JAKARTA (voa-islam.com) - Betapa harian katolik Kompas, menjelang kampanye pemilu 2014, sudah sudah menggiring opini publik, melalui hasil survei yang dibuat oleh Litbang harian itu, dan menempatkan Partai-partai Islam atau berbasis Massa Islam menjadi partai ‘gurem’.
PBB, PKS, PAN, PPP, perolehan suaranya, tidak mencapai 3,5 persen, kecuali PKB, diberi angka 6 persen. Karena, PKB memiliki kedekatan ideologi dengan komunitas Kompas. Opini Kompas itu, bagian dari langkah harian dan komunitas katolik, yang ingin menjadikan pemilu 2014, sebagai cara melakukan “killing ground” bagi kekuatan politik Islam.
Sepanjang 2012-2013, secara sistematis Kompas, dan media-media sekuler lainnya, menggiring opini publik yang negatif tentang partai-partai Islam. Sehingga, tercipta persepsi publik atau rakyat tentang Partai-Partai Islam atau berbasis Massa Islam sangat negatif.
Adanya isu tentang terorisme terus digelembungkan, seakan-akan menjadi ancaman yang sangat serius bagi masa depan Indonesia.
Terorisme, kelompok radikal, militan, dan fundamentalis dilekatkan dengan kelompok-kelompok Islam, semua itu bagian dari langkah strategis bukan hanya menciptakan persepsi negatif terhadap Islam, tetapi juga menciptakan rasa takut (fears) yang kuat terhadap segala sesuatu yang berkaitan dengan Islam. Ditambah lagi dengan isu korupsi, nampaknya menjadi sempurna.
Berikutnya, dengan persepsi yang negatif itu, kemudian dijusifikasi (pembenaran) dengan hasil survei, yang sejatinya survei itu, para respondennya sudah diarahkan dengan pertanyaan-pertanyaan yang menggiring. Hasilnya sangat negatif bagi kekuatan politik Islam.
“Mainstream” (arus utama) yang ingin dibangun oleh harian Katolik Kompas dan sekuler itu, punahnya kekuatan politik dan ideologi Islam, dan tidak lagi ada kekuatan politik berbasis ideologi Islam. Inilah tujuan strategis dari Kompas yang sedang dijalankannya. Karena, kekuatan politik berbasis ideologi Islam, dinilai sangat tidak kondusif bagi berkembangnya kelompok-kelompok minoritas di Indonesia.
Nantinya, di masa depan, di mana kekuatan politik di Indonesia yang menjadi 'mainstream”, adalah kekuatan politik atau partai politik sekuler, yang bercirikan dengan karakter ideologi yang bersifat terbuka (inklusif), plural, toleran, dan tidak mengedepankan kotak-kotak ideologi.
Maka, tipologi partai-partai yang terus dijajakan dan tokoh yang dibangun oleh Kompas dan media sekuler itu, partai seperti PDIP, Golkar, Gerindra, Hanura, Nasdem, dan PKB. Demokrat sudah dihancurkan. Karena ada unsur-unsur Islam, seperti Anas, dan sejumlah tokoh lainnya. Inilah bangunan politik masa depan Indonesia, sesuai dengan proses rekayasa yang dijalankan oleh Kompas dan komunitasnya.
Sebenarnya, Kompas sudah memenangkannya dalam proses rekayasa sosial politik dan ideologi.
Di mana sekarang tidak ada satupun Partai Islam atau Partai berbasis Massa Islam , yang secara terbuka dan terang-terangan berani mengedepankan ideologi Islam, atau secara terbuka memperjuangkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip Islam.
Justru Partai-Partai Islam dan berbasis Massa Islam sekarang berlomba-lomba meninggalkan nilai-nilai Islam dan prinsip Islam. Mereka sangat takut dituduh atau dicap sebagai kelompok eksklusif, fundamentalis, militan, tidak toleran, dan sejumlah tuduhan lainnya.
Sebuah perubahan yang sangat luar biasa, diantara Partai-Partai Islam dan berbasis Massa Islam, dan para tokohnya, semua ingin dianggap dinilai sebagai partai yang inklusif, plural, toleran, moderat, dan tidak lagi memperjuangkan prinsip Islam atau Syariah Islam. Partai-Partai Islam dan berbasis Massa Islam dan tokoh-tokohnya sudah benar-benar telanjang, tanpa seheleai benangpun pakaian Islam yang disandangnya.
