View Full Version
Rabu, 05 Nov 2025

Kemenangan Zahran Mamdani: Retakan di Cermin Kekaisaran

Oleh: Hammadurrahman

Tadi malam, dalam salah satu pemilu paling dramatis dalam sejarah modern Amerika Serikat, Zahran Mamdani, seorang kandidat Muslim keturunan India-Afrika, meraih kemenangan telak. Kemenangan ini terjadi meskipun ia menghadapi oposisi besar dari kekuatan Zionisme, kapitalisme, dan supremasi agama-rasial, yang mengerahkan sumber daya besar berupa uang, kekuasaan, dan pengaruh untuk menjatuhkannya.

Kemenangan Zahran Mamdani — putra dari intelektual ternama Mahmood Mamdani dan pembuat film Mira Nair — sebagai kandidat Partai Demokrat dalam pemilihan wali kota New York, lebih dari sekadar kemenangan lokal. Ia menandakan arus bawah yang lebih dalam: pemberontakan yang tumbuh melawan jalinan mesin kapitalisme global, keamanan berlandaskan ras, impunitas Zionis, dan pembungkaman Islamofobik.

Di jantung kota New York — salah satu wilayah paling aman dan kaya modal di dunia — kemunculan Mamdani menjadi kritik terhadap tatanan global. Ia adalah bentuk pemberontakan di dalam benteng liberalisme imperialis itu sendiri. Kampanyenya menyoroti politik anti-austerity (anti-pemangkasan anggaran sosial), solidaritas dengan Palestina, serta pembongkaran logika penjara dan korporasi yang telah membentuk kehidupan Amerika selama beberapa dekade. Secara esensial, ini merupakan pukulan terhadap apa yang oleh buku The Globalisation of World Politics disebut sebagai “kekuatan pendisiplin kapitalisme.”

Selama bertahun-tahun, hanya mengkritik Israel — bahkan atas pengepungan brutal di Gaza atau kebijakan apartheid-nya — sudah cukup untuk membuat seseorang dikucilkan secara politik. Istilah “antisemit” sering digunakan bukan untuk melawan kebencian sejati, melainkan untuk mengamankan dan membungkam perbedaan pendapat. Setiap kritik moral terhadap kolonialisme pemukim Zionis dianggap sebagai ancaman eksistensial, lalu dibungkam. Dalam kasus Mamdani pun, naskah lama itu diulang kembali: ia diberi label “Pro-Hamas,” “Antisemit,” dan “ekstremis.” Namun kali ini, strategi itu gagal.

Warga New York — yang beragam, muda, dan sadar politik — menolak untuk tunduk pada narasi keamanan semu tersebut. Senjata retorika lama tak lagi berfungsi. Kekebalan moral Zionisme, yang dibangun di atas beban tragis Holocaust, kini tergerus oleh horor nyata dari pengepungan genosida di Gaza. Perisai korban sejarah itu mulai retak — bukan karena Holocaust dilupakan, tetapi karena tragedi itu dimanipulasi secara moral untuk membenarkan kekerasan kolonial.

Bahkan para sarjana dan intelektual Yahudi ternama seperti Noam Chomsky, Norman Finkelstein, dan Ilan Pappé telah lama memperingatkan tentang dissonansi moral ini. Namun, pemerintah-pemerintah tetap berkompromi. Di seluruh jalanan Barat, masyarakat telah bergerak untuk mendukung Palestina, tetapi kebijakan tidak berubah. Kesenjangan antara sentimen publik dan tindakan elit berkuasa tampak begitu jelas.

Representasi politik dari simpati publik itu dimanipulasi melalui “persetujuan yang direkayasa” (manufactured consent) dan narasi korban palsu yang disebarkan oleh media besar yang dikendalikan konglomerat. Pencalonan Mamdani menandakan bahwa masyarakat akhirnya mulai menemukan cara untuk menyuarakan pandangan mereka melalui jalur elektoral, meski menghadapi konsensus Zionis dalam industri-media yang mengakar kuat.

Namun, di India, yang terdengar justru keheningan yang memekakkan telinga.

Meskipun Zahran memiliki ikatan budaya dan keluarga dengan India, kaum intelektual liberal dan kelompok kanan Hindutva secara langka bersatu dalam diam — dengan cara mengabaikannya. Mengapa? Karena ia tanpa ragu mengidentifikasi diri sebagai seorang Muslim. Karena ia menantang Hindutva dan Zionisme dengan ketegasan yang sama. Karena ia tidak memoles identitasnya demi kenyamanan kaum liberal.

India cepat-cepat merayakan Kamala Harris dan Rishi Sunak — simbol keberhasilan minoritas di dalam sistem dominan — tetapi menolak mengakui Mamdani, yang justru mewakili pembangkangan, bukan penyesuaian.

Ini bukan sekadar prasangka sayap kanan, melainkan menunjukkan Islamofobia yang tertanam dalam kalangan elite sekuler India — mereka yang bangga membela pluralisme sosial, namun berpaling ketika kemenangan seorang Muslim tidak sesuai dengan liberalisme kapitalis yang “bersih.” Mamdani adalah sosok yang mengganggu kenyamanan: terlalu politis, terlalu Muslim, terlalu kritis.

Namun ia juga perwujudan dari sebuah tradisi panjang. Sebagai putra Mahmood Mamdani, pemikir yang membongkar warisan kekerasan kolonial, rekayasa rasial negara, dan dikotomi “Muslim baik/Muslim jahat,” Zahran menjadi pewaris intelektual dan politik dari pemikiran dekolonial global. Sementara ibunya, Mira Nair, melalui film-filmnya yang menyoroti migrasi, ketegangan rasial, dan identitas, menambahkan dimensi kultural dalam garis keturunan perlawanan ini.

Di tengah dunia yang kian suram, pencalonan Mamdani memberi secercah kejelasan langka: bahwa retakan mulai muncul di cermin kekaisaran. Hegemoni masih bisa membungkam, masih bisa mendominasi — tapi tidak tanpa perlawanan, dan tidak tanpa keretakan.
Bagi mereka yang bermimpi tentang keadilan, bukan sekadar kemenangan elektoral, pencalonan Zahran Mamdani mengingatkan: sejarah belum selesai. (MeMo?Ab)


latestnews

View Full Version