JAKARTA (voa-islam.com) Prabowo Subianto semakin lantang dan keras bicara. Tanpa tedeng aling-aling. Pernyataannya, bahwa demokrasi di Indonesia mulai bergeser menjadi kleptokrasi. Sebab sekarang bukan lagi rakyat yang berkuasa, melainkan maling-maling di negeri ini yang berkuasa.
Hal itu dikatakan Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra Prabowo Subianto dalam orasi kampanye di Gelora Bung Karno (GBK), di Jakarta, Minggu (23/3/2014).
Menurut Prabowo, demokrasi di Tanah Air menggelisahkan dan sudah dalam tahap membahayakan. "Bahayanya sekarang, demokrasi ini hampir menjadi kleptokrasi. Tahu apa arti kleptokrasi. Klepto dari Yunani artinya maling. Krasi berkuasa. Jadi maling-maling ingin berkuasa di republik ini," kata Prabowo.
Prabowo mengatakan, seharusnya kekuasaan tertinggi di Indonesia berada di tangan rakyat. "Demokrasi yang diartikan dalam bahasa Yunani adalah rakyat yang berkuasa. Kekuasan tertinggi di Indonesia berada di tangan rakyat. Tidak ada orang kaya, tidak ada orang miskin, tidak ada petani, tidak ada jenderal, semua sama," kata Prabowo.
Oleh sebab itu, Prabowo mengajak seluruh massa untuk menggunakan hak pilihnya pada pemilihan legislatif (pileg) 9 April mendatang. Pemilu 9 April yang akan datang adalah hajat yang besar. Demokrasi para pemimpin bersaing dan saya katakan, persaingan itu baik, sehat kalau kita bersaing atas kejujuran dan kebenaran," tegas Prabowo.
Tetapi, kenyataannya sekarang ini, Indonesia yang berpenduduk 250 juta itu, mayoritas penduduknya miskin, dan bahkan 40 juta penduduk Indonesia berada di bawah garis kemiskinan absolut. Sementara itu, kelompok Cina yang note bene, pendatang, menguasai 80 persen asset ekonomi Indonesia.
Di mana 10 orang terkaya di Indonesia, sebagian besar konglomerat Cina. Mereka menghisap darah bangsa Indonesia, bukan hanya sebagai parasit, tetapi sudah menjadi predator.
Sekarang kelompok Cina yang sudah menguasai asset ekonomi dan sumber daya alam Indonesia, dan termasuk sektor perbankan, dan seperti dikatakan oleh DR. Sri Bintang Pamungkas, kelompok Cina ingin menguasai kedaulatan politik, dan ikut dalam usaha-usaha pengambil alihah kekuasaan, melalui pemilu.
Sekarang ini, seperti Hary Tanoe yang menggunakan 'tunggangan' Partai Hanura, atau Rusni Kirana, 'bos' Lion Air, 'membeli PKB', dan langsung menjadi Wakil Ketua Umum. Rusdi Kirana berobsesi, ingin menjadi PKB menjadi kenderaan politiknya di tahun 2019 nanti. Sekarang, Rusdi dengan usaha ingin membangkitkan ekonomi kalangan Nahdliyyin (NU).
Dibagian lain, kalangan konglomerat Cina, seperti James Riyadi, Prayogo Pangestu, Tomy Winata, dan sejumlah konglomerat Cina lainnya, menggunakan Jokowi sebagai 'boneka' menguasai Indonesia. Pantas, kemarin rakyat DKI Jakarta melakukan demontrasi menuntut pertanggungjawaban Jokowi yang sudah berkhianat, meninggalkan jabatannya sebagai gubernur, dan mengikuti arahan Mega dan konglomerat Cina, dijadikan calon presiden.
Peristiwa yang maha dahsyat terjadi di Indonesia saat krisis ekonomi, pemerintah Soeharto memberikan dana talangan (bail out) yang dikenal dengan BLBI kepada konglomerat Cina, nilainya Rp650 triliun, dan dana itu dikemplang oleh mereka. Sehingga, membuat rakyat menjadi jembel dan kere, dan nasibnya sebagai bangsa pariah. Sementara itu, Mega yang mengaku pemimpin partai 'wong cilik' memberikan pengampunan saat berulang tahun di Bali, tahun 2002.
Prabowo dengan jelas dan lantang, dia menolak Indonesia dijadikan jajahan asing, dan diperbudak asing, dan dia akan memerdekan Indonesia. Mungkinkah janji itu akan ditepatinya?
Di tengah perubahan lingkungan strategis, dan pengaruh asing yang semakin kuat terhadap Indonesia, di masa depan diperulkan pemimpin yang memiliki visi, dan pandangang jelas. Berani menghadapi berbagai tantangan masa depan yang sangat komplek. Mantan Ketua PB NU Hasyim Muzadi, beberapa waktu lalu, menyatakan, ragu terhadap kemampuan memimpin Jokowi, dan dinilai oleh Hasyim Muzadi, Jokowi belum jelas visi dalam memimpin Indonesia.
Apalagi, Indonesia sudah masuk dalam perjanjian perdagangan bebas, seperti WTO, APEC, dan AFTA. Ini memerlukan pemimpin yang kuat. Bukan seperti Jokowi. Di mana Jokowi hanya mendapatkan 'pencitraan' media sekuler dan Katolik, seperti Kompas dan Tempo.
Di masa depan Indonesia tidak mungkin lagi dipimpin oleh tokoh yang hanya bermodal dari 'pencitraan' dan hasil 'survei'. Jokowi dicitrakan sebagai sosok yang sederhana, anti korupsi, dan merakyat. Semua itu palsu alias bohong. Lihat kasus pembelian 1.000 busway dari Cina yang menghabiskan dana Rp 1 triliun. Penuh dengan korupsi.
Sementara itu, Jokowi baru satu tahun memimpin Jakarta, sudah ditinggal dan ikut dalam pencalonan bursa 'Capres' yang diusung oleh PDI. Seabrek persoalan DKI Jakarta ditinggalkan begitu. Rakyat DKI benar-benar dikhianati oleh Jokowi. Apakah tokoh seperti Jokowi yang sudah berkhianat terhadap pemilihnya itu, nantinya bisa jujur dan menjaga amanah saat memimpin Indonesia? Wallahu'alam.