View Full Version
Jum'at, 23 May 2014

PDIP, Siapapun Presidennya Tidak Akan Pernah Bisa Memperbaiki Indonesia

JAKARTA (voa-islam.com) - Mega, Jokowi, dan PDIP menggunakan jargon : ‘INDONESIA HEBAT’. Apakah Mega, Jokowi, dan PDIP akan dapat menjadikan Indonesia ‘HEBAT’? Inilah pertanyaan yang sangat penting.

Karena jargon yang dipilih oleh Mega, Jokowi dan PDIP itu, nantinya hanya akan menjadi ungkapan klise. Kalau tidak dapat mewujudkan dalam kehidupan nyata.

Apakah Mega, Jokowi dan PDIP memiliki obsesi menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa yang ‘HEBAT’ di tengah-tengah persaingan global di masa depan? Apakah Mega, Jokowi, dan PDIP memahami arti yang diucapkan atau jargon yang dicetuskan itu, ingin menjadikan Indonesia sebagai negara dan bangsa ‘HEBAT’?

Dengan apa Mega, Jokowi, dan PDIP menjadikan negara dan bangsa Indonesia menjadi ‘HEBAT’? Tidak mudah seperti diucapkan dalam kata-kata. Ini memerlukan prototipe manusia yang sangat luar biasa. Mega, Jokowi, dan PDIP harus mengubah dirinya secara mendasar, sehingga menjadi manusia tauladan. Rakyat dan bangsa ini membutuhkan langkah besar.

Jokowi telah melontarkan gagasan tentang ‘REVOLUSI MENTAL’. Tetapi, masih bersifat wacana, dan belum jelas, apa substansi dari gagasan ‘REVOLUSI MENTAL’ itu.

Masalahnya, Mega sudah pernah berkuasa, dan tidak berhasil melakukan perubahan yang mendasar bagi kehidupan rakyat bangsa Indonesia. Mega tidak dapat memberi tauladan dalam berpolitik dan memimpin.

Tentu yang paling pokok dan dibutuhkan Mega, Jokowi, dan para kader PDIP harus menjadi tauladan. Menjadi tauladan dalam segala bidang. Terutama terkait dengan moralitas para elite, kader, dan seluruh eksponen PDIP. Dapatkah?

Dalam masalah korupsi PDIP justru menurut catatan KPK Watch, justeru PDIP menjadi partai yang paling korup. Dengan jumlah kadernya atau tokohnya yang terlibat korupsi mencapai 113 orang, sejaka tahun 2002-2013.

Ini mengindasikan PDIP tidak dapat menjadi pelopor perbaikan bagi kehidupan yang bersih, dan bertujuan menciptakan pemerintahan yang bersih ‘good governance’. Belum lagi kader-kader PDIP di daerah-daerah yang menjadi tersangka korupsi, seperti gubernur, bupati, walikota, dan anggota DPRD.

Sikap Mega dan PDIP, selama berkuasa tidak nampak, sebagai partai yang selalu menyatakan sebagai partainya ‘wong cilik’, membela petani, buruh yang tertindas,  justeru Mega dan PDIP menunjukkan keberpihakan terhadap para konglomerat.

Bahkan, Mega memberikan pengampunan kepada konglomerat hitam, yang mengemplang dana BLBI Rp 650 triliun, saat berulang tahun di Bali. Mega memanjakan para konglomerat hitam. Bagaimana Mega bisa dikatakan sebagai pembela ‘wong cilik’?

Di sisi lain, Mega saat berkuasa, menjual asset negara yang sangat strategis kepada fihak asing. Seperti, Indosat kepada Singapura hanya dengan harga Rp 5 triliun. Mega juga menjual BCA yang assetnya Rp 60 triliun dijual kepada Michael Hartono, pemilik rokok Djarum, hanya dengan harga Rp 5 triliun. Sungguh sangat luar biasa. Mega juga menjual gas tangguh kepada Cina, dan dengan harga yang murah, dan Indonesia dirugikan bertriliun-triliun. Sementara itu, kehidupan rakyat semakin sengsara.

Di era Mega pula, lahir kebijakan di bidang perburuhan, yaitu undang perburuhan yang sangat penting bagi kehidupan buruh, dan yang dikenal yaitu ‘outsourching’. Di mana ini sangat merugikan bagi buruh, dan tanpa adanya jaminan masa depan bagi mereka. Undang-undang perburuhan yang sangat merugiian itu, lahir saat menteri tenaga kerjanya, Jacob Nuwamewa. Sungguh ironi.

Tentu, sekarang kontrovesi tentang pilihan Mega terhadap JK yang menjadi calon wakil presidn Jokowi. Menurut pendiri PDIP, Sabam Sirait, menyatakan bahwa Jusuf Kalla (JK) ditunjuk untuk menjadi bakal Cawapres mendampingi bakal Capres Joko Widodo (Jokowi), karena bersedia membayar “mahar politik” sebesar 10 T (sepuluh trilyun rupiah).

Pernyataan Sabam Sirait tentang “mahar politk” 10 T ini, berawal ketika JK dipastikan dan disepekati dan dideklarasikan oleh semua partai mitra koalisi Poros PDIP sebagai bakal Cawapres pendamping Jokowi. Selama ini publik dan rakyat selalu mendengarkan apa yang diucapkan oleh Jokowi, tidak ada ‘deal’ apapun bagi para pendukung Jokowi dan PDIP, yang ikut dalam barisan koalisi.

Seperti diungkapkan oleh Mahfud MD, bahwa apa yang diungkapkan oleh Jokowi, tentang tidak adanya ‘deal’ apapun, baik menyangkut uang atau jabatan di pemerintahan. Tetapi, menurut Mahfud, semuanya itu hanyalah bohong belaka. Karena, menurut Mahfud justru terjadi transaksi yang luar biasa. Jadi tidak ada yang disebut ‘makan siang gratis’. Kalau tidak uang , pasti diiming-imingi jabatan dalam kabinet.

Jadi dengan politik yang penuh transaksional itu, bagaimana Mega dan Jokowi akan membangun negara yang bersih alias good governance? Apalagi, kalau apa yang dikatakan oleh tokoh PDIP Sabam Sirait itu benar, bahwa JK memberkan mahar Rp 10 T, itu merupakan gambaran yang sangat kelam bagi masa depan Indonesia. Karena dengan memulai proses politik dengan cara transaksional, hanya akan menciptakan pemerintahan yang korup.

Apalagi, kalau dihitung koalisi PDIP yang didukung Nasdem, PKB, dan Hanura, serta PKPI, yang mengusung Jokowi apa bisa memerintah dengan efektif , menghadapi Gerindra yang didukung oleh PPP, PKS, PAN,Golkar, dan ditambah dengan Demokrat menjadi oposisi di parlemen.

Lima tahun ke depan jika Jokowi-JK memerintah akan menghadapi kesulitan dalam mengambil kebijakan. Karena di dukung parlemen yang lemah. Jokowi akan menghadapi oposisi. Sehingga, pemerintahan tidak pernah efektif. Lima tahun ke depan akan penuh ketidakpastian. Wallahu’alam.


latestnews

View Full Version