BEIRUT (voa-islam.com) Seorang hakim militer Lebanon menuntut hukuman hukuman mati terhadap ulama Sunni terkemuka Ahmad al–Assir, dan mantan penyanyi pop yang menjadi pejuang Islam, Fadl Shaker, bersama dengan 52 tersangka lainnya, ungkap sumber peradilan mengatakan Jumat, 28/2/2014.
Hakim Riad Abu Ghida mengajukan dakwahan dua kasus pembunuhan dan percobaan pembunuhan terhadap tentara dan warga sipil dalam bentrokan di kota selatan Lebanon dari Sidoun Juli lalu. Bentrokan musim panas antara pengikut al-Assir dan tentara Libanon menewaskan sedikitnya 18 tentara dan 11 orang milisi bersenjata tewas, ungkap AFP melaporkan.
Al-Assir dan Shaker, bersama dengan pendukungnya, menjadi sorotan luas di kalangan kelompok Syi’ah Lebanon, dan Al-Assir menjadi tokoh utama yang menentang rezim Syi’ah di Lebanon. Al-Assir menggerakkan para pengikutnya melawan rezim Syi’ah di Lebanon yang mendukung Bashar al-Assad, dan membantai ratusan ribu Muslim Sunni di Suriah.
Hakim militer menuduh tersangka termasuk "membentuk kelompok-kelompok bersenjata yang menyerang sebuah lembaga negara, tentara, membunuh perwira dan prajurit, mengambil bahan peledak dan ringan dan senjata berat dan menggunakan senjata mereka menyerang militer", kata surat dakwaan hakim itu.
Al-Assir dengan tegas menentang Gerakan Hizbullah Syiah Lebanon, karena kelompok Hisbullah bergabung dengan rezim Suriah dalam konflik sipil di negara itu. Di mana milisi Hisbullah menjadi tulangpunggung rezim Syi’ah Alawiyyin Bashar al-Assad, dan melakukan ‘genosida’ terhadap rakyatnya, dan menggunakan senjata pemusnah massal (gas sarin), dan ribuan rakyatnya tewas, akibat serangan senjata pemusnah massal. Mengapa Al-Assir harus dihukum mati?
Konflik di Suriah ini telah membelah Timur Tengah antara Sunni-Syi’ah. Di mana kelompok Syi’ah memobilisasi dukungan dari Syi’ah Lebanon, Irak, Iran, Bahrain, Yaman, dan Turki. Kelompok Syi’ah dari berbagai negara berdatangan ke Suriah, mempertahanankan rezim Bashar al-Assad dengan segala kekuatan yang mereka miliki.
Di seluruh kawasan Timur Tengah telah terbelah menjadi konflik terbuka antara kelompok Sunni-Syi'ah. Kelompok Syi'ah secara taktis menggunakan isu 'teroris', ketika melawan dan memerangi kelompok Sunni yang menghadapi kekejaman kelompok Syi'ah, seperti yang terjadi di Suriah dan Irak.
Dengan opini yang dibangun oleh kalangan Syi'ah terhadap kelompok Sunni yang terzalimi, terbentuk sebuah stigma (gambaran) buruk, bahwa kelompok Sunni adalah 'teroris'.
Apalagi, sesudah Amerika-Uni Eropa dan Iran menandatangani perjanjian di Jenewa tentang senjata nuklir, dan Amerika menerima Iran sebagai partner strategis mereka, dan kegagalan Amerika melakukan serangan militer terhadap Suriah, maka kedudukan dan posisi kekuatan Syi'ah di Timur Tengah semakin kuat.
Sementara itu, penguasa-penguasa Arab Sunni, "menggigil" menghadapi perubahan sikap Amerika. Para penguasa Arab ikut "genderang' yang ditabuh Iran, dan ikut memerangi para pejuang Sunni yang ingin memebaskan negara mereka dari pengaruh Barat dan Syi'ah yang sekarang mencengkeram negara-negara mereka di Timur Tengah.
Negara-negara Arab Sunni berperang bersama para penguasa Syi'ah memerangi pejuang dan mujahidin yang sekarang ingin menyelamatkan dan membebaskan negaranya dari penjajajah Barat dan Syi'ah. Sebuah pengkhianatan nyata-nyata mereka. Wallahu'alam.