Jakarta (voa-islam.ocm). Bagaimana seandainya tidak ada tekanan rakyat? Terkait dengan kasus konflik antara Polri denan KPK. Dapatkah Presiden SBY bertindak dengan tegas? Dapatkah Presiden SBY memihak KPK? Sulit memastikannya. Sekarang, di saat krisis akibat konflik antara Polri dengan KPK, akibat kasus simulator SIM itu, diujungnya Presiden SBY, kemudian mengambil keputusan dengan mendukung KPK.
Sesudah menguras energi, perhatian, dan emosi rakyat, akhirnya Presiden SBY, tadi malam mengumumkan sikapnya, terkait konflik antara Polri dengan KPK. Presiden SBY, tadi malam menegaskan sikapnya, bahwa dalam kasus simulator SIM, yang melibatkan Irjen Pol Djoko Susilo, memerintahkan agar penanganannya diserahkan kepada KPK. Tidak lagi menjadi polemik siapa yang harus menangani kasus itu. Polri atau KPK? Dengan keputusan itu, maka menjadi sangat gamblang, sejatinya siapa yang berhak menangani kasus itu.
Sebenarnya, tidak terlalu sulit bagi Presiden SBY, guna mengambil keputusan secara cepat, karena Presiden memiliki kewenangan, dan kewenangan itu dapat digunakannya, sebagai pemangku kekuasaan. Sedangkan Polri sebagai aparat negara berada dibawah tanggung-jawab Presiden. Inilah esensinya yang sangat mendasar terkait dengan kekuasaan Presiden.
Tetapi, masalah konflik antara Polri dan KPK ini, dibiarkan berlarut-larut, yang menyedot perhatian masyarakat, dan menimbulkan gerakan rakyat, yang berkembang di masyarakat, yang konsekwensi terbukanya konflik dikalangan rakyat. Membuat ketidak kepercayaan rakyat terhadap pemerintah, yang akan berdampak timbulnya situasi "chaos". Inilah yang sangat membahayakan bagi derajat negara.
Kemudian, sesudah situasi itu berlarut-larut, Presiden SBY menegaskan, "Penanganan hukum dugaan korupsi simulator SIM yang melibatkan (mantan Kepalar Korlantas) Irjen Pol Djoko Susilo agar ditangani KPK tidak pecah. Polri menangani kasus-kasus lain yang tidak terlangsung", ujar Presiden SBY, di Istana Negara, tadi malam. Keputusan Presiden SBY itu diambil setelah bertemu dengan Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto serta Kapolri Jenderal Timur Pradopo, Senin siang.
Selanjutnya, Presiden SBY, menyampaikan pula sikapnya terhadap kasus Kompol Novel Baswedan, yang menjadi penyidik KPK, menurut SBY, cara yang ditempuh kepolisian dalam menangani kasus dugaan pidana yang dilakukan oleh Kompol Novel pada masa lampau itu, waktunya tepat.
Tentu, yang paling penting, penegasan Presiden SBY, selaku Ketua Koalisi Partai-Partai Politik, menyinggung persoalan yang sekarang tak kalah pentingnya dibandingkan dengan konflik antara Polri dengan KPK. Masalah yang sekarang menjadi taruhan bagi rakyat, usaha-usaha yang ingin melemahkan KPK, yang berasal dari DPR. Di mana seluruh Fraksi di DPR, sudah menyetujui usaha melakukan revisi UU KPK. Tujuannya tidak lain, kecuali ingin melemahkan fungsi dan peranan KPK dalam menegakkan hukum, dan memberantas korupsi, yang merupakan ancaman negara.
Presisden SBY berpendapat, revisi UU KPK sebenarnya dimungkinkan, sepanjang memperkuat KPK tidak memperlemah KPK. Namun, Presiden menegaskan, revisi UU KPK itu tidka tepat jika dilakukan sekarang", tegasnya. "Lebih kita tingkatkan sinergi dan intensitas semuanya untuk upaya pemberantasan korupsi", ujar Presiden.
Keputusan Presiden SBY, yang tegas-tegas menyerahkan kasus dugaan korupsi simolator SIM itu, dan penolakan Presiden terhadap rencana revisi UU KPK itu, tak lain, sebagai keberhasilan gerakan rakyat, yang dengan gigih berada dibelakang KPK. Tanpa adanya tekanan rakyat, tak mungkin Presiden SBY, bertindak dan mengambil keputusan politik,yang mendukung KPK.
Masa depan Indonesia tidak seharusnya semata-mata kepada pemerintah, legislatif, termasuk kepada Presiden semata. Rakyat harus memperhatikan segala perilaku dan kebijakan yang diambil pemerintah, termasuk lembaga-lembaga negara, yang menjadi wakil pemerintah. Karena, sekali rakyat membiarkan mereka bertindak, mengambil kebijakan sendiri, tanpa ada kontrol dari rakyat, maka rakyat akan kehilangan masa depan.
Jangan sekali-sekali rakyat berpikir dengan adanya pemerintahan, presiden, wakil presiden, menteri, legislatif, gubernur, bupati, walikota, para pejabat, termasuk perangkat negara seperti polisi, dan lainnya, mereka semua akan bertindak dengan benar, memenuhi kewajibannya sebagai abdi negara, sebagai abdi rakyat? Justeru mereka bisa bertindak menyimpang menggunakan jabatannya, kekuasaannya, dan saatnya menghancurkan kehidupan rakyat.
Kekuasaan selamanya cenderung korup, dan kekuasaan yang tanpa kontrol, selamanya akan menjadi korup. Legislatif (DPR) yang memiliki fungsi kontrol terhadap pemerintah mewakili kepentingan rakyat, justeru sekarang faktanya DPR berkomplot dengan aparat negara atau aparat penegak hukum, guna menghancurkan harapan rakyat, termasuk membubarkan KPK.
Rakyat harus terus waspada dan terus mengkritisi langkah dan kebijakan yang diambil pemerintah dan aparat negara. Adakah mereka konsisten atau mereka telah menyimpang?
Jika mereka telah menyimpang, dan akan merugikan rakyat, maka rakyat harus dengan cepat bertindak. Seperti dalam kasus konflik antara Polri dengan KPK. Tanpa dukungan rakyat terhadap KPK, belum tentu Presiden memihak kepada kPK. Wallahu'alam.