View Full Version
Rabu, 20 Aug 2025

Selembut Kasih Sastra

Oleh: Yons Achmad (Kolumnis, tinggal di Depok)

Sastra bagi seorang muslim saya kira harus begitu akrab, harus begitu dekat. Tentu, bukan sastra yang sembarangan, bukan sastra yang serampangan. Tapi sastra yang berkenabian (profetik). Sastra yang mendekatkan manusia pada rasa kemanusiaan, sastra yang mendekatkan manusia pada pembebasan keduniawian, sastra yang selalu mengingatkan manusia pada keabadian akhirat. Singkat cerita, dengan selembut kasih sastra, menjadikan manusia benar-benar menjadi manusia, bukan yang lainnya.

Saya pembaca sastra, selalu mencoba dekat dengan sastra. Lewat sastra, saya mendapatkan ruang untuk menikmati dunia yang berbeda dari kehidupan nyata. Memang, sastra di dalamnya rekaan semata. Tapi, saya belajar dari tokoh-tokoh yang dihadirkannya. Terutama, tentang bagaimana memandang hidup dengan cara yang berbeda. Di mana, di sana tentu ada andil penulisnya (pengarangnya). Ia yang mungkin menulis sastra karyanya begitu lama, berpayah-payah. Saya tak pernah benar-benar tahu prosesnya. Saya tinggal menikmatinya saja.

Konon, sebuah cerita dalam karya sastra adalah media yang sengaja dirancang olah kaum bijak pendahulu kita, termasuk para ulama, untuk mengurangi kecemasan, meringankan depresi, menyalakan kreativitas, memicu keberanian, hingga menghadapi berbagai tantangan psikologis lain untuk menjadi manusia seutuhnya. Juga, tentu saja sebagai media agar manusia lebih dekat denganNya. Tentu, ini sebuah motivasi yang mulia.

Dalam bukunya Wonderworks: The 25 Most Powerful Inventions in the History of Literature, (2021), Fletcher menyebut salah satu manfaat sastra, yakni membantu pembacanya melawan kesepian, bangkit dari kesedihan, ketenangan pikiran, dan keberanian menjalani hidup dengan kreativitas. Membaca karya sastra, baik puisi ataupun prosa (cerita fiksi), bisa membangkitkan kegembiraan, empati, hingga keterhubungan dengan orang lain. Sebuah manfaat yang begitu beragam.

Sementara itu, dalam otak manusia ada bagian yang disebut Nukleus Raphe Dorsal (DRN), yaitu bagian berisi sekelompok neuron dopamin yang membantu manusia menghadapi kesepian dan mendorong seseorang berteman ketika bertemu orang lain. Cerita sastra bisa mengaktifkan bagian DRN ini sehingga memudahkan seseorang untuk terhubung kembali atau bersosialisasi dengan masyarakat.

Selembut kasih sastra, bisa menjadi jawaban kehausan umat manusia akan problem eksistensial semacam itu. Tapi, apakah sastra hanya bermanfaat bagi pribadi semata? Tentu tidak. Seperti yang saya singgung di awal, sastra profetik (berkenabian) atau lebih populernya kita sebut saja sastra profetika tak hanya punya fungsi dan manfaat praktis semacam itu.

Pesan-pesan dalam karya sastra profetika, semestinya tak hanya melulu berkutat pada kegunaan pribadi semata. Tapi, ia justru perlu melampaui diri. Artinya, sastra yang yang diperlukan adalah sastra yang membangun harapan, menguatkan solidaritas, kepedulian sosial, juga memihak kepada kaum yang lemah. Ia bukan sastra yang melulu hadirkan keindahan bahasa, tapi kosong akan isi.

Ia hadir dengan kata-kata yang menggerakkan pembaca. Pada akhirnya, pembaca sastra bisa menjadi pribadi yang terasah jiwa manusiawinya, bukan menjadi egois tanpa pedulikan nasib orang lain, juga punya dimensi keakhiratan yang kuat diwujudkan dengan amal-amal keberbagian dalam kehidupan. [PurWD/voa-islam.com]


latestnews

View Full Version