JAKARTA (voa-islam.com) - SBY saat dilantik menjadi presiden bersumpah dihadapan rakyat dan bangsa Indonesia dengan mengucapkan sumpah :
“Demi Allah, saya bersumpah akan memenuhi kewajiban Presiden Republik Indonesia (Wakil Presiden Republik Indonesia) dengan sebaik-baiknya dan seadil-adilnya, memegang teguh Undang-Undang Dasar dan menjalankan segala Undang-Undang dan peraturannya dengan selurus-lurusnya serta berbakti kepada Nusa dan Bangsa”.
Sementara itu, dalam konstitusi negara 'UUD 45', secara eksplisit, terdapat sebuah diktum, yang menyatakan, di pasal 33, bahwa seluruh kekayaan alam, bumi dan air akan digunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Di dalam pasal 33 ayat 2 dan 3 UUD'45, berbunyi:
Ayat 2, "Cabang-cabang produksi yang penting bagi Negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh Negara".
Ayat 3, "Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat".
Tetapi, faktanya sekarang kekayaan alam dan asset negara bukan lagi rakyat yang menikmati, tetapi penjajah 'Asing dan A Seng'. Rakyat hanya menjadi kuli di negaranya sendiri.
Mayoritas rakyat dan bangsa Indonesia tetap miskin, dan terbelakang, masih ada yang memakai koteka, tinggal dipinggir rel kereta, di kolong jembatan, dan jutaan rakyat tidak memiliki mata pencaharian.
Kemudian, kalau ada calon presiden yang bercita-cita atau memberikan janji serta komitmen ingin mengembalikan kekayaan negara atau asset negara apakah salah? Sebuah kejahatan? Barangkali melanggar konstitusi negara?
Bahkan, Presiden Hugo Chavez, yang memimpin 26 juta rakyat Venezuela, melakukan nasionalisasi seluruh perusahaan asing, termasuk perusahaan Amerika, justru membuat rakyatnya lebih baik, dan ketika Hugo Chavez meninggal, seluruh rakyatnya menangisi kepergiannya.
Sebaliknya, Presiden SBY selaku Ketua Umum Partai Demokrat, menegaskan dirinya tidak akan mendukung dan memilih calon presiden yang memberikan janji-janji muluk yang justru akan membahayakan bagi kehidupan bangsa Indonesia.
Menurut SBY, rakyat akan senang bila yang dijanjikan calon presiden itu membawa manfaat yang nyata bagi masyarakat. Tapi dia melihat ada janji-janji capres yang dirasa sangat membahayakan.
"Saya ambil contoh, kalau kita dengar janji-janji kampanye selama ini, menurut saya ada yang berbahaya. Misalnya, kalau 'kalau saya jadi presiden semua aset asing akan saya nasionalisasi, kita ambil alih," kata SBY saat wawancara dengan Suara Demokrat yang diunggah di YouTube, Rabu 7 Mei 2014.
Dijelaskan SBY, masyarakat yang mendengar retorika seperti itu sebagian akan bilang 'wah ini hebat, pemimpin berani, pemimpin tegas, nasionalismenya tinggi'.
"Tetapi kalau yang bersangkutan menjadi presiden, semua aset dinasionalisai yang perjanjiannya sudah sejak era Bung Karno, Pak Harto hingga sekarang ini, maka hari ini dilakukan nasionalisasi, besok kita dituntut di pengadilan kita bisa kalah. Kalahnya akan memporak-porandakan perekenomian kita," katanya.
Menurut SBY, dampaknya akan sangat dasyat. Karena itu menurutnya, bila ada seorang capres yang bersikukuh bahwa akan melaksanakan menasionalisasi semua aset asing di Indonesia ini dia dengan tegas tidak akan memilihnya.
"Saya tidak akan mendukungnya. karena saya tahu risikonya karena akan membawa malapetaka bagi perekonomian kita," katanya.
SBY yang telah memimpin negeri ini hampir 10 tahun, mengatakan bahwa dirinya mengerti apa tugas dan pekerjaan seorang presiden, dan bila dia memilih sesorang pasti yang sudah diyakini bahwa yang bersangkut mampu menjalankan tugas sebagai presiden.
Dalam video wawancara yang durasinya hingga 19 menit, SBY juga menyinggung visi serta misi calon presiden yang berjanji akan mengembalikan UU 1945 sebelum adanya perubahan. Menurutnya, hal itu dapat menimbulkan instabilitas dan akan mengganggu jalannya pemerintahan dan pembangunan.
"Para capres bicara kepada rakyat, apa yang mau dilaksanakan, kita dengar besama-sama. Dan saya, tegas mengatakan, tidak akan pernah mendukung capres manapun, kubu manapun, yang janji-janjinya justru membahayakan kehidupan bangsa kita," katanya.
Meski tak menyebut nama, pernyataan SBY ini mengarah pada calon presiden Prabowo Subianto. Prabowo dalam berbagai kesempatan mengutarakan nasionalisasi aset asing sebagai platformnya.
Memang, sikap Presiden SBY, tidak harus menjadi panutan, penolakannya yang tidak menyetujui langkah nasionalisasi terhadap perusahaan asing itu, sudah kedaluwarsa, di tengah-tengah bangsa Indonesia yang semakin terjajah asing, dan kekayaannya dirampas dan dirampok, sementara rakyat dan bangsa Indonesia semakin miskin, dan tidka bermartabat, hina dina.
Sungguh, jika ada pemimpin yang berani mengambil tindakan tegas terhadap kepentingan asing di Indonesia, dan melakukan nasionalisasi terhadap perusahaan asing di Indonesia, itu sejatinya dia seorang tokoh yang patut dijuluki sebagai "Sang Pembebas", dan layak seluruh bangsa Indonesia menjadi bangga, dan berdiri dibelakangnya, memberikan dukungan siapapun pemimpin itu.
Betapa sedihnya rakyat Indonesia melihat keadaan yang ada, di mana negara yang sangat luas, tiga kali daratan Eropa luas, dan memiliki sumber daya alam (SDA) yang melimpah, tetapi semua kekayaan itu, bukanlah bagi kemakmuran rakyat dan bangsa Indonesia, tetapi yang menikmati penjajah asing.
Memang, SBY bukan tokoh yang bisa menjadi penjaga dan pelindung rakyat dan bangsa Indonesia, ketika harus berhadapan dengan kepentingan asing.
Menurut beberapa informasi, SBY yang sudah menjelang lengser, bulan Oktober nanti, masih sempat menandatangani perpanjangan kontrak PT Freeport dan Newmont. Di mana keberpihakan Presiden SBY terhadap rakyat dan Bangsa Indonesia? Wallahu'alam