Di sebuah acara yang digelar di Universitas Indonesia, mengundang seorang pemimpin atau tokoh “Partai Islam”, para ahli dan doktor dibidang politik sangat terkejut mendengar paparan dari tokoh itu, dan menggambarkan, di mana pandangan tokoh itu sangat terbuka,liberal, dan tidak menunjukkan sedikitpun jati-dirinya sebagai pemimpin Partai Islam. Sampai ada komentar dari peserta yang hadir, bahwa pandangan tokoh “Partai Islam” lebih liberal dan terbuka, dibandingkan dengan partai politik di Amerika Sekalipun.
Sejatinya, sekalipun para pemimpin Partai Islam atau berbasis Massa Massa Islam, sudah mengikuti arahan seperti harian katolik Kompas atau sekuler lainnya, bersikap toleran, terbuka, liberal, dan moderat, mengakomodasi seluruh kepentingan golongan minoritas, mereka tidak akan pernah memilih Partai Islam atau berbasis Massa Islam.
Sekalipun para pemimpin Partai-Partai Islam dan berbasis Massa Islam, sudah menelanjangi idelogi Islam mereka, tetap tidak akan pernah menjadikan Partai Islam dan berbasis Massa Islam sebagai pilihan mereka.
Sekalipun, Partai-Partai Islam atau berbasis Massa Islam itu sudah "murtad", dan mengikuti agama mereka dan menjadi “millah” mereka. Mengucapkan selamat natal, dan menghadiri missa di gereja, saat natal. Faktanya mereka tetap tidak akan memilih dan mendukung Partai-partai Islam atau berbasis Massa Islam.
Pelajaran, berdirinya Partai PAN, di awal reformasi, yang dirancang menjadi partai terbuka, dan tokoh-tokohnya yang duduk di dalam kepengurusan partai itu mencerminkan pluralisme, tetapi tetap saja PAN, tidak menjadi partai besar. Orang-orang kristen tetap tidak memilih PAN.
Mengapa di era keterbukaan dan kebebasan ini, Partai-Partai Islam dan berbasis Massa Islam, tidak menampilkan jatidirinya sebagai Partai Islam secara utuh, dan membawa agenda-agenda, keumatan yang berbasis pada nilai-nilai Islam? Inilah yang belum pernah dijalankan oleh Partai-Partai Islam.
Menelanjangi jati dirinya dari prinsip-prinsip Islam dan nilai-nilai Islam, tidak berarti mereka berduyun-duyun memilih Partai Islam. Seharusnya, para pemimpin Islam berani dengan terbuka memperjuangkan agenda-agenda Islam, dan memberikan tauladan kepada publik, bahwa Partai Islam mampu menjadi tauladan dan menjadi solusi bagi masa depan Indoenesia.
Semua partai sekuler yang pernah berkuasa di Indonesia secara empirik sudah membuktikan mereka gagal, dan membuat Indonesia terpuruk dan bangkrut.
Partai-Partai Islam jangan rugi dua kali. Rugi di dunia dan rugi diakhirat. Di dunia menjadi hina, menjadi partai gurem, dan tidak lagi memiliki nilai tawar politik, dan di akhirat tidak mendapatkan kemuliaan, karena meninggalkan Islam, dan kufur terhadap al-Islam.
Seharusnya, Partai-Partai Islam tidak melakukan ‘ta’awanu alal istmi wal udwan’ (bekerjasama dan tolong-menolong dalam kejahatan) bersama kekuatan politik sekuler yang sudah terangan-terangan menghancurkan, sejak zamannya Soekarno, Soeharto, Habibi, Abdurrahman Wahid, Megawati, dan SBY. Partai Islam dan para pemimpinnya harus berani membangun gerakan politik Islam, sebagai solusi Indonesia.
Para pemimpin dan tokoh Partai-Partai Islam harus hidup dengan puritan, tidak bergelimang kemewahan, memiliki integritas yang tinggi, seperti dicontohkan oleh para pemimpin Masyumi. Tidak tamak dan rakus. Mengedepankan ketauladanan. Menunjukkan kesungguhan dan keikhlasannya dalam membela Islam dan ummat Islam, bukan semata mengejar kekuasaan dan duniawi. Wallahu’alam.