View Full Version
Jum'at, 08 Jun 2012

Apakah Umat Islam Harus Menyerah kepada Komisi HAM PBB?

Indonesia di tuduh melakukan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), saat berlangsung  sidang  Dewan HAM Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), di Jenewa, Swiss. Indonesia dievaluasi 74 negara di dunia, melalui mekanisme Universal Periodic Review, Dewan HAM PBB, di sessi ke – 13 di Jenewa.

Dari 180 rekomendasi, pemerintah mengadopsi 144 rekomendasi dan 36 sisanya akan dibawa ke Indonesia untuk dipertimbangkan dan diputuskan pada September 2012, pada sesi 21 Dewan HAM PBB.

Nampaknya, pemerintah Indonesia  mengadopsi mayoritas rekomendasi resolusi Dewan HAM PBB itu. Diantara yang menjadi  sorotan Dewan HAM PBB itu :

“Harmonisasi sejumlah peraturan daerah (perda) diskriminatif dengan standar HAM dan menghapus perda yang memicu diskriminasi berbasis agama, selain itu juga membatalkan undang-undang maupun kebijakan yang membatasi hak atas kebebasan berpikir dan berekspresi”.

Tentang menyangkut sejumlah peraturan daerah (perda)  yang diangap diskiriminatif, sebagai akibat sejumlah daerah di Indonesia, yang menetapkan sejumlah  perda, yang melarang berbagai bentuk penyakit sosial seperti,  “Molimo” (madon-berzina, mendem-mabok, madat-narkoba, main-judi, dan mateni-membunuh”.

Apakah itu sebuah pelanggaran HAM? Jika pemerintah daerah, menetapkan peraturan daerah, yang melarang pelacuran, berzina, minum, narkoba, judi, dan membunuh? Tentu setiap pemerintah daerah, di era otonomi berhak membuat perutaran, yang dapat menjamin ketertiban, keamanan, kehidupan moralitas masyarakat luas. Dengan menghapus berbagai penyakit sosial.

Pemerintah pusat seharusnya menghormati, sejumlah pemerintah daerah, yang didukung DPRD, berinisiatif membuat peraturan dalam rangka menjamin kondisi daerahnya, menjadi lebih normal, termasuk melarang dan membatasi segala aktifitas yang dapat membahayakan kehidupan warganya.

Apakah dengan dalih kebebasan dan hak asasi manusia, segala  penyimpangan, kemudian dibiarkan dan tidak diatur. Jika sebuah penyimpangan itu tidak diatur, dan dibiarkan, maka akan terjadi malapetaka dalam kehidupan.

Rakyat dibiarkan berzina secara bebas, dan membiarkan para pelacur melakukan praktek di mana-mana, orang minum minuman keras dibiarkan, orang menggunakan narkoba tidak ditindak, orang judi bisa  bebas, dan setiap orang dibiarkan membunuh terhadap orang lain?

Memang, belum lama ini, Mendagri Gumawan Fauzi, sudah menegaskan hendaknya, seluruh pemerintahan daerah mencabut peraturan daerah (perda), yang dinilai bertentangan dengan undang-undang yang lebih tinggi (UUD’45) dan Pancasila.

Tetapi, bagaimana pemerintah pusat mengebiri pemerintah daerah, yang  membuat berbagai peraturan, yang tujuannya ingin melindungi dan menjaga rakyatnya? Apakah, perda itu sebagai sebuah pelanggaran, dan harus dibatalkan, dan sama sekali tidak diakomodasi? Hanya karena perda itu dituduh sebagai perda : “Syariah”?

Sejatinya, adanya perda-perda yang dibuat oleh pemerintah daerah itu, tujuannya melindungi masyarakat dari berbagai penyakit sosial, dan menjamin agar rakyat tidak hancur. Semua bentuk kejahatan yang ada dalam bentuk “molimo”  yang sudah menjadi penyakit sosial, di mana sekarang sudah sangat akut, maka  pada akhirnya menghancurkan sendi-sendi kehidupan bangsa Indonsia.

Tetapi, bagaimana masalah internal pemerintahan di Indonesia harus sampai masuk dalam agenda sidang Komisi HAM PBB? Betapa LSM-LSM dan fihak Gereja begitu paranoid terhadap umat Islam, dan pemerintah daerah yang mangadopsi aspirasi rakyat melalui DPRD melarang berbagai penyimpangan yang ada, kemudian dituduh melanggar HAM?

Di bagian lain yang disoroti Komisi HAM PBB terkait dengan pelangaran HAM di Indonesia :

“Terkait isu kebebasan beragama: mel akukan tinjau ulang dan mencabut kebijakan yang membatasi kebebasan beragama, memastikan semua produk hukum yang mengatur kehidupan beragama sesuai dengan standar HAM internasional, pelatihan bagi aparat untuk penegakan hukum dan perlindungan atas kebebasan beragama, membangun upaya intensif dan langkah kongkret stop kekerasan berbasis agama, investigasi dan hukum pelaku kekerasan terhadap minoritas agama, dan menghentikan syiar kebencian”.

Komisi HAM PBB sangat serius menanggapi tentang adanya pelanggaran kebebasan beragama di Indonesia. Tentu,  hal ini terkait dengan isu masalah Ahmadiyah, dan larangan pendirian Gereja Yasmin di Bogor,yang dilaporkan oleh LSM-LSM, dan Dewan Gereja Indonesia kepada Komisi HAM PBB, di Jenewa.

Masalah Ahmadiyah, tentu Komisi HAM PBB, tidak dapat hanya melihat itu, sebagai pelangaran HAM. Karena, hal itu menyangkut masalah yang pokok (asas). Di mana dikalangan para  pemimpin Islam di Indonesia, sudah menyampaikan kepada pemerintah, solusi yang diinginkan dalam rangka menyelesaikan masalah Ahmadiyah.

