Yons Achmad (Praktisi Komunikasi. Pendiri Brandstory.id)
Konon, di kementerian yang pernah dipimpinnya, banyak yang bersorak ketika Nadiem Makarim akhirnya dijadikan tersangka korupsi. Kejaksaan Agung menetapkan mantan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Anwar Makarim (NAM), sebagai tersangka kasus dugaan korupsi pengadaan laptop Chromebook dalam Program Digitalisasi Pendidikan periode 2019-2022. Tak tanggung-tanggung, proyek 9 triliunan itu ditaksir menimbulkan kerugian negara hingga Rp1,98 triliun.
Saya tak akan soroti kasus itu dalam perspektif hukum.
Tapi, saya coba menelisik dalam perspektif “Efek Komunikasi”
Pasca ditetapkan sebagai tersangka dan dilansir di berbagai media baik televisi, media cetak, maupun online dan media sosial, sepertinya tak ada semacam gerakan yang cukup massif untuk melakukan pembelaan. Tampak di layar kaca dan layar media sosial, Nadiem termenung, memakai “Rompi Pink Korupsi”, tangan diborgol dan berjalan penuh lunglai saat disorot media. Sendirian berjalan, hadapi pengadilan. Efek komunikasi, dampak pasca pemberitaan senyap dari pembelaan.
Ke mana sahabat-sahabatnya?
Kenapa, kalau memang banyak pendukungnya, tak ada yang bersuara membela?
Ia, saya kira tak menyangka jadi tersangka kasus korupsi yang menjeratnya. Ditarik ke belakang, ia memang sudah melakukan klarifikasi umpamanya di Podcast Deddy Corbuser tapi itu tak menolongnya. Ia juga mengaku di sana bahwa ayahnya, mantan Komite Etika KPK, ibunya pendiri Bung Hatta Anti Corruption Watch dan lahir dari keluarga yang anti korupsi. Dirinya mengaku tak mungkin melakukan korupsi.
Klaim boleh-boleh saja. Faktanya, dia jadi tersangka kasus korupsi. Saat jadi menteri memang banyak selentingan dia bukan “Orang Pendidikan” tidak punya “Visi Pendidikan”, yang dia punya hanyalah “Visi Bisnis”. Kalau soal ini memang tak perlu disangsikan lagi. Pendiri aplikasi Gojek ini tak terbantahkan sukses secara bisnis.
Dia kini jadi pesakitan sendirian. Tepuk tangan berkumandang, terutama dari orang-orang yang pernah “Sakit hati”. Dulu, ketika di kementerian dia konon juga buat semacam “Tim Bayangan” dari orang-orang kepercayaannya. Orang-orang inilah yang mengatur proyek-proyek di kementerian yang dipimpinnya.
Kini, kenapa Mas Menteri Nadiem seolah tak ada yang membela? Kecuali dibela oleh Hotman Paris, pengacara yang memang dibayarnya? Berbeda misalnya Tom Lembong. Ditersangkakan, tapi orang tak percaya dia korupsi, orang percaya Tom bersih dan dengan suka rela membelanya. Akhirnya, dia lolos dari pengadilan yang kental dengan nuansa kriminalisasi. Kenapa itu tak terjadi dalam kasus korupsi Mas Menteri? Orang bilang, Mas Menteri “Main” sendiri. Jadi kalau terkena kasus ya hadapi saja sendiri. Benarkah begitu? []