View Full Version
Senin, 19 May 2014

Mengenang Warisan Kekuasaan Rezim SBY

JAKARTA (voa-islam.com) -  SBY, akhirnya memilih jalan hidupnya sendiri. Dia ingin membangun ‘citra’ sebagai negarawan. Sesudah tidak lagi menjadi presiden. SBY ingin tetap dikenang sebagai negarawan. SBY mungkin dapat diteladani dengan pilihan politiknya. SBY tidak melakukan koalisi dengan partai manapun. Demi mendapatkan kekuasaan. Memilih oposisi sebagai penyeimbang kekuasaan.

SBY berkuasa dua periode. Dari tahun 2004-2014. Satu dekade berkuasa. Sebuah rentang waktu yang relatif panjang. Rezim SBY berkuasa dengan memberi kebebasan mutlak. Rakyat mendapatkan kebebasan secara luas. Media massa bisa berbuat apa saja. Tanpa batas dan tidak ada restriksi. Media dibiarkan menulis apa saja dengan leluasa. Rakyatpun dibiarkan melakukan ekspressi dan aktualisasi kehidupannya.

SBY tidak melakukan pembelaan terhadap kader dan tokoh-tokoh Partai Demokrat yang menjadi tersangka korupsi. Dibiarkan. Tanpa ada campur tangan dari SBY. Menghadapi proses hukum. Dibiarkan para kader dan tokoh Demokrat mendapatkan keadilan di pengadilan. SBY tidak melindungi siapa saja yang terduga korupsi. SBY tidak melakukan perlindungan terhadap mereka. Ini sebuah sikap tidak lazim dari sebuah rezim berkuasa.

SBY membangun pemerintahan dengan dukungan partai-partai politik. Melalui sebuah koalisi. Sejak SBY mencalonkan diri sebagai calon presiden di tahun 2004. Pemilu 2004, Partai Demokrat yang dia bangun hanya mendapatkan suara 7 persen. Justru SBY yang maju sebagai calon presiden didukung oleh Demokrat,  PBB dan PKS, dan menang mendapatkan dukungan rakyat lebih 60 persen. Sungguh luar biasa dukungan rakyat kepada SBY. Atas dasar itu, kemudian SBY, membagi-bagi ‘kue’ kekuasaan kepada setiap partai yang mendukung dalam pemerintahan. Jadi rezim SBY itu, sebuah rezim partai politik. Tidak SBY seorang diri memerintah.

SBY membiarkan partai-partai politik yang menjadi mitra koalisinya, tetap berseberangan dengan kekuasaan yang dipimpinnya. Tidak selalu yang menjadi kebijakan pemerintahannya mendapatkan dukungan mutlak. Sekalipun SBY didukung 11 partai politik yang menjadi mitra koalisinya, minus PDIP. Tidak jarang SBY mendapatkan kesulitan menghadapi mitra koalisinya, ketika akan mengeksekusi kebijakan yang akan diambil. Tidak jarang harus melalui sebuah ‘voting’ (pemungutan suara) di parlemen. Tidak cukup diambil hanya melalui lobi ditingkat pimpinan partai di Setgab (Sekretaris Gabungan).

SBY selama satu dekade b erkuasa, gagal mengantarkan rakyat dan bangsa Indonesia menjadi bangsa yang sejahtera, berkeadilan, terhormat, dihargai oleh bangsa-bangsa lainnya. Bangsa Indonesia masih mayoritas miskin. Bahkan, terjadi desparitas (kesenjangan) yang sangat luar biasa antara kaya dan miskin. Indek angka ‘gini’ (kaya dan miskin) semakin jauh. Di mana indek ‘gini’ di Indonesia sudah mencapai angka merah, hampir 40 persen. Pertumbuhan orang-orang kaya sangat luar biasa, yang mendapatkan gaji Rp 500 juta setiap bulan, tetapi pertumbuhan orang-orang miskin bertambah banyak. Seperti deret ukur. Inilah yang akan menjadi malapetaka bagi masa depan Indonesia.

SBY membiarkan ‘Asing dan A Seng’ menjarah, merampok, menguasai sumber daya alam (SDA), bahkan di fasilitasi menguasi SDA, yang seharusnya digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat, sesuai dengan konstitusi. Dibiarkan ‘Asing dan A Seng’ menguasai SDA negara. Seperti Freeport, New Mont, Exxon, dan lainnya. Hutan, kebun kelapa sawit, kekayaan laut. Hampir 85 persen, sektor perbankan juga sahamnya sudah dimiliki ‘ Asing dan A Seng’. Bahkan, Freeport, New Mont, diperpanjang lagi kontraknya. Indonesia hanya mendapatkan 1 persen dari Freeport, yang sekarang ini dikelola oleh perusahaan Amerika, MC.Moran. Di mana tanggung jawabnya SBY terhadap rakyatnya? Negeri yang kaya raya, justru rakyatnya miskin. Semuanya ini karena kebijakan liberalisasi ekonomi yang sangat masive.

