View Full Version
Senin, 09 Apr 2012

Catatan Puncak Acara Global March to Jerusalem dari Relawan Indonesia

MUKTAMAR DI LEMBAH AGHWAR

 

“Hari ini kita berkumpul di Aghwar. Di sini pula, puluhan abad lalu Zaid bin Haritsah, Ja’far bin Abi Thalib, Abdullah bin Rawahah dan Khalid bin Walid beserta tiga ribu sahabat yang mulia datang untuk membebaskan Al-Aqsha. Hari ini kita pun datang dan berkumpul untuk membebaskan Al-Aqsha….”

(Syaikh Hammam As-Sa’d, imam dan khatib shalat Jum’at)

 

Puluhan ribu manusia berduyun-duyun memadati lembah Al-Aghwar, Jordan. Di padang pasir yang hanya berjarak 2 km dari Israel itu mereka datang dari 80-an negara. Mereka datang atas undangan panitia Global March for Jerussalem (GMJ), sebuah kampanye yang menuntut pengembalian Jerusalem dari kangkangan zionis Israel. Bagi kaum Muslimin, GMJ menjadi salah satu kendaraan bagi perjuangan membebaskan Al-Aqsha. Meski di mata sebagian kaum Muslimin sendiri ini adalah selemah-lemah perjuangan karena Israel hanya mengenal bahasa kekerasan.

Acara diawali dengan shalat Jumat, dengan imam dan khatib Syaikh Hammam As-Sa’d, pimpinan Ikhwanul Muslimin (IM) Jordan. Terik panas matahari tak melunturkan semangat puluhan ribu kaum Muslimin, dari anak-anak kecil hingga orang renta untuk hening mendengarkan khotbah. Salah seorang dari jamaah datang dengan dipapah untuk kemudian didudukkan di kursi roda. Dalam khotbahnya, Syaikh Hammam As-Sa’d menegaskan, sejarah pembebasan Al-Aqsha tak lama lagi akan berulang dengan “muktamar Al-Aghwar” ini.

Syaikh juga mengingatkan kepada para pemimpin Arab dan negara-negara Islam lainnya, bahwa mereka tidak lagi mempunyai alasan untuk tidak membebaskan Al-Aqsha. Saatnya bagi mereka untuk mengakhiri segala macam perdamaian dan kesepakatan yang merugikan umat Islam. Kepada Obama, Syaikh berpesan bahwa sesungguhnya Al-Aqsha masih memiliki ummat pembela yang tetap akan menuntut pembebasannya. Sedangkan kepada umat Islam, Syaikh mengingatkan untuk tidak melupakan Al-Aqsha. “Sesungguhnya Al-Quds adalah tanah tempat tinggal kalian, maka bagaimana kalian bisa melupakannya?”

Usai salat Jumat, digelar orasi internasional menampilkan pembicara dari berbagai negara. Kontingen Indonesia diwakili oleh DR. Marwah Daud Ibrahim. Dalam orasinya, anggota Dewan Pertimbangan ICMI tersebut menegaskan bahwa sekarang adalah era civil society. Termasuk dalam usaha membebaskan Jerusalem dari cengkraman Israel. Sayang, fasilitas speaker kurang memenuhi standar. Sejak khutbah Jumat, terjadi gangguan sound-system membuat suara pembicara sempat terputus beberapa kali.

Namun dalam soal ketertiban, panitia layak diacungi jempol. Beberapa anak muda berseragam hijau membuat pagar betis untuk mengarahkan masa ke lokasi yang ditentukan. Sementara yang berseragam orange menjadi korlap yang mengatur pergerakan mereka. Sempat terjadi ketegangan ketika sekelompok orang mencoba untuk menerobos masuk barikade. Tak jelas apa yang mereka inginkan, apakah sekadar ingin menembus barikade, atau “menyerang” empat orang rabbi Yahudi.

Kehadiran empat orang rabbi tersebut memang menarik perhatian. Dengan tampilan khas ala Yahudi Ortodoks, mereka banyak dikerumuni massa sejak turun dari kendaraan hingga duduk di tenda sampai acara berakhir. Sementara kehadiran kontingen asal Asia Tenggara tak kalah menarik perhatian peserta dari negara-negara Arab. Postur tubuh yang berbeda membuat mereka mudah dikenali. Beberapa kali, tim Hilal Ahmar Society Indonesia (HASI) mendapat sapaan. Tak jarang awalnya mereka mengenali tim HASI dari Malaysia.

Ribuan massa yang datang dari berbagai negara membuat peserta tuan rumah terharu. Kehangatan suasana mudah terbentuk karena semua peserta diikat dalam satu visi dan misi demi pembebasan Al-Aqsha. Biasanya, sapaan dilanjutkan dengan foto bersama. Sementara, dari kejauhan aparat keamanan bersiap siaga dari arah perbatasan Jordan-Israel. Sebenarnya Presiden GMJ International, Ribhi Gallum dalam negoisasi dengan raja Jordan sudah menyatakan bahwa ini adalah acara non-violance. “Kami mendukung segala upaya kemerdekaan Palestina, baik violence maupun non-violence. Namun acara GMJ Jumat 30 Maret adalah murni non-violence,” kata Ribhi di depan raja Jordan sebagaimana dikutip dr. Joserizal Jurnalis.

 Namun, Jordan terkenal sebagai negeri intelijen. Tentu sekecil apapun kemungkinan ancaman keamanan tidak akan ditolerir pemerintah Jordan. Jangankan sebuah even internasional yang hendak “melawan” Israel seperti GMJ ini. Bagi mahasiswa Indonesia di Jordan, berurusan dengan intel itu sudah biasa. Bahkan, Sulaiman seorang mantan anggota Fatah Palestina yang kini tinggal di Jordan dan banyak membantu akomodasi MER-C selama di Amman mengatakan, “3 dari warga Jordan, 1-nya adalah intel.” Apalagi, sehari setelah GMJ ketika tim Voice of Palestina dari Jakarta ditahan oleh imigrasi bandara Amman. Mereka

Begitulah sisi agak “angker” Jordan. Ditambah lagi, kampanye ini ditujukan melawan Israel, dilakukan di daerah perbatasan dengan negeri Zionis itu pula. Zionis Israel, yang bisa bertindak apapun semaunya tanpa pikir dan khawatir akan digugat Mahkamah Internasional. Karenanya, dalam briefing sebelum keberangkatan ke Aghwar, dr. Jose memberikan detil arahan sampai untuk mengatasi hal-hal yang kritis. Seperti bagaimana cara menghadapi kondisi saat ditangkap, atau ditembak—dari mulai gas air mata hingga peluru tajam.  [muslimdaily.net]


latestnews

View Full Version