Jakarta (voa-islam.com) Ketika kekuatan rakyat mengakhiri pemerintahan rezim militer Orde Baru dibawah Jenderal Soeharto, karena rakyat ingin menghentikan segala bentuk kejahatan dan kekerasan sangat tidak manusiawi.
Seperti operasi militer yang terjadi di Aceh yang dikenal dengan operasi "DOM". Peristiwa pembantaian di Lampung, Tanjung Priok, Hauer Koneng, Nipah, dan operasi "Petrus".
Maka era Reformasi yang menjadi antitesa rezim militer Orde Baru, ingin mengakhiri seluruh keadaan yang sangat militeristik. Kemudian, kekuatan-kekuatan Reformasi, mengalihkan kekuasaan keamanan dari militer kepada polisi, dan diharapkan akan melahirkan kehidupan yang lebih human (manusiawi). Tidak ada lagi kekerasan secara sewenang-wenang, dan pelanggaran hak asasi manusia.
Tetapi, sesudah peristiwa WTC di New York, Amerika Serikat, membuat segala telah berubah. Lahir Undang-Undang Terorisme yang menjadi dasar penindakan terhadap para terduga teroris.
Akibatnya, begitu banyak mereka yang menjadi terduga teroris, bukan hanya mengalami penyiksaan yang sangat kejam, tetapi mereka dihilangkan hak hidup mereka. Tanpa adanya bukti-bukti yang dapat dipertanggungjawabkan, mereka yang terduga teroris itu dibunuh oleh Densus 88.
Tentu, peristiwa yang paling menyentak kesadaran publik di Indonesia, terkait dengan peristiwa yang terjadi di Poso, di mana perisitwa itu, diangkat (diunduh) melalui YouTube, yang berdurasi 13 menit itu, sangat luar biasa kejamnya aparat Densus 88, bukan hanya melakukan penyiksaan, tetapi juga membunuh dan bahkan melecehkan terhadap mereka yang terduga teroris.
Video yang berdurasi 13 menit itu, bebarapa aparat kepolisian memerintahkan kepada seorang tersangka membuka celana, tanpa alasan yang jelas. Tampak pula, seorang yang terduga teroris, yang sudah tertembak dadanya, dan tembus dipunggung dipaksa merangkak jalan, dan diinterogasi di tanah lapang.
Bahkan, seorang aparat Densus 88, memerintahkan kepada terduga teroris yang sudah tertembak dan luka parah, agar segera beristighfar, karena kataranya, "Sebentar lagi kamu akan mati". Bagaimana aparat penegak hukum dengan sangat tega melontarkan ucapan seperti itu? Bukan memberikan pertolongan dan membawa ke rumah sakit, aparat polisi justeru membiarkan meregang nyawa dan terus menginterogasinya.
Gambaran yang diangkat oleh video melalui YouTube, hanya mempertegas bahwa kepolisian telah mengabaikan hak asasi manusia. Komisi Hak Asasi Manusia (KOmnas HAM), bahkan mencatat jumlah terduga teroris yang tewas di tangan Densus mencapai 83 orang. Ini berarti setiap tahunnya 9-10 tersangka yang tewas seja Densus 88 berdiri sembilan tahun lalu. Komisi Hak Asasi Manusia juga mencatat ada tersangka yang ditembak hingga lebih 10 kali!
Polisi selalu berdalih menembak terduga teroris itu dalam rangka melindungi diri. Tetapi, faktnya mereka yang terduga teroris adalah orang-orang yang tidak bersenjata, dan hanya bertangan kosong. Cara-cara yang sangat biadab itu, pernah berlangsung di era Orde Baru, yang melakukan kekejaman yang tanpa tara oleh aparat militer, dan sekarang ini diulangi oleh polisi di Reformasi. Sungguh luar biasa.
Densus 88 dan Brimob telah mengabaikan hak hidup, hak untuk tidak disiksa kendati dia seorang tersangka. Semua hak-hak yang melekat itu merupakan hak paling dasar. Semua hak dasar itu, diakui oleh Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
Menciptakan keamanan penting, dan mengakhiri segala bentuk terorisme itu juga penting, tetapi tidak kemudian melakukan tindakan yang sangat biadab yang sama dilakukan oleh teroris, dan tanpa sedikitpun rasa belas kasihan terhadap sesama manusia yang memiliki hak hidup. Wallahu'alam.