View Full Version
Sabtu, 20 Oct 2012

Indonesia Akan Dipimpin Oleh Pemimpin Pendendam?

Jakarta (voa-islam.com) Kalau benar nanti di pemilihan presiden 2014, dukungan terhadap Ketua Umum PDIP, Megawati Sukarno Putri itu konstan, kemungkinan besar Megawati akan terpilih menjadi presiden.

Entah faktor dan variabel apa yang menyebabkan dukungan rakyat terhadap Mega menjadi tinggi? Karena, selama menjadi presiden tahun 2000-2004, tak ada prestasi yang menonjol selama pemerintahannya.

Rakyat hanya tersihir atau tersugesti Megawati anak Bung Karno. Apakah Mega anak biologis atau ideologis Bung Karno itu, tidak menjadi soal?

Tetapi, rakyat Indonesia, yang sebagian besar (75%) hanya lulusan SD itu, sangat mudah digiring opini, dan akalnya belum begitu jalan, serta ditambah masih sangat percaya dengan "klenik" alias "kejawen" yang begitu kental. Megawati selalu diidentikkna sebagai titisan "Ratu Adil".

Munngkin salah satu faktor atau variabel Megawati menjadi alternatif dan "moncer" lagi, karena pemerintahan Presiden SBY, sudah begitu bau menyengat di hidung setiap rakyat Indonesia, bau busuk korupsi. Pemerintahan SBY sekarang tak bisa dilepaskan dari korupsi, dan dikaitkan dengan Partai Demokrat, yang sudah sangat sarat dengan korupsi.

Sebenarnya, kalau mau mengedepankan "commonsense" (akal sehat), melalui Ketua Dewan Pembinanya SBY, sudah harus mengibarkan bendera "putih", dan memohon maaf kepada seluruh bangsa Indonesia, kemudian Partai Demokrat, dimasukkan kotak. Tidak lagi harus terus berkutat dengan berbagai rekayasa, yang terus menerus ingin mempertahankan Partai Demokrat, dan mempertahankan para tokohnya yang sudah terindikasi korupsi.

Tetapi, tidak ada jaminan kalau jabatan presiden Indonesia itu, pindah tangan dari SBY ke Mega, kemudian kondisi dan keadaan lebih baik. Karena, sudah terbukti secara faktual, selama tahun 2000-2004, di bawah Presiden Megawati, Indonesia tak dapat keluar dari krisis, dan korupsi semakin kronis, serta banyak kader PDIP yang masuk bui.

Apalagi, kalau dilihat dari  hasil pengelolaan pemerintahan, tak ada yang menggemberikan dari indikator ekonomi makro, seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, kurs mata uang, dan kebijakan fiskal, serta tingkat kesejahteraan rakyat dan petani, tak ada perubahan yang signifikan.

Hal ini, bisa dibuka kembali dokumen-dokumen selama pemerintahan Presiden Megawati. Justeru yang terjadi penjualan asset negara secara besar-besaran, melalui Meneg BUMN, Laksamana Sukardi, selama periode pemerintahannya.

Asset negara habis diobral dengan harga yang dibanting, sekarang yang ada tinggal ampasnya belaka. Termauk Megawati menandatangi kontrak penjualan gas (Gas Tangguh) dengan pemerintahan Cina, yang harganya yang dipatok, yang merugikan miliaran dollar.

Tentu, yang paling menyolok, sikap Megawati  yang sangat "pendendam" yang terus melekat di dalam dirinya. Sepertinya, tak pernah bisa hilang dari dalam diri Mega. Mega merasa dikhianati oleh SBY, saat SBY menjadi Menko Polkam, dan kemudian bersama dengan Jusuf Kalla, meninggalkan Mega, yang belum selesai pemerintahannya, kemudian kedua tokoh mencalonkan diri menjadi pasangan calon presiden dan wakil presiden di pemilihan presiden 2004.

