View Full Version
Rabu, 03 Apr 2013

Dari Titik Ekstrim ke Titik Ekstrim, Dari Tentara ke Polisi?

Jakarta (voa-islam.com) Ada perubahan yang sangat mendasar atau fundamental pasca reformasi. Terjadinya peralihan kekuasaan dari rezim Orba, yang dipimpin oleh Jenderal Soeharto, kepada orde Reformasi, dan membawa perubahan yang sangat mendasar kepada sistem demokrasi. Dari sistem otoriter kepada rezim sipil.

Otoritas militer yang memiliki kekuasaan besar, selama tiga puluh tahun lebih, kemudian melalui reformasi, kemudian kekuasaan tentara dipreteli oleh otoritas sipil.

Kekuasaan dan kewenangan tentara dipreteli habis, alias tentara "digunduli". Sampai-sampai ada keluarga seorang oknum polisi yang mengatakan, tentara tidak memiliki pekerjaan lagi, kecuali "mencabuti rumput" di asrama, ungkapnya.

Tidak ada lagi yang disebut dengan "dwi fungsi". Tentara benar-benar masuk  barak. Tidak lagi memiliki kewenangan apapun, termasuk dibidang politik. Fungsi komando terotialnya (koternya) juga ikut dipangkas habis melalui Undang-Undang TNI.

Jadi TNI dibikin lumpuh oleh otoritas sipil. Semacam ada dendam oleh kalangan sipil, akibat dampak pemerintahan Orde Baru yang sangat otoriter. Lebih selama tiga puluh tahun.

Tentara di mana-mana menyandang tuduhan sebagai pelanggar HAM berat yang terkait dengan operasi militer yang dilakukannya. Diantaranya, kasus operasi  DOM di Aceh, kasus di Lampung, Priok, dan penangkapan, penahanan penculikan, serta penyiksaan. Ini menjadi sejarah hitam bagi militer.

Karena itu, otoritas sipil, melalui lembaga legislatif (DPR), partai-partai politik, sebagai otoritas sipil, mengalihkan kewenangan yang selama ini mengelola keamanan negara, kemudian diserahkan kepada otoritas kepolisian.

Tentara hanya menjadi penjaga keamanan negara dari ancaman asing atau invasi  militer asing. Sedangkan keamanan dalam negeri diserahkan kepada kepolisian sepenuhnya.

Tentara yang dulunya, bukan hanya mengelola masalah keamanan, tetapi juga terlibat  dalam politik, ekonomi, dan bahkan berbagai aktivitas lainnya, semua dipangkas habis. Bahkan, bisnis TNI pun, kemudian dipreteli, dan tidak ada lagi istilah bisnis bagi TNI.Tentara benar-benar dihabisi oleh otoritas  sipil. Dengan semua kewenangan dan kekuasaan yang dimilikinya.

Tentu, bagi TNI perubahan yang sangat  penting  lagi, di mana antara  Polri dan TNI, dipisahkan. Dulunya Polri dibawah TNI, dan barada dibawah satu atap. TNI sekaran dibawah Departemen Pertahan, sementara itu, berdasarkan Undang-Undang, Polri langsung dibawah Presiden.

Sebenarnya, di manapun tidak ada polisi langsung dibawah Presiden.  Polri di dalam sistem otoritas sipil, Polri dibawah sebuah Departemen. Apakah Departemen Dalam Negeri atau Dapartemen Hukum dan Perundang-Undangan.

Pemberian kewenangan yang sangat besar kepada Polri, tak banyak membawa  perubahan penting,terutama terkait aspek keamanan  di dalam negeri. Di mana kejahatan terus tumbuh dengan sangat pesat.

Bisnis narkoba berkembang sangat luas. Bahkan,Indonesia menjadi pasar utama bisnis narkoba. Lapas  di Indonesia menjadi pusat pengendalian narkoba. Tentu, yang lebih hebat lagi, Presiden SBY memberikan grasi kepada seorang "Ratu Marijuana" asal Australia, Corby.

Selama lebih dari satu dekade sesudah TNI "digunduli" oleh otoritas sipil dan lembaga NGO, yang ikut mengunduli TNI itu, negara tak mendapatkan rasa aman.

Konflik  sosial, kejahatan yang luas dimasyarakat, terus berkembang. Seakan tak habis-habis. Beraneka ragam bentuk kejahatan terus menyeruak di tengah-tengah masyarakat luas. Seperti Polri tak mampu menghadapi kondisi yang ada, dan tak mampu menghadapi kerusuan atau konflik sosial yang kerap terjdi. Sehingga, rasa aman masyarakat menjadi terancam.

Tentu yang paling merisaukan terhadap integritas Indonesia yang merupakan negara kepulauan, dan mudah terancam desintegrasi. Tingkat kerusahan dan amok sosial, tak mampu dihadapi polisi secara efektif. Karena, Polri memiliki kemampuan terbatas. Tetapi, TNI sudah terlanjur digunduli oleh otoritas  sipil.

