View Full Version
Sabtu, 09 Nov 2013

Gelar Pahlawan Dua Tokoh Kristen dan Konflik Agama di Indonesia

Jakarta (voa-islam.com) Pemerintah Indonesia melalui Dewan Gelar, Tanda Jasa, dan Tanda Kehormatan, menetapkan pemberian gelar Pahlawan Nasional kepada tiga tokoh pada 2013, temasuk dua tokoh Krissten, TB. Simatupang  dan Lambertus Nicodemus Palar.

Ketiga tokoh yang diberi gelar Pahlawan Nasional yaitu Kanjeng Raden Tumenggung (KRT) Radjiman Wedyodiningrat dari Yogyakarta, Lambertus Nicodemus Palar dari Sulawesi Utara, dan Letjen TNI (Purn) TB Simatupang dari Sumatra Utara.

Pejabat Departemen Sosial, Hartono menjelaskan, ketiga tokoh tersebut ditetapkan sebagai Pahlawan Nasional dari delapan usulan calon pahlawan, ujarnya, Jum'at, 8/11/2013.

Radjiman Wedyodiningrat, kelahiran Yogyakarta 21 April 1879, adalah salah satu tokoh pendiri Republik Indonesia. Ia merupakan ketua Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).

Sedangkan, Lambertus Nicodemus (LN) Palar adalah tokoh yang lahir di Rurukan Tomohon, Sulut, pada 5 Juni 1900. Ia menjabat sebagai wakil RI dalam beberapa posisi diplomatik di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).

Sementara, TB Simatupang lahir di Sidikalang, Sumut, pada 28 Januari 1920. Dia adalah tokoh militer Indonesia yang kini namanya diabadikan sebagai salah satu nama jalan besar di kawasan Cilandak, Jakarta Selatan.

Setelah pensiun pada 1959 dia aktif di Dewan Gereja-gereja di Indonesia (DGI), Dewan Gereja-Gereja se-Asia, hingga Dewan Gereja-Gereja se-Dunia.

Konflik Islam-Kristen dan Perumusan Dasar Negara

Sejak masa awal kemerdekaan sampai masa munculnya pemberontakan PKI pada tahun 1965, Indonesia banyak diwarnai ketegangan antara golongan Islam, nasionalis (abangan), dan Kristen. Ketegangan itu tampak dalam perumusan dasar negara RI yang diakhiri dengan satu "modus vivendi" dikenal dengan nama Piagam Jakarta.

Namun, sehari setelah Indonesia merdeka ketujuh kata, "Kewajiban menjalankan SYARIAT ISLAM bagi pemeluk-pemeluknya", di dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, kemudian dihapus atas usulan golongan Kristen dari Indonesia Timur yang mengultimatum Hatta.

Pada saat inilah bibit ketegangan antara Islam dengan Kristen mulai muncul. Tahun 1950-an terjadi kebangkitan aliran kepercayaan (Kejawen), penganut gerakan ini menjadi basis utama bagi massa PKI.

PKI merupakan kekuatan oposisi utama bagi ideologi maupun politik Islam. Ketika PKI gagal mengadakan revolusi pada tahun 1965, orang Islam melakukan penumpasan para pengikut PKI, di seluruh wilayah Indonesia. Tetapi, ideologi komunis itu, tetap bersifat laten, sampai hari ini.

Karena kecewa maka banyak para pengikut PKI yang abangan memeluk agama Kristen. Pindahnya golongan kejawen ke agama Kristen ini telah menggeser kelompok yang dianggap ancaman bagi Islam dari kelompok abangan ke kelompok Kristen.

Pada masa menjelang kemerdekaan sampai munculnya pemberontakan PKI pada tahun 1965 panggung sejarah Indonesia lebih banyak diwarnai ketegangan antara kelompok nasionalis dengan kelompok Islam ketimbang Islam vis-à-vis Kristen. Namun, ketegangan itu terus berlangsung, ketika orang abangan yang masuk Kristen, dan menjadi "otak" usaha-usaha penghancuran golongan Islam. 

Di masa awal Orde Baru, kelompok Katolik Jesuit, yang dipimpin Father Beek, melakukan kolaborasi dengan sejumlah jendral abangan, seperti Mayjen Sudjono Humardani dan Mayjen Ali Murtopo, kemudian dibantu dengan sejumlah tokoh Katolik lainnya, seperti Hary Tjan Silalahi, mendirikan lembaga CSIS ( Central Strategic International Studies), dan memberikan masukkan pikiran dan kebijakan kepada rezim Soeharto.

Saat itulah Soeharto mengeleminir golongan Islam, sebagai kelompok mayoritas yang dianggap menjadi saingan kekuasaannya. Dibuatlah isu komando Jihad, dan menyudutkan golongan Islam. Termasuk, bagaimana Soeharto ingin memasukkan ajaran kejawen menjadi agama di Indonesia.

Soeharto dengan menggunakan tangan jendral Kristen, seperti Maraden Panggabean, Benny Murdani, dan Sudomo yang menjadi Panglima Kopkamtib, melakukan tindakan repressif, seperti di Tanjung Priok, Lampung, Haur Koneng, dan memberlakukan "DOM" di Aceh, dan mengakibatkan banyaknya korban jiwa dikalangan Muslim.

Sejak zamannya Soeharto berkuasa di awal Orde Baru, kelompok Kristen menolak tentang kode etik penyebaran agama. Karena, menganggap semua penduduk Indonesia sebagai "domba" yang harus digembala. Bahkan, sekarang pun kalangan Kristen menolak keras tentang SKB Tiga Menteri yang mengatur pendirian rumah ibadah Kalangan Kristen, tidak peduli, di suatu  daerah ada atau tidak penganut agama Kristen, tetap mereka menuntut diizinkannya mendirikan bangunan gereja.

Sekarang,  ketegangan antara Islam vis-à-vis Kristen tetap berlangsung. Karena golongan Kristen tidak henti-hentinya melakukan Kristenisasi di Indonesia. Dengan melalui pendidikan, sosial, budaya, dan ekonomi. Inilah yang menimbulkan kegangan antara golongan Islam dengan Kristen.

Perjuangan para elit Islam untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara yang kemudian gagal melahirkan Piagam Jakarta, menyebabkan suatu pergulatan yang tiada henti-hentinya antara kelompok nasionalis dan Kristen, yang tidak menghendaki Islam sebagai dasar negara. 

Bahkan, Simatupang yang menjadi Ketua DGI, berusaha membubarkan Departemen Agama, karena dianggap menjadi simbol diskriminasi agama di Indonesia. Sekarang mendapatkan gelar pahlawan  dari pemerintah dan dianggap berjasa. Wallahu'alam


latestnews

View Full Version