View Full Version
Selasa, 03 Jul 2012

Akankah Koruptor Menjadi Miskin Dengan Fatwa Ulama?

Jakarta (voa-islam.com) Entah sudah berapa uang rakyat yang dikorup para koruptor? Sejak zamannya Soeharto sampai pemerintahan SBY. Sulit menghitungnya. Uang BLBI saja sudah Rp 650 triliun. Bank Century Rp 6,7 triliun.

Di tambah berapa uang rakyat yang dikorup Nazaruddin dan elite Partai Demokrat, Golkar, dan partai lainnya? Berapa uang yang dikorup Gayus dan koleganya? Di Ditjen Pajak yang sekarang menjadi sumber penerimaan pendapatan negara, korupsi sudah "berjamaah".

Belum lagi yang uang rakyat yang digerogoti oleh pejabat, birokrat, penguasa, kroni-kroninya, dan para pengusaha. Sudah tidak dapat dihitung lagi. Mereka tak henti-henti merampok uang rakyat melalui APBN. Sampai-sampai di negeri ini, yang mayoritas penduduknya Muslim itu, pengadaan Al-Qur'an pun, mesti harus dikorup oleh anggota DPR Golkar dan anaknya.

Koruptor tak pernah berhenti dan kapok merampok uang rakyat. Mereka bertambah-tambah jumlah pelaku korupsi. Di lembaga ekskutif, legislatif, yudikatif, semuanya tak ada yang tidak melakukan korupsi. Semuanya melakukan korupsi. Tak ketinggalan lembaga penegak hukum, ikut pula menjadi pelaku korupsi. Sungguh sangat ironi.

Belum lama, ratusan ulama seluruh Indonesia yang berkumpul di Pondok Pesantren Cipasung, Tasikmalaya, Jawa Barat, memutuskan dalam Sidang Pleno, dan sekaligus menutup Ijtima' Ulama ke IV, di mana para ulama menyepakati, asset milik koruptor dari hasil korupsi dapat dirampas oleh negara, dan dimanfaatkan sepenuhnya untuk kepentingan masyarakat.

"Masalah perampasan asset koruptor, peserta ijtima' sepakat, asset koruptor yang terbukti secara hukum merupakan hasil korupsi harus diambil oleh negara dan diperuntukan untuk masalahat umum", kata Sekretaris Komisi Fatwa MUI, Asrorun Niam.

Perampasan hasil asset koruptor itu, jika benar-benar terbukti secara hukum merupakan bersumber dari hasil perbuatan korupsi oleh yang bersangkutan. Jadi harus dibuktikan secara hukum yang memililki kekuatan tetap, bahwa kekayaan yang ada itu merupakan dari hasil perbuatan korupsi, tambah Niam.

Namun, asset koruptor yang merupakan harta milik murni, bukan dari hasil korupsi dan mendapatkan putusan hukum, secara hukum memiliki kekuatan bukti formal, negara tidak boleh merampasnya. Seperti harta warisan, dan asset-asset lainnya, yang secara hukum dapat dibuktikan secara syah, tidak dapat dirampas oleh negara.

Kecuali, bila koruptor tidak dapat membuktikan secara hukum yang syah, harta yang dimiliki asal-usulnya serta legalitasnya,  maka negara berhak merampasnya.

Sekarang kalau mau jujur, bila penegak hukum mau menggunakan asas pembuktian terbalik, tentang harta kekayaan para pejabat, anggota legislatif (DPR), pejabat publik,  pemimpin partai, maka negaranya akan dapat merampas harta parat pejabat, penguasa, dan para pemimpin partai.

Betapa banyak para pejabat di tingkat ekskutif, legislatif, dan yudikatif, yang kalau dinilai dengan nalar, antara gaji dengan asset kekayaannya sangat tidak nyambung. Pejabat terdiri dari ekskutif, legislatif, dan yudikatif, yang kalau dilihat dari "take home pay" nya kecil, tetapi memiliki rumah mewah, yang jumlahnya bukan hanya satu, memiliki mobil mewah, dan uang simpanan bermiliar-miliar, termasuk benda berharga, seperti emas dan berlian. Lantas dari mana asal mula semua kekayaan yang mereka miliki itu?

Komisi B Ijtima' Ulama di Cipasung, Tasikmalaya itu, yang jumlahnya 200 orang ulama, mereka bukan hanya membahas perampasan asset  koruptor, tetapi masalah pencucian uang.

Karena, modus operandi para koruptor, agar mereka tidak terjerat hukum, akibat perbuatan korupsinya, maka mereka melakukan pencucian. Seperti mereka - para koruptor yang merampok uang rakyat itu, kemudian mereka menginvestasikan uang jarahan mereka ke berbagai proyek investasi. Dengan mengatasnamakan orang lain, yang bukan keluarga mereka, atau familinya.