Ahmadiyah adalah masalah internal umat Islam. Usaha dialog dengan fihak Ahmadiyah dan pemerintah sudah berulang kali diselenggarakan, tetapi pemerintah tidak mengambil langkah tegas. Terhadap Ahmadiyah. Inilah yang kemudian menimbulkan konflik di tingkat bawah.

Kalangan umat Islam menilai Ahmadiyah sebagai kelompok yang menyimpang dari mainstream (arus utama) umat Islam, yang samasekali tidak dapat ditoleransi. Ahmadiyah mengaku memiliki nabi sendiri, dan memiliki kitab sendiri, dan itu semua bertentangan dengan keyakinan mayorita umat Islam.

Apakah  dengah dalih kebebasan beragama umat Islam harus membiarkan Ahmadiyah melakukan aktifitas, dan melakukan gerakan, yang mengajak umat Islam  masuk ke dalam Ahmadiyah, yang sudah terang-terangan menyimpang dari pokok ajaran Islam?

Tentang Gereja Yasmin.

Gereja Yasmin merupakan salah satu dari gereja  yang banyak di Indonesia. Di mana prosedur pendirian sangat manipulatif. Dengan cara melanggar kesepakatan yang sudah tertuang dalam SKB Tiga Menteri, tentang tata cara pendirian rumah ibadah. Diantaranya, setiap gereja yang hendak didirikan, harus mendapatkan persetujuan tanda tangan 90 warga di sekitar lokasi.

Sering terjadi fihak gereja melakukan manipulasi tanda tangan penduduk setempat. Di mana dengan  tanda tangan yang  dimanipulasi itu, kemudian gereja  mendapat  izin pendirian gereja. Bayangkan, di Indonesia pertumbuhan gereja, lebih 200 persen, dibandingkan dengan umat Islam, yang mayoritas di Idnonesia, yang tidak sampai 100 persen pertumbuhan setiap tahun. Ini berdasarkan hasil penelitian Departemen Agama 2009.

Masihkah fihak gereja merasa dibatasi hak-hak dasar mereka? Sehingga, kasus Gereja Yasmin, harus dilaporkan kepada Komisi HAM PBB, sebagai pelanggaran  HAM di Indonesia.

Orang Islam setiap hari dibunuhi di mana saja tidak ada yang mengangkat ini ke Komisi HAM PBB. Di Barat, khususnya di Eropa dan Amerika Serikat, dapatkah umat Islam menjalankan hak-hak dasarnya, seperti keyakinan agama mereka secara bebas.

Di sejumlah negara Eropa, pemerintahannya melarang wanita menggunakan kerudung dan cadar. Akitivitas keagamaan mereka batasi. Sejumlah hak-hak dasar mereka ikut juga dibatasi, seperti dalam pendidikan, dibidang ekonomi, sosial, dan budaya. Sekarang di seluruh negara-negara Barat, terjadi mengalami diskriminasi yang begitu hebat terhadap umat Islam. Tetapi, adakah yang berbicara hak asasi umat Islam?

Masjid-masjid dilarang mengumandangkan adzan dengan menggunakan pengeras suara. Semua aktivitas umat Islam direduksi dengan sangat keras. Umat Islam kemana saja diawasi. Umat Islam sudah dengan steriotipe yang negatif sebagai militan, fundamentalis, dan ektrimis, serta teroris.

Berbeda setiap pemerintah Barat, khususnya Amerika dengan sangat enaknya membunuhi umat Islam dan tokoh-tokohnya hanya dengan modal stempel “teroris”, merekasudah dapat bertindak apa saja, termasuk membunuh Muslim.

Di Indonesia sudah berapa banyak umat Islam, yang belum dibuktikan kesalahannya, langsung ditembak di jalan-jalan dan di rumah-rumah mereka, hanya karena mereka dituduh sebagai “teroris”. Kejahatan atau kesalahannya  tidak pernah dibuktikan didepan pengadilan.

Mereka disiksa di penjara-penjara. Adakah yang memperhatikan nasib mereka. Seperti halnya mereka  yang sampai sekarang masih disimpan di penjara Guantanmo, di Teluk Kuba,hanya karena mereka ingin menegakkan aturan dan hukum Allah.

Sementara hanya gara-gara masalah Ahmadiyah dan Gereja Yasmin di Bogor, Indonesia sudah diadukan kepada Komisi HAM di Jenewa oleh LSM-LSM dan Dewan Gereja.

Sepanjang pemerintah Soeharto berapa banyak umat Islam di bantai oleh rezim biadab Soeharto, di Aceh, Lampung, dan Tanjung Priok, dan di sejumlah penjara? Tidak ada yang melaporkan Soeharto kepada Komisi HAM PBB.

Jadi kalau umat Islam mati dibunuh, di kristenkan, di murtadkan, dan benamkan  ke dalam penjara-penjara serta disiksa itu sifatnya “given” belaka? Lembaga-lembaga internasional dan  multilarel  (global), datang ke negara-negara Afrika, Asia, Timur Tengah, dan memurtadkan mereka, mendirikan gereja, padahal yang beragama Kristen bisa dihitung dengan jari di tengah-tengah Muslim, lalu kalangan Muslim harus menerima begitu saja?

Jadi kalau Ahmadiyah terus menyebarkan faham yang melawan “mainstream” mayoritas Muslim dan Gereja memurtadkan Muslim harus dibiarkan saja? Begitu? Wallahu’alam.


latestnews

View Full Version