Jakarta (voa-islam.com) Bagaimana leluhur bangsa Indonesia, kalau tahu negara ini sudah tidak lagi menjadi miliknya. Mereka berjuang berkalang tanah membebaskan tanah airnya dari penjajah, dan memerdekan serta sampai mencapai kedaulatannya. Di mana setiap tanggal 17 Agustus, selalu dirayakan sebagai hari, "Kemerdekaan" Negara Republik Indonesia.
Faktanya, sesudah merdeka 68 tahun, bangsa ini sudah tidak memiliki apa-apa, dan menjadi kuli di negerinya sendiri. Orang-orang asing yang dahulunya menjadi penjajah, kembali ke negeri ini dengan modal, berwujud "investasi", membuat Indonesia menjadi milik mereka. Tidak ada yang dapat dibanggakan lagi terhadap Republik.
Sekalipun, masih ada pemerintahan, ada konstitusi, ada undang-undang, ada perangkat negara, seperti presiden, wakil presiden, menteri, pejabat, anggaota legislatif, dan sejumlah perangkat negara lainnya, tentara, dan polisi, semuanyan hanya menjadi pelayan dan alat kepentingan asing, dan yang sudah menguasai Republik ini.
Bangsa ini bukan menjadi pemilik negaranya. Di era globalisasi, dan Indonesia sudah ikut menandatangani perjanjian perdagangan bebas dan investasi, baik di APEC, AFTA, dan lembaga multilateral lainnya, secara geostragis Indonesia sudah tidak memiliki kedaulatan apapun. Semua ini, mengakibatkan kita - rakyat dan bangsa Indonesia sudah bukan lagi menjadi "owner" (pemilik) Republik ini. Semua asset negara sudah beralih ke tangan fihak asing yang datang membawa modal.
Semua ini karena kesalahan kita sendiri. Kita sendiri yang menjual asset kita.Semua ini karena kita sendiri yang menyerahkan Republik kepada asing. Menjual sumber daya alam, dan asset negara yang strategis, termasuk asset BUMN, sejak zamannya Mega.
Mengapa semua ini bisa terjadi? Karena adanya kolaborasi antara ekskutif, legislatif, dan fihak asing. Pengalihan asset Republik ini terjadi karena memiliki dasar hukum, berupa undang-undang. Tidak ada yang tidak legal, secara undang-undang, dan aturan yang dilanggar oleh fihak asing. Mereka legal dan sah, karena mereka berada dalam koridor hukum dan undang-undang.
Semua undang-undang yang memberkan keleluasaan kepada asing itu, karena memang memiliki dasar undang-undang. Undang-undang produk ekskutif dan legislatif, dan didanai oleh fihak asing.
Seperti dalam setiap pembuan undang-undang tak terlepas dari intervensi asing, seperti World Bank, IMF, ADB (Asian Development Bank, semua mereka ini ikut mendanai pembuatan undang-undang di Indonesia. Kemudian, menjadi acuan dasar bagi fihak pengambil keputusan kebijakan yaitu pemerintah, khususnyan dalam masuknya modal asing dan investasi di Indonesia.
Sekarang berdasarkan, fakta-fakta dan data yang ada, menunjukkan bagaimana asing sudah sangat berpengaruh dan diam-diam mentake over (mengambil alih) Repuplik ini.
Di sektor perbankan, 50,6 persen, aset perbankan nasional sudah dimiliki oleh fihak asing. Bisa dibayangkan bagaimana sektor yang sangat strategis ini sudah ditangan fihak asing.
Sedikit ada 12 bank nasional yang sudah dimiliki oleh asing. Diantaranya, ANZ Banking Gorup Limited (99 persen), Bank UOB Indonesia (98,8 persen), HSBC Asia Pasipic Holding UK (98,9 persen), OCBC Overseas Investment (85,06 persen), dan CIMB Niaga (97,93 persen).
Fihak asing juga menguasai sektor pertambangan. Diantaranya, 70 persen migas Indonesia sudah dikuasai oleh asing. Pertambangan batu bara, 75 persen, batu- bara, bauksit, nikel, dan timah, semuanya dikuasai asing. Kemudian, 85 persen, tembaga dan emas, juga sudah dikuasi asing.
Fihak asing yang sudah menjarah dan menguasai sumber daya alam Indonesia, seperti Chevron, Conoco, Freeport Newmont, Exxon, semua dari Amerika.
Di sektor BUMN dibidang telekomunikasi, ini tak terlepas dari cengkeraman fihak asing. Bagaimana sektor yang sangat strategis bagi keamanan nasional Indonesia, tetapi berada di tangan asing?
Seperti telkomsel 35 persen dikuasai perusahaan asing Sing Tel dari Singapura, XL Axiata, 66,5 persen, dikuasai Axiata Berhad, Malaysia. Kemudian, Indosat 65 persen, dikuasai oleh Ooredo Asia dari Qatar, dan Hutchison Tri 60n persen, dikuasi oleh Hutchison Whampoa, dari Hongkong, China.
Sementara proyeksi ke depan, berdasarkan hasil pertemuan APEC di Nusa Dua, Bali, dalam rangka koneksitas infrastruktur, seperti pelabuhan mencapai 49 persen akan dikuasai asing, operator bandara internasional, bisa mencapai 100 persen, Jasa kebandaraan bisa mencapai 49 persen, Terminal darat untuk barang, bisa mencapai 49 persen, dan periklanan, bisa mencapai 51 persen, terutama dikalangan negara-negara ASEAN.
Jadi pemilu 2014 yang akan menghabiskan dana ratusan triliun itu, tak lain, hanyalah akan membuat atau melahirkan pemimpin, di tingkat ekskutif, dan legislatif, dan mereka hanyalah akan menjadi pelayan asing. Seperti para pemimpin pemangku kekuasaan, baik ekskutif atau legislatif, mereka semua menjadi pelayan atau abdi kepentingan asing. Bukan rakyat. Siapapun mereka nanti. Wallahu'alam.