Para koruptor sudah sangat fasih memahami bagai langkah-langkah pengamanan yang mereka  lakukan menghadapi tindakan hukum. Mereka bisa menyelamatkan harta hasil rampokannya itu dengna berbagai cara atau modus, yang sudah mereka pahami. Sehingga, unsur-unsur penegak hukum tidak mampu mendeteksi uang hasil curian yang mereka lakukan.

Tentu, yang paling canggih, menyimpan harta kekayaan mereka di bank-bank di luar negeri, yang tidak memiliki perjanjian ekstradisi, dan memberikan jaminan kerahasiaan. Seperti bank di Swiss, dan berbagai negara di Amerika Latin, termasuk di Bermuda. Banyak uang-uang hasil curian, dan penjualan narkoba, yang disimpan di bank-bank, dan menjadi asset dalam bisnis, yang tidak mungkin lagi dapat dilacak secara hukum.

Tidak usah-usah jauh-jauh. Singapura merupakan surga bagi para  koruptor Indonesia. Karena sampai sekarang antara Indonesia - Singapura tidak memiliki perjanjian ekstradisi. Padahal, perjanjian ekstradisi itu sudah dibahas sejak tahun l974, tetapi selalu Singapura menolak adanya perjanjian ekstradisi. Maka, kalau ada koruptor yang mau ditangkap, lari ke Singapura dan aman. Tidak mungkin Singapura memberikan informasi tentang koruptor itu.

Koruptor yang paling legendaris adalah Syamsul Nursalim, yang merampok uang BLBI, hampir Rp 27 triliun. Sampai sekarang tak tersentuh oleh siapapun. Uang hasilnya jarahannya semuanya menikmati. Belum lama ini, ketika "Taipan"  Liem Soei Liong mati, Syamsul Nursalim, nampak hadir disitu, dan konon ada seorang pejabat penegak hukum diantara Syamsul Nursalim.

Konon, uang yang dibawa lari ke Singapura oleh para "maling" dari Indonesia itu, jumlahnya mencapai $ 9,5 miliar dollar!!! Bagaimana mungkin Singapura bersedia melakukan kerjasama ekstradisi dengan Indonesia?

Ada Joko Candra yang kabur ke Singapura, yang merampok uang negara, jumlahnya triliunan. Ada Edy Tansil yang melarikan diri dengan menggondol uang Rp 1,5 triliun, hasil katebelece Soedomo, yang sekarang konon mempunyai pabrik bir terbesar di Guangzhou,  Cina. Edy Tansil sebelum lari ke Cina, terlebih dahulu lari ke Singapura dengan alasan berobat, dan sama seperti Syamsul Nursalim.

Lucunya, ijtima' ulama,  yang dihadiri ratusan ulama itu, hasilnya akan diserahkan kepada DPR dan Presiden SBY. Sedangkan DPR sendiri, sekarang ini sangat resisten terhadap upaya-upaya pemberantasan  korupsi. Karena, diantaranya yang menjadi pelaku korupsi terdapat anggota DPR. Sekarang DPR sedang berupaya membubarkan lembaga penegak hukum, dan yang berusaha mengeliminasi korupsi, yaitu KPK. DPR sampai menolak menyetujui pembangunan Gedung KPK.

Sementara itu, Presiden SBY yang menjadi Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat, partai yang berlambang seperti lambang mobil "mercy" itu, sekarang menghadapi berbagai tuduhan terkait dengan mega korupsi. Semuanya melibatkan elit kadernya.

Jadi siapa yang akan melaksanakan keputusan fatwa MUI itu?

Mungkin keputusan MUI itu, hanya sekadar memberi citra kepada publik, bahwa pemerintahan SBY, yang membuat iklan dengan : "Katakan Tidak Terhadap Korupsi", benar-benar ingin serius memberantas korupsi. Sehingga, citra SBY yang sudah babak belur oleh korupsi yang dilakukan elite Partai Demokrat, bisa diperbaiki lagi citranya. Sehingga, di tahun 2014, Partai Demokrat masih ada yang memilihnya lagi.

Korupsi yang sudah menjadi wabah, dan menggurita di seluruh sistem negara itu, tdak akan hapus begitu saja. Kecuali ada gerakan rakyat yang radikal, dan bersatu menolak korupsi dan koruptor menjadi sebuah gerakan. Mungkin itu akan menghasilkan perubahan.

Tetapi, kalau hanya "fatwa", yang tidak ada yang melakukan ekskusi terhadap fatwa itu, maka hasilnya akan menjadi "nol" besar. Para koruptor yang sekarang berada di penjara dan dibalik jeruji, pasti tertawa mendengar fatwa ulama. Karena, asset mereka sudah aman, dan tidak akan mungkin dapat dirampas penegak hukum. Wallahu'alam.

 


latestnews

View Full Version