View Full Version
Senin, 14 Apr 2014

Lima Tahun Mendatang Indonesia Penuh Kekacauan Politik

JAKARTA (voa-islam.com) - Usai pemilu 9 April, gonjang-ganjing politik semakin menggelegak, dan bisa mengarah kepada situasi kekacauan alias ‘chaos’.  Pasalnya tak satupun partai yang bisa mendapatkan suara mayoritas mutlak di parlemen.

PDIP yang sudah menggunakan ‘jimat’ Jokowi, nyungsep diangka 19,7 persen. Tidak sampai 20 persen. ‘Jimat’ Jokowi tak mampu mendongkrak suara PDIP. Betapapun Jokowi sudah di berikan ‘doping’ yang   esktra oleh media-media kristen dan sekuler. Tetap gagal.

Suara PDIP yang menggotong Jokowi menjadi calon presiden, hanyalah 19,7 persen. Jokowi harus banting-tulang, mencari dukungan partai politik lainnya, agar bisa maju menjadi calon presiden mendatang. Itu tidak mudah.

Partai-partai banyak resistensi terhadap PDIP dan kalangan Islam juga resistensi. Karena PDIP menjadi kandang ‘kristen, Islam (JIL), dan Syi’ah’. Kalau sekarang NASDEM alias Surya Palon mendukung PDIP dan Jokowi, karena NASDEM dengan PDIP dan Jokowi itu, istilah anak muda yaitu ’11-12’.

Katakanlah, kalau Jokowi bisa maju menjadi calon presiden atau terpilih menjadi presiden (na’udubillah), dan pemerintahan model apa nanti yang bisa memiliki legitimasi yang kokoh?

Hanya modal PDIP 19,7 persen di parlemen, sementara masih ada 80 persen, yang sewaktu-waktu bisa menjadi ‘bom waktu’ bagi PDIP dan Jokowi di parlemen. Ditambah diluar gedung parlemen masih ada 'GOLPUT' yang hampir mencapai 40n persen.

Karena, koalisi yang dibangun oleh PDIP dan Jokowi itu, tidak akan menjamin pemerintahan yang ada selamanya stabil. Pasti akan menghadapi suara-suara di parlemen yang sangat alot, penuh perdebatan, dan resisten dalam menentukan setiap kebijakan.

Ambil pengalaman dari SBY yang suara demokrat lebih dari 25 persen di parlemen, dan SBY mendapatkan dukungan lebih dari 60 persen suara dalam pemilihan presiden, serta didukung hampir seluruh partai politik, kecuali PDIP. Tetap saja SBY tidak nyaman, dan ‘kedodoran’, menghadapi tekanan partai-partai politik yang ada di parlemen.

Kondisi politik lima tahun ke depan sudah sangat jelas. Di mana partai-partai politik tidak ada satupun yang mendapatkan suara mayoritas. Tarik ulur kepentingan semakin keras. Semua partai poitik  tidak akan ada yang memiliki komitmen yang sungguh-sungguh, jujur, dan bersifat permanen.

Koalisi diantara partai-partai sewaktu-waktu bisa pecah, dan menjadi ledakan politik. Berupa ‘bom waktu’. Kondisi Indonesia akan terus-menerus selama lima tahun ke depan menghadapi ketidak stabilan politik. Ini akan membahayakan integritas nasional Indonesia.

Jika selama tahun ke depan situasi dan kondisi politik terus menghadapi apa yang disebut sebagai ‘unrest’ (kekacauan), maka sebenarnya dibutuhkan tipologi pemimpin yang kuat, dan memiliki kemampuan menejemen konflik yang sangat tinggi.

Apalagi, kalau sudah masuk skenario kepentingan dari luar, dan memang ingin menciptakan desintegrasi, serta akan membagi-bagi Indonesia menjadi enam negara, seperti rencana kelompok ‘Arkansas Connection’, yang dipimpin mantan Presiden AS, Bill Clinton, sebenarnya hanya menunggu waktu.

Barangkali yang tidak diprediksi oleh para pengamat politik, dan tokoh-tokoh politik Indonesia, perolehan suara PDIP. Kalangan  pengamat politik dan tokoh politik, sudah kehilangan nalar dan ‘commonsense’ (akal sehat), akibat dimanupulasi oleh opini media.

