View Full Version
Kamis, 24 Oct 2013

Model-Model Pelacur di Indonesia, Dari Politik Sampai Aqidah

Jakarta (voa-islam.com) Di setiap kota besar dan kecil di Indonesia pasti ada tempat-tempat pelacuran, barangkali kecuali di Aceh Darussalam. Bahkan, sampai masuk jauh ke daerah terpencil, seperti di Papua, pelacuran ada. Bahkan, sebuah media terkemuka di Jakarta, melaporkan di Papua ada daerah yang nyaris penduduknya punah, akibat terkena penyakit kotor.

Di Jakarta, dulu Kramat Tunggak, sebagai tempat destinasi (singgah terakhir), bagi laki-laki yang ingin memuaskan nafsunya, dan sekarang berubah menjadi Islamic Center. Apakah pelacuran di Kramat Tunggak berakhir? Tidak. Di Jakarta masih banyak tempat-tempat mesum zina. Tempat mesum di Jakarta, bukan hanya di lokalisasi pelacuran, tempat pelacuran sudah sangat menyebar, di semua tempat.

Kalau membaca  buku “Jakarta Undercover” yang ditulis oleh mahasiswa IAIN yang sekarang menjadi UIN, Moammar Emka, betapa tempat maksiat, sudah menyebar luas, sampai ke  tempat-tempat hiburan, hotel, mall, dan panti pijat. Moammar Gadafi melakukan investigasi ke tempat-tempat hitam itu, dan menuliskannya menjadi buku, "Jakarta Undercover".

Sejak zaman dulu, tempat hiburan menjadi tempat transaksi seks. Para pekerja seks, selain mereka berprofesi sebagai penari telanjang (bugil), mereka juga melayani setiap laki-laki yang menginginkannya. Sekarang tempat hiburan juga menjadi tempat transaksi narkoba.

Sungguh sangat luar biasa tingkat kemaksiatan di Indonesia. Sudah tidak ada duanya di dunia. Indonesia menjadi negara yang paling cepat pertumbuhan para pengidap penyakait HIV, bukan Bangkok, New York, Paris, atau London.

Bayangkan. Kalau kita menuju ke luar Jakarta, ke arah Cirebon, dari Cikampek, sepanjang jalan, di kiri-kanan jalan, nampak perempuan dengan berbagai model dandanan, berjejer di depan warung-warung. Bergerombol. Sampai sekarang. Seorang ibu yang baru pertamakali naik bus yang akan ke Jawa, berulangkali menghela nafas panjang, melihat pemandangan seperti itu.

Di Bandung ada komplek pelacuran yang terkenal “Saritem”, dan sampai sekarang masih tetap beroperasi. Tukang becak di  Bandung sudah mafhum, kalau ada laki-laki yang ingin minta diantarkan ke “STM Malam”, maksudnya ke tempat komplek pelacuran  Saritem.

Di Semarang, Yogyakarta, Solo, Kaliurang, dan tempat-tempat lainnya Jawa Tengah, tak sepi dengan tempat pelacuran.

Di Surabaya, paling terkenal, yaitu Dolly dan Jarak. Kedua tempat ini sudah sangat tua. Nama Doly, tak lain, nama perempuan Belanda, yang pertama kali menjadi “germo” di tempat lokalisasi pelacuran yang terbesar di Asia Tenggara itu.

Di Doly dan Jarak, ribuan pelacur menjalankan profesinya. Setiap malam. Sampai menjelang pagi.

Tetapi, pelacur itu mencari uang dengan cara menjual “kemaluannya” (vaginanya) sendiri. Bekerjasama dengan “germo”, keamanan, dan calo. Setiap malam mereka bekerja tanpa henti. Dengan alasan mencari uang untuk kehidupan mereka.

Mereka terus melakukan profesinya itu, sampai mereka sudah tidak kuat lagi, alias menjadi tua, dan tidak mungkin lagi menjalankan pekerjaaannya sebagai pelacur, dan mungkin laki-laki sudah tidak tertarik lagi, karena sudah tua.

Sekarang ada model-model pelacur. Ada memang perempuan yang pekerjaannya sebagai pelacur, dan cara menjual jasa dengan alat kemaluannya. Tetapi, ada model pelacur politik, ada  pelacur ekonomi, ada pelacur agama alias aqidah.

Kalau pelacur yang pekerjaan memang melacur, dampaknya hanya kepada dirinya sendiri, meskipun dalam hadis, bahwa berzina itu akan berakibat membinasakan seluruh manusia. 

Memang, pelacur  menjual kemaluannya kepada setiap laki-laki yang membayar. Sesudah itu selesai. Kontraknya hanya sebatas dirinya dengan fihak pengguna jasa, yaitu laki-laki yang menginginkan dirinya, si pelacur, guna memuaskan nafsunya, sesudah terpuaskan, dibayar dan selesai.

