Jakarta (voa-islam.com) Menjelang akhir Ramadhan ibaratnya hanya setitik embun, orang-orang yang masih duduk tepekur sambil membaca mush'af al-Qur'an, dan berdzikir mengingat Allah Rabbul Alamin, dibandingkan dengan lautan manusia yang memadati mall-mall.
Masjid-masjid semakin sepi. Tak banyak lagi orang-orang yang mengingat Rabbnya. Orang-orang lebih sibuk dengan kehidupan fatamurgana. Mereka lebih mencintai aksesoris dunia, dan mendadani pisiknya atau tubuhnya dengan gemerlap dunia, dibandingkan mendadani bathinnya dengan siraman maghfirah dari Rabbnya.
Di seluruh kota Jakarta mall-mall penuh sesak. Berbelanja. Aneka pakaian, sepatu, tas, dan berbagai pernik-pernik lainnya. Midnightsale dengan potongan harga yang berlangsung di mall-mall, nampaknya lebih menyihir dan memiliki daya tarik luar biasa dibanding dengan i'tikaf di masjid.
Muslim Indonesia tak tertarik lagi dengan cerita janji Allah Rabbul Alamin yang akan memberikan "jaza" (balasan) bagi orang-orang yang muttaqin (bertaqwa). Cerita tentang kehidupan akhirat, tak lagi menjadi perhatian mereka.
Memvisualisasi tentang kehidupan akhirat, dan janji Allah Rabbu Alamin tentang kehidupan kekal, berupa surganya-Nya, sudah tidak mendapatkan tempat di hati dan pikiran Muslim di Indonesia.
Semakin banyak da'i, mubaligh, ulama berbicara tentang surga dan neraka, tidak semakin membuat Muslim menjadi lebih memilih jalan hidup seperti yang diatur oleh Allah Rabbul Alamin, melalui syariah-Nya, dan berlomba-lomba berjuang dan mengorientasikan seluruh potensi hidupnya guna menggapai janji Allah Rabbul Alamin, tetapi Muslim di Indonesia semakin terjerumus kepada kehidupan duniawi, kehidupan sekuler.
Betapa 250 juta penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim (85 persen) Muslim ini, semakin jauh dari nilai-nilai al-Islam, dan tak lagi mengenal karakter dan jati dirinya, dan lebih mendekati karakter orang-orang kafir musyrik (Yahudi dan Nasrani) yang memuja kehidupan dunia.
Seperti pengikut Musa Alaihi Salam, ketika diselamatkan dari balatentara Fir'aun, mereka kembali menyembah anak "Sapi", dan mengikuti ajakan Samiri. Mereka kembali kufur sesudah diselamatkan dari kehancuran, dan tidak lagi mau mengingat Rabbnya.
Seperti tadi malam, menjelang midnight (pukul 00), sebuah mall di kota Depok, semakin dipadati pengunjung. Mobil sampai mengantri, disepanjang jalan Margonda. Tak henti-henti mobil, motor, dan orang yang berjalan kaki memadati mall.
Sementara itu, jalan menuju Jakarta dari arah Depok macet dan antrian panjang di flayover Universitas Indonesia. Orang berbondong-bondong ke Jakarta. Bukan untuk beri'tikaf di masjid, tetapi hanya ingin memuaskan dahaganya, membeli aksesoris dunia.
Tentu, sikap dan orientasi Muslim dengan karakter yang sangat materialis, hedonis, dan sekuler itu, hanya akan menghancurkan kehidupan mereka. Mereka selamanya akan menjadi "budak" orang-orang kafir. Mereka menjadi penyumbang paling besar secara ekonomi, dan kekayaan bagi orang-orang kafir.
Banyaknya orang Muslim yang berbondong-bondong ke mall, bukan hanya menghancurkan iman dan aqidah mereka, tetapi semakin memperkaya dan menambahkan modal keuntungan bagi orang-orang kafir.
Konglomerat di Indonesia yang terus tumbuh dengan sangat luar biasa, ta lain, mereka ini golongan cina, yang sekarang ini mendominasi ekonomi Indonesia. Sejumlah konglomerat papan atas, mereka adalah para "chinese oversease" (china perantauan), yang sekarang ini menguasi jaringan ekonomi Indonesia, dan sudah menjadi kartel.
Barang-barang konsumtif yang membanjiri pasar-pasar di Indonesia, melalui jaringan mall-mall dan retail, tak lain, sebagain besar barang-barang produk buatan china.
