JAKARTA (voa-islam.com) - ‘Ojo Dumeh’, kosa kata bahasa Jawa, maksudnya ‘jangan mentang-mentang’. Jokowi yang sudah dipilih menjadi Gubernur DKI itu, maksudnya ‘Ojo Dumeh’, alias ‘jangan mentang-mentang’.
Dia berjanji melaksanakan amanah rakyat DKI Jakarta yang memilih, dan tetap menjadi Gubernu selama lima tahun. Jokowi yang namanya bagaikan ‘meteor’ itu, karena media massa dan sosial, ternyata melanggar pantangan ‘Ojo Dumeh’.
Jokowi tak amanah dan taat memegang janjinya. Jokowi tak tahan godaan kekuasaan. Amanah rakyat dia khianati. Seperti rakyat Solo dia khianati. Sekarang rakyat Jakarta yang menaruh harapan dia khianati juga. Jokowi ‘salting’ atau ‘jumping’ melompat, karena sudah meninggalkan falsafat Jawa ‘Ojo Dumeh’.
Dia sudah tidak memiliki kearifan, dan kehilangan hati nurani. Mengeja nafsu ambisinya. Dia menjadi lupa. Silau. Tidak tahan menghadapi ‘covered’ media massa, media sosial, dan ‘pressure’ (desakan), oleh berbagai kepentingan. Jokowi tidak menjadi pribadi yang ‘genuine’ (alamiah) lagi.
Jokowi terus mengikuti nafsunya terhadap kekuasaan. Dia terus mendekati Megawati ‘bos’ Banteng, yang sudah mulai ‘sepuh’ dan ‘udzur’. Jokowi seperti menerima ‘durian runtuh’, saat Mega menitahkannya menjadi calon presiden PDIP. Dengan sadar Jokowi berani menerima titah Mega, memikul beban berat, dan meninggalkan amanah. Inilah tipikal Jokowi.
Dia tidak memiliki pribadi yang konsisten (istiqomah), dan berimpati kepada orang-orang yang sudah memberikan kepercayaan kepadanya. Jokowi berani mengambil peran figuran yang sangat ‘naif’, tetapi bangga dan menikmati di panggung ‘theater’ besar Indodnesia sebagai calon presiden. Semua mata rakyat Indonesia melihatnya, benarkah dia pemimpin sejati?
Sejarah nanti yang menentukan nasibnya. Apakah seorang pemimpin sejati, atau hanyalah seorang pecundang yang haus kekuasaan? Jokowi telah berani berspekulasi dengan bermain dalam sebuah panggung ‘sandiwara’ besar, dan dia belum memiliki kapasitas bermain di panggung sejarah besar bangsa, karena memang tak memiliki modal.
Tetapi, semua itu ditepisnya, dan tak berarti apa-apa, karena Jokowi sudah menjadi seorang yang ‘kepala batu’, dan berprinsip atau berfalsafah ‘Ora Opo-Opo’ (tidak apa-apa). Tidak lagi bisa menerima kritik.
Hatinya, pendengarannya, dan matanya, semuanya sudah tertutup. Tertutup oleh nafsu ambsisi. Hatinya sudah mati. Karena sudah ditutupi oleh ambisinya. Dia hanya ada satu yang menjadi tujuannya yaitu : “Presiden Indonesia”. Tidak ada yang lain. Kekuasaan menjadi segalanya. Seakan dengan obsesinya itu, dia akan menjadi seorang pahlawan.
Dia tahu semuanya yang terjadi atas dirinya, hanyalah sebuah rekayasa. Sebuah sebuah narasi ‘cerita’ besar tentang masa depan Indonesia, seperti yang diinginkan oleh orang-orang yang sekarang berada dibalik sosok Jokowi.
Tangan-tangan yang tak ‘nampak’ mempersiapkan seb uah langkah besar, bagaimana menguasai Indonesia secara permanen, dan menggunakan figuran ‘Jokowi’. Inilah hakekatnya perebutan kekuasaan yang sekarang di jalin melalui pemilihan presiden 2014. Sebuah sirkulasi kekuasaan, dan hanya akan mengekalkan para pemilik modal, para penjajah yang ingin budak 250 rakyat Indonesia.