Bahkan, belakangan  ini rasa kepercayaan terhadap Polri semakin menipis,  dan Polri menjadi musuh masyarakat. Terbukti dari berbagai kerusuhan yang ada, kemudian berubah perlawanan rakyat terhadap polisi semakin luas. Seperti yang terjadi di Sumatera Utara belum lama.

Mungkin satu-satunya yang selalu diacungi jempol, tak lain, adalah prestasi polisi melalui Densus 88, yang terus  membantai aktivis-aktivis Islam. Terutama, mereka yang terduga sebagai teroris.

Mereka yang terduga sebagai teroris, tak diberi kesempatan hidup,dan langsung dibantai dengan senjata. Itulah prestasi polisi selama reformasi ini. Dibidang penegakkan hukum dirasakan masih sangat jauh.

Tentu, di mata  publik alias rakyat, yang semakin membuat tidak percaya, terjadi korupsi yang sangat luas di tubuh Polri.

Bukti telanjang dipertontonkan oleh Irjen Pol. Djoko Susilo, yang melakukan mega korupsi, dan memiliki asset, yang sangat fantastis. Mantan Korlantas dan Gubernur AKPOl, Irjen Pol Djoko Susilo diduga memiliki asset lebih Rp100 miliar.

Belum lagi, menurut laporan PPATK, ada 15 perwira Polri yang memiliki rekening gendut, antara Rp 100 miliar sampai lebih dari Rp 1 triliun. Tetapi, semua laporan PPATK, tidak pernah dapat diperhatikan dan ditindaklanjuti oleh Polri.

Bahkan, saat Irjen Pol. Djoko Susilo dinyatakan oleh KPK, sebagai tersangka terjadi tarik-menarik antara Polri dengan KPK, dan sampai Presiden SBY turun tangan, dan kemudian memberikan otoritas kepada KPK melakukan penyidikan.

Sekarang ketika TNI sudah dipreteli dan digunduli oleh otoritas sipil, terjadi kekacauan di mana-mana, dan polisi tidak mampu mengendalikan keadaan, dan negara dalam ancaman bahaya, Polri sudah kehilangan kendali dan kontrol.

Sementara itu, aparat Polri semakin "arogan", dan membuat TNI marah. Ini terbukti terjadi konflik antara TNi dan Polri di sejumlah daerah.

Puncaknya, peristiwa yang terjadi di Lapas Cebongan, di mana empat orang tahanan yang berasal dari Ambon dan NTT, yang notabene, para penjahata dan preman, dan ada diantara mereka mantan polisi, kemudian dibela oleh media krisrten dan sekuler, seperti koran Kompas dan Tempo serta lainnya.

Media kristen dan sekuler seperti Kompas dan Tempo berusaha menyudutkan TNI Angkatan Darat, khususnya Kopassus, sebagai fihak yang bertanggung jawab, didasari latar belakang tewasnya Sersan Satu  Santoso, yang dibunuh secara biadab oleh preman Ambon dan NTT.

Dulu, di era Orba koran kristen dan sekuler, seperti Kompas dan Tempo, tak  pernah memberikan komentar atas segala kejahatan yang dilakukan oleh aparat TNI, karena waktu itu TNI, tokoh-tokohnya orang-orang kristen, seperti Panggabean, Benny Murdani, dan Sudomo. Media-media kristen  dan sekuler seperti Kompas dan Tempo serta lainnya, tidak pernah berbicara tentang hukum, dan perlindungan hak-hak sipil.

Sekarang, media-media kristen dan sekuler itu, Kompas dan Tempo menjadikan empat  orang yang berasal dari Ambon dan NTT, seperti Hendrik Angel Sahetapy, Adrianus Candra Galaga, Yohanis Juan Manbait, dan Gemeliel Yermianto, sebagai pahlawan, dan mengatakan negara dalam bahaya, berlakunya hukum rimba. Padahal, mereka itu penjahat yang sangat membahayakan.

Nyayian media-media kristen dan sekuler serta berbagai lembaga LSM, terus berusaha menghancurkan TNI. Dengan menghancurkan TNI, yang menjadi asset dan tulang punggung negara itu, maka dengan sangat mudah asing akan masuk ke dalam negara, dan menguasai negara.

Dengan cara membela Polri yang  mendapatkan dukungan Barat, khususnya Amerika Serikat dan Australia dalam pemberantasan terorisme yang sekarang tersudut akibat kasus korupdi dan pelanggaran HAM.

Media-media kristen dan sekuler, seperti Kompas dan Tempo serta lainnya, memang tujuannya ingin menjadikan Indonesia porak-poranda, terpecah-pecah, seperti yang menjadi keinginan pengambil kebijakan di Randcorp, Amerika Serikat yang ingin Indonesia terpecah-pecah,  dan TNI menjadi lemah tidak bermartabat, kemudian Indonesia menjadi jajahan asing. Wallahu'alam.


latestnews

View Full Version