Mereka benar-benar menghabisi bisnis kalangan pribumi dan Muslim, dan kalangan pengusaha Muslim sudah tak mampu lagi bangkit menyaingi mereka. Apalagi, sekarang dengan sikap konsumtif Muslim, maka semakin menggelembung asset kekayaan mereka.
Sungguh sangat sedih. Setiap tahun menjelang Ramadhan dan Idul Fitri, harga kebutuhan pokok, dan kebutuhan sekunder, harganya melonjak, dan menjadi sangat mahal.
Jaringan pembisnis china itu, sudah menjadi kartel, dan tak mungkin lagi negara dapat mencegahnya. Mereka dapat menentukan harga di pasar. Sekarang, apalagi para politisi dan para pejabat Indonesia sudah sangat tergantung kepada para konglomerat china.
Tetapi, kondisi itu masih tidak cukup, dan terus berlangsung penghisapan terhadap darah rakyat Indonesia. Di mana para pembisnis cina itu, kekayaan mereka yang merupakan hasil bisnis di Indonesia, tidak disimpan di Indonesia, tetapi kekayaan mereka di simpan di bank-bank luar negeri, seperti Singapura atau China.
Sisi lain. Terjadi pemandangan yang sangat paradok dan kontras. Di mana sepanjang jalan di Jakarta, termasuk di Depok, berjejer para pemulung, gembel dan kere, sambil membawa gerobak, disertai dengan isteri dan anak-anak mereka.
Anak-anak mereka yang masih kecil tertidur di gerobak, bercampur dengan tumpukan barang bekas. Sungguh menyedihkan dibandingkan dengan orang-orang yang belanja di mall, dan mereka yang berada di kenderaan yang mewah, hilir mudik.
Para pemulung, gembel, dan kere, hanya memandangi orang-orang dan mobil yang hilir mudik. Sejatinya mereka mengharap belas kasihan para orang kaya, yang menghabiskan uangnya di malam midnightsale. Tetapi tak ada yang tergerak hatinya mereka sedikitpun. Tak ada yang memberikan sedekah kepada para pemulung, gembel dan kere.
Mau diakui atau tidak oleh pemerintah SBY, sejatinya orang-orang yang hidup dibawah garis kemiskinan yang menurut indek PBB, dan dengan penghasilan $ 2 dolar per-hari itu, jumlahnya masih 50 persen dari total penduduk di Indonesia.
Tetapi, sekarang terjadi ketidak adilan yang sangat luar biasa di era reformasi ini. Di mana pertumbuhan orang-orang kaya, yang memiliki kekayaan di atas Rp 500 miliar semakin banyak jumlahnya. Income perekapita orang-orang kaya sudah diatas rata-rata $ 15.000 dolar perbulan.Orang miskin hanya hidup dengan $ 2 dolar perhari.
Sementara itu, jumlah orang yang miskin, bukan berkurang secara signifikan, tetapi jumlah orang-orang miskin semakin bertambah jumlahnya, bersamaan dengan krisis ekonomi sejak tahun l998-2008. Inilah kehidupan Muslim di Indonesia. Sungguh sangat menyedihkan. Memilukan.
Andai mereka hidup dengan bersahaja. Berhemat. Berbelanja hanya kepada sesama Muslim, dan mereka menghabiskan waktunya beribadah, termasuk menjelang akhir Ramadhan, dan uang yang dimilikinya digunakan membayar zakat, berinfaq, dan bersedekah kepada saudaranya Muslim yang miskin, pasti akan terjadi perubahan kehidupan mereka.
Seharusnya setiap Muslim memiliki baro' (menolak dan membenci) terhadap segala bentuk kekufuran dan orang-orang kafir musyrik (yahudi dan nasrani) termasuk di Indonsia para konglomerat cina, yang sudah menghisap darah rakyat Indonesia melalui jaringan bisnisnya. Jika Muslim Indonesia memiliki sikap baro' yang tegas, mungkin Muslim di Indonesia masa depannya akan lebih baik.
Tetapi Muslim Indonesia lebih memilih menjadi "budak" dan pengekor kafir musyrik, dan menjadi bagian dari kepentingan konglomerat cina, sehingga hidup dan nasib mereka menjadi hina, dan tak memiliki izzah, walaupun mereka dapat menikmati kehidupan dunia. Wallahu'alam.