Karena itu, sampai hari ini Mega tak mau bertemu dengan SBY, dan bahkan berulang kali ajakan SBY, melakukan koalisi dengan PDIP, selalu Mega menolaknya. Berbagia upaya pendekatan yang dilakukan oleh SBY, lewat Taufik Kemas, maupun Hatta Rajasa, tak pernah bisa mengubah sikap Mega, yang masih masygul terhadap SBY, yang meninggalkannya di tahun 2004.

Selanjutnya, Mega yang sudah disakiti oleh SBY di tahun 2004, selama pemerintahan SBY, selama dua periode, antara tahun 2004-2014, Mega terus mengambil sikap oposisi terhadap SBY. Tidak mau melakukan pembicaraan politik, dan dialog politik, dan Taufik Kemas, yang menjadi mediasi pun, gagal merujukkan kedua tokoh itu, Mega-SBY.

Megawati masih sangat power full memegang dan mengendalikan PDIP. Jika melihat trend (kecenderungan) di internal dan dukungan rakyat yang ada, kemungkinan Megawati akan maju lagi di tahun 2014. Mungkin akan melepaskan diri dari Prabowo, dan mengerek Jokowi yang sekarang digambarkan sebagai manusia paling "ajaib", sebagai wakilnya.

PDIP yang baru saja usai melakukan Rakernas di Surabya, sudah mengancang strategi politik, yang akan menggulung seluruh kekuasaan di tanah Jawa, yang menjadi gudang suara bagi partai politik.

Kemenangan Jokowi/Ahok di DKI, diperhitungkan akan menjadi virus yang akan terus ditularkan di daerah lainnya, dan menguasai seluruh tanah Jawa. Dengan menggenggam tanah Jawa, kemungkin PDIP berharap dapat memenangkan pemilihan presiden nanti.

Seperti hasil  Survey Lingkaran Survei Indonesia (LSI) menyebutkan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri memperoleh elektabilitas dukungan tertinggi untuk kandidat calon presiden 2014. Anak kandung proklamator Soekarno itu memperoleh dukungan sebesar 18,3 persen.

Sementara tempat kedua dan ketiga, masing-masing diduduki Prabowo Subianto (18 persen) dan Aburizal Bakrie (17,5 persen).

"Hal ini memang tidak terlepas dari kepopuleran Ibu Megawati sebagai mantan Presiden dan juga mantan Capres beberapa kali. Selain itu, karena ketokohan beliau tentunya," ujar peneliti LSI, Adjie Alfaraby, dalam keterangan persnya di Kantor LSI, Jakarta, Ahad (17/6).

Pasca 2014, Indonesia masih berkutat diantara tokoh-tokoh yang sudah usang, dan tidak kredibel lagi. Hanya dipoles-poles media, yang memang ingin mempertahankan kalangan nasionalis-sekuler, yang tujuannya menutup peluang kalangan Islam menjadi alternatif masa depan.

Ini sebuah rekyasa dan konspirasi politik yang akan terus berjalan di masa depan.

Sementara itu, tokoh-tokoh Islam, yang ada tak begitu nampak bisa menampilkan sosok tokoh bagi masa depan Indonesia. Mereka rata-rata miskin kapasitas, dan miskin integritas, dan keberpihakan kepada rakyat. Sehingga, tidak ada tokoh Islam, yang bisa menjadi alternatif bagi solusi masa depan Indonesia.

Tak heran yang akan muncul di masa depan tokoh seperti Mega, yang sebenarnya bukan tipologi negarawan. Karena, karakternya yang penuh dengan dendam.

Betapapun, Mega yang marah dengan SBY, seharusnya tidak menolak undangan SBY, yang mengundangnya ke Istana, memperingati Proklamasi Kemerdekaan, yang pernah dipidatokan oleh Bung Karno, bapaknya sendiri. Justeru Mega menyelenggarakan peringatan Proklamasi di kantor PDIP di Lenteng Agung. Wallahu'alam.


latestnews

View Full Version