View Full Version
Selasa, 03 Jun 2014

Dengan Glembuk Jokowi Ingin Masuk Istana Negara

JAKARTA (voa-islam.com) - Seorang calon pemimpin yang ingin menjadi pemimpin harus mendapatkan kepercayaan rakyat. Meskipun, tidak mudah mendapatkan kepercayaan dan kredibilitas dari rakyat.

Tentu masalah kepercayaan akan terkait langsung dengan sejarah seseorang. Sedikit saja terkena masalah, kepercayaan bisa langsung hancur berkeping-keping.

Di Jawa ada sebuah sebuah cara yang sudah menjadi budaya sampai hari ini, yaitu ‘Glembuk’. ‘Glembuk’ mempunyai makna, ‘ngojok-ngojoki supaya gelem’ (mempengaruhi secara persuasif supaya mau). Namun, pada tingkat tertentu ‘Glembuk’ bisa sampai mempunyai arti ‘Ngapusi’ (membohongi).

Dalam pandangan kehidupan tradisional Jawa, ‘Glembuk’ bisa diartikan sebagai strategi politik membujuk ‘membohongi’ lawan dan konstituen (pemilih) untuk memilihnya dalam pemilihan. Seperti dalam skala lokal, pemilihan perangkat desa yang diperebutkan di satu daerah.

‘Glembuk’ bisa juga di artikan sebagai cara “halus” untuk membujuk atau ‘ngapusi’ masyarakat atau tokoh memberikan dukungannya saat pemilihan kelak. Bujukan ini bisa diartikan dalam lingkup yang luas. Bisa berupa memberikan jabatan tertentu atau memberikan berupa “sumbangan” kebutuhan masyarakat atau desa, bahkan membuat sebuah citra.

Dalam ‘Glembuk’, kata kunci yang tepat adalah sedikit berpura-pura merendah dan dengan sikap halus. Menggunakan ‘Glembuk’ berarti juga mencoba merangkul lawan politik agar mau mengalah dan memberikan dukungannya. Tentu ada ‘imbalan’ dalam prosesi ini.

‘Glembuk’ dalam bahasa perkotaan adalah berpura-pura ‘merendah untuk meninggi’. Dalam kultur masyarakat Solo yang menggunakan ‘Umuk’ sebagai simbol “kesombongan” suatu elit warga. Dalam Umuk, yang ditampilkan bukan kesederhanaan dan sikap halus pada lawan maupun konstituen, melainkan sikap sombong, berkuasa, dan dikesankan kuat.

Dengan demikian, tanpa perlawanan seorang lawan akan ketakutan sendiri karena menyadari lawannya adalah orang kuat. Warga pun melihat “kesombongan” itu sebagai sebuah simbol kekuatan yang sulit dilawan. Sementara di Semarang, dalam kultur politiknya mereka menggunakan Getak atau gertak. Semata-mata dengan menunjukkan kekuatan-kekuatan yang dimiliki. Baik bentrok fisik maupun non-fisik lazim dalam skema ini. Intinya satu, lawan takut saat di-gertak.

Jokowi yang sekarang manggung di pilpres 2014 ini, menggunakan cara ‘Glembuk’ dalam memenangkan dan mendapatkan dukungan rakyat. Jokowi di dukung PDIP,Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPPI, dan puluhan jenderal.

Mega dan Jokowi belum apa-apa, belum menjadi presiden sudah seperti presiden dengan melakukan pertemuan bersama sejumlah Duta Besar, seperti Duta Besar Amerika, Inggris, Vatika, Meksiko, dan sejumlah Duta Besar lainnya.

Jokowi mendapatkan dukungan konglomerat Cina yang menjadi tulang punggung (backbone) dalam perjuangannya menapaki jalan menuju Istana Presiden. Konglomerat Cina seperti James Riyadi, Jacob Soetojo, Prayogo Pangestu, Ciputra, dan sejumlah konglomerat lainnya, mereka berdiri dibelakang Jokowi, dan ingin melanggengkan kekuasaannya dibidang ekonomi.

Sementara itu, Jokowi yang badannya nampak ‘kurus’ itu, terus menggunakan ajian ‘Glembuk’ dengan pura-pura menjadi orang ‘miskin’, dan taktik ‘blusukan’, kemudian mendapatkan pujian rakyat sebagai tokoh yang bersahaja, merakyat, tidak korup, egaliter, dan jujur.

Semuanya itu aslinya hanyalah sebuah ‘Glembuk’ yang tujuannya hanya satu yaitu ‘ngapusi’ (menipu) rakyat. Bangsa Indonesia harus faham, dan bisa membedakan antara ‘Glembuk’ dengan sebuah sifat dan karakter yang tulus. Jangan tertipu oleh fenomena ‘Glembuk’ yang sekarang ini dijadikan sebuah methode mendapatkan simpati rakyat. Wallahuu'alam.


latestnews

View Full Version