Sayangnya Jokowi secara s adar mau dijadikan kuda ‘tunggangan’, dan telah kehilangan akal sehat -‘commonsense’. Tidak bisa lagi berfikir secara jernih. Membiarkan dirinya diarak-arak oleh kumpulan manusia di tengah-tengah arus perubahan yang terjadi.
Dia larut dan membiarkannya situasi itu terus berjalan. Inilah yang akan menjadi sebuah malapetaka. Seharusnya, Jokowi bisa menilai dan mengukur dirinya secara jujur. Melakukan muhasabah (menghitung-hitung), layakah dirinya memikul tanggungjawab besar, memikul amanah 250 juta rakyat Indonesia?
Disinilah pokok persoalannya. Jika dia sudah menjadi ‘batu’, ‘Ora Opo-Opor’. Dia tidak lagi bisa mengukur dirinya, kemampuannya, dan merasa bisa. Disinilah semua persoalan bermuara. Indonesia akan mengalami ‘disaster’ (bencana).
Ada persoalan lebih serius lagi. Indonesia akan berinteraksi dengan masyarakat global. Posisi Indonesia yang secara geopolitik sangat strategis, karena letak posisi geografisnya, sumber alam yang dimilikinya, dan jumlah populasinya yang sangat besar. Indonesia merupakan negara ketiga populasi terbesar di dunia, sesudah Cina dan India.
Indonesia akan memasuki milenium baru, abad baru dan dunia baru. Semua sudah berubah. Ini dibutuhkan pemimpin visioner. Indonesia tidak bisa lagi seperti ‘katak dalam tempurung’. Indonesia bukan saja harus berinteraksi, tetapi juga berkomunikasi dengan masyarakat dan pemimpin tingkat global.
Para pemimpin Indonesia harus bisa berinteraksi dan berkomunikasi dengan para pemimpin di tingkat global. Melakukan negosiasi, berunding, mengambil keputusan, dan bahkan melakukan tawar-menawar dengan para pemimpin global, dan harus bisa mempertahankan kepentingan nasional Indonesia.
Pemimpin Indonesia akan bertemu dengan pemimpin lembaga-lembaga multilateral. IMF, World Bank, AFTA, NAFTA, APEC, ASEAN, Forum Ekonomi Global, Non Blok, OKI, PBB, dan sejumlah lembaga multilarel lainnya.
Pemimpin Indonesia akan bertemu dengan pemimpin global, seperti Presiden AS, Barack Obama, Perdana Menteri Inggris, David Cameron, Perdana Menteri Jerman, Angela Merkel, Presiden Rusia, Vladimir Putin, Kepala Kebijakan Uni Eropa Ashton, Perdana Menteri Jepang, Senso Abe, Sekjen PBB Ban Kii-mon, Perdana Menteri Turki, Erdogan, dan sejumlah tokoh dunia lainnya. Itu sebuah keniscayaan.
Dapatkah pemimpin Indonesia mendatang duduk sejajar dan bermartabat, ketika harus berhadap dengan para pemimpin global itu. Dapatkah pemimpin Indonesia melakukkan komunikasi dan melakukan perundingan ‘directly’ (langsung) dengan mereka, dan memiliki ‘leverage’ (nilai tawar) yang terhormat, dan membawa kepentingan Indonesia sebagai bangsa terhormat?
Inilah yang menjadi persoalan masa depan Indonesia. Indonesia tidak dapat dipimpin oleh tokoh seperti Jokowi, yang saat wawancara dengan wartawati Bloomberg hanya dapat mengatakan, “I DON’T THINK ABOUT THAT’. Ini terlalu sederhana.
Kita harus berani realistis melihat figur dan tokoh yang berlaga di pilpres 2014. Jangan sampai pilpres 2014 ini, hanya akan melahirkan ‘disaster’, dan hanya membuat kesedihan bagi 250 rakyat Indonesia. Tidak lagi kita bisa berkata ‘pokoke’. Ini sesuatu yang sangat ‘absurd’, dan hanya menghancurkan kehidupan bangsa. Tidak bisa lagi ‘pokoke’ Jokowi. Wallahu’alam.