Tetapi, kalau model pelacur politik, setiap orang (tokoh) yang melacur untuk kepentingan dirinya yang bertujuan mendapatkan kekuasaan, jabatan, dan harta, dan mereka pasti mengataskan golongan, kelompok, atau partai, bahkan ideologi tertentu. Pelacur politik, bahkan bisa dan tega menjual rakyat dan negara kepada fihak asing.

Mereka para tokoh, pemimpin, dan pemimpin golongan, kelompok, dan partai itu, pasti memiliki gerbong (pengikut dan pendukung). Mereka bisa memanipulasi pengikutnya dan pendukungnya, dan mereka menjual dirinya dan  ideologinya atau idealisme, demi kepentingan kekuasaan, jabatan, dan harta. Mereka tidak segan-segan mengorbankan ideologi, cita-cita, idealismenya, dan para pengikutnya yang fanatik. Dengan berbagai alasan yang direka.

Di zaman Soekarno berkuasa itu sudah ada dan terjadi. Bagaimana ketika Soekarno ingin membentuk kabinet  “kaki tiga”, yaitu Nasakom (Nasionalis, Agama, dan Komunis), golongan Islam dari Partai Masyumi, menolak. Tetapi, Soekarno tahu waktu itu ada tokoh yang bersedia bergabung dengan kabinet yang dibentuknya dalam Nasakom, yaitu Idham Chalid dari NU.

Seperti sekarang yang disebut dengan “koalisi” dalam pemerintahan SBY, antara para pemimpin Partai yang sudah diikat dengan kepentingan kekuasaan, jabatan, dan harta. Tujuannya bukan dalam rangka alal birri wattaqwa, kemudian mengorbankan ideologi, cita-cita, dan idealismenya demi kekuasaan, jabatan, dan harta, atau kenikmatan dunia. Inilah yang akan membuahkan kehancuran.

Mereka mengorbankan segalanya termasuk ideologi atau aqidah demi kekuasaan, jabatan, dan harta. Karena itu, di Indonesia sekarang tak menemukan pemimpin, tokoh, atau ulama yang dapat menjadi alternatif.

Jika pelacur hanya menjual kemaluannya kepada laki-laki, dan dampaknya terhadap dirinya, dan terbatas, tetapi bandingkan dengan pemimpin atau tokoh partai, golongan, atau gerakan, dan memiliki pengikut berjuta-juta, bisa dibayangkan dampaknya? Berapa banyaknya manusia yang tersesat?

Di Indonesia banyak sekali model pelacur. Dari pelacur yang memang prefosinya sebagai pelacur. Tetapi, ada pelacur politik, ekonomi, dan bahkan ada pelacur aqidah yang dampaknya sangat luar, dan sangat menghancurkan bagi masa depan.

Partai, golongan, dan gerakan bisa mendukung rezim yang paling busuk sekalipun demi kekuasaan, jabatan, dan harta.Tidak ada motif lainnya, para pemimpin dan tokoh itu, kecuali mereka sudah menjadi  bagian dari rezim “Syaithon”, yang menjadikan kejahatan sebagai hal yang indah.

Memang, di dalam surah An-Nur, disebutkan perempuan penzina hanya akan bertemu dengan laki-laki penzina. Sekufu. Mereka hukuman adalah dirajam sampai mati. Para perempuan penzina dan laki-laki penzina akan berkumpul sesama mereka. Pelacur politik juga akan berkumpul "berkoalisi" dengan sesama pelacur politik.

Kalau pelacur yang berzina saja, sudah akan membinasakan seluruh manusia, tetapi bagaimana penguasa yang paling berkuasa, dan memiliki kekayaan yang tidak terbatas, sekalipun berlebel "agama", tapi bersedia mendukung rezim yang membunuhi Muslim dengan sangat kejam. Karena sejatinya dia pelacur yang lebih jelek dibandingkan dengan pelacur yang hanya menjual kemaluannya sendiri.

Maka, Allah Azza Wa Jalla, menegaskan missi Rasulullah Shallallahu alaihi wassalam, hanya mengajak seluruh manusia hanya menyembah Rabb yang menciptakan alam semesta, dan menjauhi thogut. (QS : An-Nahl :36).

Ibnu Qayyim al-Jauzi, mengatakan, walaupun seseorang itu imannya dan tauhidnya sebersih kaca, dan  hanya menyembah kepada Allah Rabbul, tetapi jika tidak memerangi thogut, sejatinya dia tetap menjadi musyrik, dan pengikut syaithan.

Betapa banyaknya manusia sekarang yang berani bermaksiat dan menjual dirinya, kayakinannya, aqidahnya, dan lebih jahat dibandingkan dengan  perempuan pelacur yang selalu dikutuk,dihina dan dibenci.

Tidak berarti perempuan yang melacur derajatnya lebih mulia. Karena, perbuatan faqiisah (berzina) itu, hanya akan membuat binasa. Siapapun. Hukumannya hanya dirajam sampai mati. Wallahu’alam.


latestnews

View Full Version