SBY selama berkuasa tidak mengurangi utang, tapi justru menumpuk utang, dan sekarang utang Indonesia, mencapai hampir Rp 1300 triliun. Ini sangat luar biasa. SBY menutup defisit utang hanya dengan cara utang. Ini yang dikerjakan oleh rezim Soeharto yang menutup defisit APBN selalu dengan utang luar negeri. Sehingga, akhir kekuasaan Soeharto, hanya meninggalkan utang, dan kekacauan ekonomi.

SBY tidak dapat memberikan jaminan bagi kepentingan umat Islam. Meskipun, awal SBY menjadi presiden tahun 2004, berkat dukungan dua Partai Islam, yaitu PBB dan PKS. Tetapi, masalah-masalah yang menyangkut kepentingan umat Islam, tidak menjadi prioritasnya. Inilah yang sangat mencolok. Justru selama pemerintahan SBY, umat Islam menjadi ‘objek’ oleh aparat keamanan, seperti Densus 88. Berapa banyak mereka yang menjadi ‘terduga’ teroris, mati ditangan Densus 88, tanpa ada penjelasan status mereka. SBY lebih mementingkan kepentingan Amerika, termasuk memanjarakan Abu Bakar Ba’asyir, yang di vonis 17 tahun, dan sekarang di ‘buang’ di Nusakambangan. Betapa beratnya tanggung jawab SBY, kelak diahirat, membiarkan membunuhi mereka yang dituduh 'teroris', tanpa ada kejelasan status mereka.

SBY tidak pernah memahami tuntutan umat Islam. Seperti tuntutan pembubaran aliran sesat Ahmadiyah. Tidak pernah digubris oleh SBY. Dibiarkan Ahmadiyah terus melakukan aktivitasnya di seluruh wilayah hukum Indonesia. Berulangkali umat Islam melakukan aksi berdemo, menuntut pembubaran Ahmadiyah, dibiarkan hingga kini.

SBY tidak mau mengakomodasi aspirasi umat Islam yang ingin memperbaiki kehidupan moral masyarakat, dan menjauhkan kehidupan umat dari kemungkaran, seperti usaha-usaha memasukkan masalah penyakit ‘sosial’ menjadi peraturan daerah (Perda), di setiap kabupaten, justru dianggap sebagai ‘Perda Syariah’, dan Mendagri meminta para pejabat daerah membatalkan peraturan yang sudah disahkan oleh DPRD. Sebaliknya, SBY sangat memperhatikan golongan minoritas, memberikan perhatian khusus kepada mereka. Seperti tergambar saat berlangsung setiap perayaan Natal, di mana ribuan polisi dan tentara dikerahkan menjaga gereja.

SBY membiarkan kekuatan Barat, terutama Amerika dan Israel yang mengobok-ngobok kedaulatan dan inrtegritas nasional Indonesia. Termasuk masalah Papua. SBY memberikan janjinya Papua merdeka, saat ber temu dengan para pendeta di wilayah itu. Ini benar-benar sikap yang sangat bertentangan dengan konstitusi sebagai presiden yang berkewajiban melindungi segala tumpah darah Indonesia.

SBY, suatu ketika, dan dengan didampingi Menteri Pertahanan Purnomo Yusgiantoro, Menteri Luar Negeri Marty Natalegawa, Menteri ESDM Jero Wacik, Menteri Pendidikan M Nuh, Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Mari Elka Pangestu, Ketua DPR Marzuki Alie, Ketua DPD Irman Gusman, Ketua Komisi II DPR Agun Gunanjar, serta dua putra Yudhoyono, yakni Edhi Baskoro Yudhoyono dan Agus Harimurti Yudhoyono.

SBY memperoleh gelar penghargaan dari Ratu Elisabeth II, yaitu  penghargaannya ’Knight Grand Cross in the Order of the Bath’. Ada tiga kelas dari Order Bath dan Presiden SBY yang tertinggi. Penghargaan itu diberikan  tahun 2012.

Penghargaan tertinggi itu pernah diberikan kepada Presiden Amerika Serikat Ronald Reagen, mantan Presiden Perancis Jacques Chirac, dan Presiden Turki Abdullah Gul.

Knight Grand Cross in the Order of Bath merupakan kelas tertinggi dari Order of Bath. Penghargaan ini pertama kali diberikan oleh Raja George I pada 1725. Penghargaan ini diberikan kepada mereka yang memiliki prestasi menonjol baik dari kalangan militer maupun masyarakat sipil.

Itulah warisan SBY yang  pernah ada. Boleh mengenangnya, boleh melupakannya. SBY manusia biasa yang pasti akan menghadapi pergantian dalam hidupnya. Tidak ada yang kekal. Apa yang ada di tangannya. Termasuk kekuasaan digenggamnya pasti akan pergi. Termasuk SBY juga akan meninggalkan dunia yang fana, dan segala yang dicintainya akan berpisah. Wallahu'alam.

 


latestnews

View Full Version