JAKARTA (voa-islam.com) Ibnu Mas’ud mengatakan, “Sesungguhnya pada pintu masuk istana para penguasa terdapat fitnah seperti menderumnya unta”. Ulama salaf memperingatkan umat supaya jangan mendatangi penguasa, jika dalam hati mereka tidak ada maksud menasehati dan mencegah penyimpangannya, dan tidak ada niat menjauhi harta kekayaannya.
“Jika engkau bermaksud memasuki pintu istana negara, ada dua perkara yang harus engkau hindari, yaitu harta kekayaan mereka dan pemberian mereka. Sebab, perkataanmu akan jatuh tak bernilai dalam sekejap, begitu dirham dari tangan sulltan jatuh ke tanganmu”, ujar Ibnu Mas’ud.
Sheikh Sa’id al-Halbi rahimahumullah, ketika itu datang Ibrahim Basya ke negeri Syam. Sheikh al-Halbi sedang mengajar murid-muridnya. Ibrahim Basya masuk masjid, namun Sheikh Sa’id al-Halbi tidak mengacuhkan kedatangan Basya. Dia tetap duduk sambil terus menjulurkan kakinya. Maka, Ibrahim Basya keluar masjid, mendidih darahnya, dan kemarahannya berkobar-kobar.
Kemudian, Ibrahim Basya mengambil kantung berisi uang, dan memberikan kepada pelayannya serta berkata, “Taruhlah ini di pangkuan Sheikh itu!”, ucapnya.
Kantung semacam inilah yang membuat leher menekuk dan dahi menunduk. Kantung inilah yang membua mulut tersumbat. Sehingga agama Allah dipetieskan.
Maka, pelayan itu meletakkan kantung itu dipangkuan Sheikh al-Halbi. Namun, Sheikh al-Halbi mengangkat kantung, dan mengembalikannya kepada pelayan itu, seraya berkata, “Katakan kepada tuanmu, bahwa orang yang menjulurkan kakinya, tidak akan menjulurkan tangannya”, kata Sheikh.
Para penguasa melihat orang-orang yang mengambil harta mereka dengan pandangan sinis, dan melecehkan dengan nafsu mereka, serta dengan kegeraman hati mereka. Mereka para penguasa berusaha memuaskan hati para ulama dengan cara memberi hadiah kepada mereka, sehingga para ulama mendiamkan kebathilan dan kezaliman mereka.
Para penguasa melihat ulama tak ubahnya seperti kumpulan binatang ternak yang berkumpul, manakala diiming-imingi seikat rumput dan lari bercerai berai manakala digertak oleh pengawal mereka.
Suatu ketika Khalifah al-Mansur mengunjungi Sufyan Ats-Tsauri dan mengatakan, “Hai Sufyan. Apa yang menjadi hajatmu?”. “Engkau dapat memberikannya padaku”, tanya Sufyan. “Ya”, jawab Khalifah al-Mansur. Lalu, Sufyan berkata, “Janganlah kau datang kepadaku sampai aku mengirim utusan kepadamu. Dan janganlah mengirim seorang utusan padaku sampai aku sendiri yang meminta”, tegas Sufyan Ats-Tsauri.
Para penguasa memandang manusia, bahkan para ulama sebagai ayam-ayam kampung yang mereka pelihara dengan makanan mereka, dan kemudian menyembelihnya kapan saja mereka mau.Orang-orang salaf mengetahui itu semua. Mereka benar-benar memahami dari dasar hati mereka.
Pernah Sulaiman Abdul Malik berdiri dihadapan Ibnu Hazm, dan dia berkata, “Hai Ibnu Hazm. Mengapa engkau tidak mendatangi kami?”. Ibnu Hazm menjawab, “Mudah-mudahan Allah melindungimu dari perkataan dusta, wahai Amirul Mukminin. Dari sejak kapan saya mengenal tuan, sehingga saya harus mendatangi tuan?”, tukas Ibnu Hazm.