Mereka sudah ‘efouria’ menanti kemenangan PDIP,  akibat begitu luar  biasa cara-cara manipulasi media kristen dan sekuler, seakan PDIP, yang sudah memiliki ‘jimat’ Jokowi akan memenangkan pemilu 9 April, dengan suara mayoritas mutlak. Sebenarnya itu hanyalah : ILUSSI.

Karena, yang bisa menciptakan mayoritas mutlak atau ‘single mayority’ itu hanyalah Soeharto. Dengan jalan menggunakan ‘tangan besi’. Sehingga, suara GOLKAR, sejak pemilu l971 sampai  l997, suara Golkar terus  mayoritas, bahkan pemilu terakhir Orde Baru, suara GoLKAR, mencapai lebih 70 persen.

Sekarang era demokrasi liberal. Tidak ada bedil.  Bedil tidak lagi berguna. Tentara giginya sudah ‘dipreteli’ oleh partai-partai politik, dan tidak bisa menakuti-nakuti rakyat. Di era demokrasi liberal, seperti sekarang ini, yang ada hanyalah ‘uang’ dan ‘media’ yang digunakan mempengaruhi opini rakyat.

Tak aneh, kalau sekarang partai-partai politik memperbanyak uang, dan mencari dukungan pemilik modal, dan menguasai media, digunakan memanipulasi dan membodohi rakyat. Tapi, itu sudah ‘jadul’, karena itu terbukti dengan hasil suara yang diperoleh PDIP, diluar prediksi, hanya l9,7 persen.

Jika PDIP ingin mencari dukungan partai-partai politik, mungkin mendapatkan dukungan dari beberapa partai ada yang mau mendukung pencapresan Jokowi, tetapi jangka panjang PDIP dan Jokowi akan menghadapi kemelut politik dan kekacauan politik yang hebat, dan terus-menerus.

Tidak ada jaminan dari partai politik pendukung akan bersikap tulus terhadap PDIP dan Jokowi, semua mereka memiliki kepentingan kepada kekuasaan. ‘Sharing’ (pembagian) kekuasaan juga tidak menjamin akan adanya dukungan yang bersifat permanen di parlemen. Pengalaman SBY sudah sangat cukup.

Kalau Jokowi disandingkan dengan seorang jenderal, apakah ini menjadi jalan keluar dan solusi? Apakah dengan dukungan seorang jenderal itu, kemudian bisa mengamankan kepemimpinan Jokowi? Sekarang sudah tidak bisa lagi, siapapun menggunakan ‘bedil’ menekan kekuatan politik yang ada dengan bedil.

Masalah yang sangat fundamental yaitu, tidak adanya kekuatan partai politik yang mendapatkan suara mayorita mutlak, dan  yang bisa membentuk pemerintahan yang stabil. Semua bergantung kepada  ‘koalisi’. Lihat suara tiga partai besar. PDIP l9,7 persen, Golkar 14 persen, dan Gerindra 12 persen. Sementara menengah PKB, PAN, PKS, dan PPP, total suaranya 31,5 persen. Sungguh sangat penuh dengan dilema.

Episentrum politik sekarang ada di tiga tokoh, yaitu Mega, Aburizal Bakrie, dan Prabowo. Minus Mega, semuanya sudah mendeklarasikan sebagai calon presiden sebelum 9 April.

Apakah ini akan terjadi reposisi? Inilah yang sangat pelik. Tidak akan bisa dipecahkan dengan mudah. Karena memang sistemnya yang membawa Indonesia kepada malapetaka. Menuju kehancuran.

Apakah mungkin PDIP, Golkar, dan Gerindra bisa membentuk konfigurasi politik yang baru, dan berkoalisi? Mustahil.

Tiga partai besar yang paling mungkin memanfaatkan partai-partai menengah dengan ‘bayaran’ kursi di kabinet atau uang. Tapi, semua itu, tidak akan pernah bisa menjamin pemerintahan yang stabil. Karena memang sistem demokrasi itu, tidak mampu menciptakan kehidupan yang stabil. Penuh dengan kekacauan. Wallahu’alam.


latestnews

View Full Version