View Full Version
Senin, 06 May 2013

Meski Menjadi Sorotan, Muslim Amerika Ingin Tunjukkan Identitas Mereka

WASHINGTON, muslimdaily.net, - Saat komunitas mereka menjadi soroton setelah pemboman di Boston, kaum muda Muslim di Amerika Serikat menghadapi perjuangan sulit untuk memahami identitas dan agama mereka.

"Saya dulu mencari jati diri," kata Sami Elzaharna, seorang pengembang perangkat lunak yang telah menikah berusia 26 tahun dan Muslim yang sangat taat, kepada The Washington Post sebagaimana dilansir onislam.net, Ahad 5 Mei.

"Orang-orang yang datang ke sini pada usia muda bermain mencari jati diri dalam hal mengeksplorasi siapa mereka, bagaimana mereka akan membawa bersama-sama di mana mereka dulu berada dan di mana mereka sekarang. "

Elzaharna, dari Arab Saudi, bukanlah seorang Muslim yang taat, ketika ia datang ke Maryland pada tahun 2005. Tapi stereotip Muslim di era pasca 11 September telah mendorongnya, seperti semua pendatang baru, untuk mencari pemahaman yang lebih baik tentang Islam.

Situasi serupa telah menghadapi Dina Abkairova, seorang Muslim Rusia, yang datang ke Boston pada tahun 2004. Ketika ia pertama kali tiba di Boston, Abkairova diminta oleh teman-temannya untuk menghindari memberitahu orang lain tentang agamanya. Hidup dalam budaya baru, maka wanta yang saat itu berusia 22 tahun mulai menyadari bahwa dia semakin jauh dari agamanya.

"Saya mulai mempertanyakan apakah saya memiliki hak untuk menyebut diri saya seorang Muslim."

Kemudian, ia terhubung dengan sebuah kelompok Muslim yang mengatakan bahwa "Anda Muslim jika Anda mengatakan Anda adalah Muslim. Yang penting adalah untuk menjadi berpikiran terbuka dan terbuka terhadap pilihan orang lain."

"Itu benar-benar membantu saya untuk mengambil napas dan berkata, 'Fiuh, oke, aku normal.'"

Edina Skaljic ingat kedatangan pertamanya di Boston pada tahun 2000 sebagai pengungsi 15 tahun dari Bosnia karena pembantaian Muslim Bosnia oleh tentara Serbia.

Sebelum 11 September, Skaljic menemukan dirinya dalam lingkungan yang damai untuk pertama kalinya dalam hidupnya. Tapi sehari setelah serangan 11 September, seorang teman kulit putih Amerika muncul di depan lokernya di sekolah.

"'Edina, kamu akan membunuhku? Bukankah kamu dari Bosnia, dan dekat dengan Afghanistan, kan? '", kenangnya.

"Saya datang sembilan bulan sebelumnya dari genosida (waktu pembantai muslim Bosnia), dan sekarang orang yang memperlakukan saya seperti seorang kriminal."

Pertanyaan untuk Identitas

Menemukan diri mereka di bawah sorotan setelah 11 September, Muslim Amerika muda telah menjadi lebih berkeinginan menjadi lebih saleh dan lebih terbuka kepada masyarakat.

"Saya ingat menonton menara kembar jatuh berulang-ulang, dan kemudian invasi ke Irak. Aku merasa seperti dunia ini berakhir, "kata Raza Najamuddin yang berimigrasi dari India pada usia 12 dan tidak menjadi seorang yang relijius sampai terjadi kebangkitan spiritual di tahun 2000-an.

"Saya hanya harus menegaskan kehidupan dan agama saya sendiri dan lebih terlibat dalam masyarakat.

"Saya ingin orang tahu bahwa Islam berbeda dengan apa yang dikatakan orang di sini," ujar pria yang kini berusia 31-tahun dan bekerja sebagai Pemeriksa Paten pemerintah, yang tinggal di Alexandria.

Merasa adanya kejutan budaya yang positif  setelah datang dari Afghanistan pada tahun 1998, Makhdoom Zia meluncurkan sebuah kelompok di Virginia Utara yang bernama MakeSpace bagi pemuda Muslim yang mungkin tidak merasa terhubung di masjid.

"Saya menjadi lebih terbuka. Sekarang saya melihat lebih banyak kejelasan dalam pandangan yang berbeda [tentang Islam]. Islam bukanlah ilmu pengetahuan atau matematika, di mana hal-halnya hitam dan putih," kata Zia.

"Tapi kami harus bergerak di luar untuk sebuah komunitas yang berorientasi layanan. Itulah  Islam - yakni rahmat, kasih sayang. Kami harus berbuat lebih banyak."

Amerika Serikat adalah rumah bagi minoritas Muslim antara enam hingga delapan juta jiwa. [har]


latestnews

View Full Version