Kemudian Sulaiman bin Mallik bertanya kepada Ibnu Hazm, “Hai Ibnu Hazm. Mengapa kami ini membenci mati, dan menyukai hidup?”, ujarnya. Ibnu Hazm menjawab, “Sebab kalian merusak akhirat kalian dan membangun dunia kalian, sehingga kalian enggan berpindah dari bangunan yang kalian dirikan menuju bangunan yang kalian robohkan”, tegas Ibnu Hazm.
Mendengar ucapan Ibnu Hazm yang tajam itu, salah seorang pengawal khalifah memegang gagang pedangnya, dan berkata, “Wahai Amirul Mukminin, izinkahlah aku memenggal lehernya. Sebab dia telah menghinamu!”.
Kemudian, Ibnu Hazm menghardiknya, “Diam kamu! Sesungguhnya telah binasa Fir’aun dan Hamam”. Selanjutnya, Ibnu Hazm memberikan nasihat kepada khalifah Sulaiman, “Sesungguhnya bapak-bapakmu telah mengambil urusan ini (kekuasaan atas kaum Muslimin) dengan darah mereka, maka dari itu putuskanlah sesuatu dengan penuh pertimbangan dan takutlah engkau kepada Allah dalam memimpin rakyatmu”, tambah Ibnu Hazm.
Khalifah Sulaiman bin Malik berkata kepada pelayannya, “Wahai pelayan, ambilkan uang 1000 dinar!”. Lalu, Sulaiman berkata, “Ambillah ini, wahai Ibnu Hazm”, tegas Sulaiman.
Ibnu Hazm mengangkatnya dan melihatnya, lalu berkata, “Inikah harga suatu nasihat? Kamr, babi dan darah lebih halal bagiku daripada uang ini. Kembalikan saja uang ini kepada tuanmu, supaya diberikan kepada tangan-tangan yang berhak menerimanya”.
Ulama salaf takut masuk istana para sultan, sebab mereka khawatir tidak akan selamat dari fitnah, yakni berdiam diri atas kemungkaran yang dilihatnya. Atau mungkin lebih parah, menjilat penguasa atas kebhatilan mereka.
“Dan apabila kamu melihat orang-orang yang memperolok-olokan ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka, sehingga membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika setan menjadikan kamu lupa (akan larangan itu), maka janganlah kamu duduk dengan orang-orang yang zalim itu sesudah (memberi mereka) peringatan”. (QS : al-An’am : 68)
Al-Qurtubi menafsirkan surah al-An’am, ayat 68 itu, mengatakan, “Ayat ini merupakan hujjah atas mereka yang membolehkan dirinya sendiri untuk masuk ke istana para sultan, tanpa mengingatkan mereka, tanpa menyuruh mereka berbuat ma’ruf dan melarang mereka dari perbuatan mungkar”.
Sesungguhnya masuk ke istana sultan hanya untuk memperingatkan mereka. Adapun sesudah memperingkatkan maka, “Janganlah kamu duduk bersama-sama orang-orang zalim itu sesudah (memberikan mereka) peringatan”.
Bahaya paling besar yang dimungkinkan menyerang hati manusia adalah nafsu terhadap kekuasaan. Nafsu terhadap kekuasaan itu dimiliki hati, baik oleh kaum Muslimin maupun musyrikin. Nafsu terhadap kekuasaan merupakan nafsu yang paling berbahaya. Nafsu terhadap kekuasaan dapat memecah belah kesatuan umat dan jamaah.
Berapa banyak sudah suatu kelompok yang telah bersatu padu, karena Allah, namun kemudian bercerai-berai, karena ambisi salah seorang diantara mereka untuk memimpin dan ingin tampil di depan. Ini terjadi dikalangan umat Islam. Semoga ini menjadi pelajaran berharga. Wallahu’alam. *mashadi.