalah orang-orang yang fasik. Apakah hukum jahiliyah yang mereka kehendaki. dan hukum siapakah yang lebih baik daripada hukum Allah bagi orang-orang yang yakin?" (QS. AI Maidah: 49-50)

Hal itu ditegaskan lagi oleh Allah dengan firman-Nya,

"Dan barangsiapa yang tidak berhukum dengan apa yang diturunkan Allah, maka mereka adalah golongan orang-orang yang kafir,... yang dzhalim,... yang fasik." (QS. AI Maidah: 44, 45, 47)

Nah, bagaimanakah sikap seorang muslim yang beriman kepada Allah dan kepada firman-Nya ketika mendengar ayat-ayat yang demikian jelas ini, ditambah lagi dengan hadits-hadits Nabi dan hukum-hukum-Nya, sementara dirinya dipimpin oleh sistem hukum yang bertentangan dengannya? Ketika ia meminta agar hukum itu diperbaiki, maka dikatakan kepadanya bahwa orang-orang asing tidak menghendaki dan tidak menyetujuinya. Setelah pernyataan yang menyudutkan ini, dikatakan pula kepadanya bahwa orang-orang Mesir telah merdeka, padahal mereka sebenarnya belum memiliki kemerdekaan beragama, sebuah kemerdekaan yang paling suci.

Undang-undang wadh'i (ciptaan manusia), di samping bertentangan dengan agama, teks-teksnya juga bertentangan dengan UUD Mesir itu sendiri yang menyebutkan bahwa agama negara adalah Islam. Lalu, bagaimana mungkin kita mengompromikan keduanya wahai orang-orang yang punya akal ?

Allah dan Rasul-Nya mengharamkan zina, riba, khamr, dan memerangi perjudian, sementara itu undang-undang melindungi pezina, mendukung riba, membenarkan khamr, dan mengatur perjudian. Maka, bagaimanakah sikap seorang muslim menghadapi dua hal yang jelas-jelas bertentangan ini? Apakah dia harus taat kepada Allah dan Rasul-Nya dengan mengkhianati pemerintah dan UU-nya, di mana Allah lebih baik dan lebih kekal (hukum-Nya)? Ataukah berkhianat kepada Allah dan RasuI-Nya, kemudian taat kepada pemerintah, sehingga dia menderita di dunia dan di akhirat? Kami menginginkan jawaban atas pertanyaan ini dari yang mulia kepala negara, menteri kehakiman, dan para ulama kita yang terhormat.

Adapun Ikhwanul Muslimin, mereka sekali-kali tidak akan pernah rela dan menyetujui undang-undang seperti ini. Mereka senantiasa bekerja dengan segala cara dalam rangka mengganti undang-undang semacam itu dengan syariat Islam yang adil dan utama, di semua sisi perundang-undangan. Sekarang bukan saatnya menanggapi berbagai syubhat yang berhubungan dengan masalah ini atau apa saja yang menghalangi jalan menuju ke sana. Di sini kami hanya menjelaskan sikap kami yang menjadi pijakan dalam bekerja, dengan kesiapan menghadapi seluruh rintangan dan menjelaskan kesalahpahaman, sehingga tidak ada lagi fitnah dan agama hanya milik Allah.

Ikhwan pernah menghadap kepada menteri kehakiman dengan menyodorkan tulisan tentang ini dan memperingatkan pemerintah tentang akhir kisahnya yang pahit ini. Sungguh, akidah adalah barang yang paling mahal harganya di alam wujud ini dan Ikhwan akan terus menggelindingkan bola. Namun, semua itu bukanlah akhir dari kerja keras mereka.

"Dan Allah tidak menghendaki kecuali menyempurnakan cahaya-Nya, meski orang-orang kafir membenci." (QS. Ash Shaff: 8)

Namun demikian, perjuangan da’wah Syaikh Hasan Al Banna tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Bahkan kehadiran kader-kader Ikhwan di parlemen hanya menjadi cemoohan partai nasionalis-sekularis, hingga akhirnya Ikhwan memilih untuk merenggang dan kembali berkonfrontasi dengan kekuatan pemerintahan thaghut hari itu. Puncaknya, Asy Syaikh Hasan Al Banna menjadi buruan para thaghut dan pada tahun 1949, terjadilah hari yang mengenaskan itu... Beberapa butir peluru menembus tubuh Sang Mujahid hingga akhirnya beliau pergi menuju tempat asalnya bermula, di sisi-Nya, insya Allah.

Pergolakan da’wah dan siyasah dalam dunia Islam selalu berwarna darah. Karena Allah telah menegaskan bahwa akan selalu ada kekuatan yang menentang diin-Nya. Sebagaimana Fir’aun yang menjadi lawan Musa, Namrudz yang menjadi lawan Ibrahim, dan Abu Jahl yang menjadi lawan Muhammad. Maka hari ini, pasukan Dajjal pun telah menantang pasukan Al Mahdi.

Kekuatan perlawanan Islam berawal dari sebuah gerakan kecil. Namun, ia besar dengan fikrah dan manhaj yang diusungnya. Dengan tekad dan kesabaran para pengusung panjinya. Berbagai percobaan da’wah dan jihad dilakukan. Demi menumbangkan kekuasaan tiran dan menyerahkannya kepada Allah semata, penguasa alam semesta.

Namun demikian, kita miris saat sebagian di antara para pejuang justru ikut ambil bagian dalam barisan pasukan Dajjal. Menjegal dan menghantam para mujahid. Menghina dan meruntuhkan panji tawhid. Memperolok-olok hukum Allah dan mempermainkannya bersama orang-orang musyrik dan munafiq.

Ijtihad siyasi Syaikh Hasan Al Banna seolah menjadi fatwa dan manhaj da’wah untuk masuk ke dalam parlemen dan duduk-duduk bersama orang-orang musyrik lalu kemudian mempermainkan hukum Allah. Padahal, dalam perjalanannya, Asy Syaikh sendiri tidak meneruskan proses tersebut, walau nyawa menjadi taruhannya. Hingga akhirnya Sayyid Quthb memahami bahwa da’wah haruslah dimulai dari akarnya. Beliau menulis dalam catatan terakhir hidupnya (Mengapa Aku Dihukum Mati?):

Harakah Islam harus dimulai dari pondasinya, yaitu: menghidupkan hakikat aqidah Islam di dalam hati dan akal, serta men-tarbiyah orang yang menerima dakwah ini dengan tarbiyah Islamiyah yang benar. Tidak membuang-buang waktu dalam berbagai aktivitas politik yang tengah berlangsung. Tidak melakukan upaya untuk memaksakan sistem Islam dengan cara menguasai pemerintahan sebelum terbentuk pondasi Islam di tengah-tengah masyarakat—dimana merekalah nanti yang akan menuntut sistem Islam itu sendiri, jika mereka telah mengerti hakikatnya dan ingin diperintah berdasarkan sistem tersebut.

Jelaslah jalan yang ditempuh para mujahid ini. Mereka adalah orang-orang yang jujur dalam mengemban amanah da’wah, walau nyawa menjadi taruhannya. Sungguh, kisah Ash habul Ukhdud telah memberikan pelajaran kepada kita bahwa kemenangan da’wah bukanlah pada berhasil tidaknya kita menguasai dunia. Namun, adalah bagaimana kita tetap berada di atas manhaj yang haqq dan menyampaikannya kepada manusia.

 

Wallahu a’lam...

*Penulis adalah Ketua Mahasiswa Pecinta Islam (MPI) Bandung


latestnews

View Full Version