View Full Version
Jum'at, 20 Jun 2014

Dokumen Lengkap Wawancara Empat Wartawan Indonesia Dengan Prabowo

BANGKOK (voa-islam.com) Inilah dokumen lengkap berasal dari perpustakaan online Universitas Ohio, Amerika Serikat. Dokumen itu diunggah pada tanggal 29 Oktober 1999.

Dalam dokumen itu disebutkan empat wartawan Indonesia, salah satunya dari majalah Panji. Mereka berbincang-bincang dengan Prabowo, Kamis 14 Oktober 1999, atau setahun setelah diberhentikan dari ABRI.

Berikut obrolan Prabowo dengan empat wartawan di Indonesia:

Soal surat Muladi kepada Komnas HAM. Anda sebenarnya diberhentikan karena kasus penculikan atau kerusuhan 13-14 Mei 1998?

Itulah yang saya bingung. Saya diperiksa oleh DKP beberapa kali.
Mungkin tiga atau empat kali. Dan semua pertanyaan saya jawab. DKP itu
kan khusus menyelidiki soal penculikan sembilan aktivis. Saya pribadi
tidak suka menggunakan istilah penculikan karena itu kan kesalahan
teknis di lapangan. Niat sebenarnya adalah mengamankan aktivis radikal agar tidak mengganggu rencana pelaksanaan SU MPR 1998. Bahwa kemudian anak buah saya menyekap lebih lama sehingga dikatakan menculik, itu saya anggap kesalahan teknis. Tanggung jawabnya saya ambil alih.

Di DKP apakah ditanyai soal pemberi perintah penculikan?

Tentu. Tapi perintah menculik tidak ada. Yang ada operasi intelijen
untuk mengamankan aktivis radikal itu. Sebab saat itu kan sudah
terjadi ancaman peledakan bom di mana-mana. Dalam DKP saya kemukakan
bahwa perintah pengamanan itu tidak rahasia. Mereka, para jenderal
yang memeriksa saya pun tahu. Itu dari atasan dan sejumlah instansi,
termasuk Kodam dilibatkan.

Benarkah Anda mendapat daftar 28 orang yang harus `diamankan' dalam konteks SU MPR?

Wah, dari mana Anda tahu? Tapi saya memang terima satu daftar untuk
diselidiki. Jadi, untuk diselidiki. Bukan untuk diculik.

Dari siapa Anda terima daftar itu?

Saya tidak bisa katakan. Semua sudah saya katakan di DKP. Kita ini
kan harus menjaga kehormatan institusi ABRI. Keterangan saya di DKP
ada rekamannya.

Benarkah daftar itu Anda terima langsung dari RI 1, yakni presiden
saat itu, Soeharto?

Saya sulit menjawab. Kepada Pak Harto saya sangat hormat. Beliau
panglima saya. Kepala negara saya. Bahkan, lebih jauh lagi, beliau
mertua saya, kakek dari anak saya. Bayangkan sulitnya posisi saya.
Tapi semua itu sudah saya sampaikan ke DKP.

Anda tidak tanya pada Pak Harto daftar itu didapat dari mana?

Tentu saya tanya.

Pak Harto ngomong apa pada Anda waktu memberikan daftar itu?

Ha...ha...ha.... Pertanyaan bagus, tetapi sulit dijawab.

Kapan Anda terima daftar itu dari Pak Harto?

Beberapa hari setelah ledakan bom di rumah susun Tanah Tinggi.

Apakah nama 14 aktivis yang sampai kini belum ketahuan rimbanya ada di situ?

Saya lupa. Mungkin tidak. Itu daftar kan kalau saya tidak salah
didapat dari rumah susun Tanah Tinggi. Jadi macam-macam nama orang
ada di situ. Akan halnya enam aktivis, Andi Arief dkk., itu ada dalam
daftar pencarian orang (DPO), yang diberikan polisi. Yang tiga, Pius
Lustrilanang, Desmond J. Mahesa, dan Haryanto Taslam, itu kecelakaan.
Saya tak pernah perintahkan untuk menangkap mereka. Semua mencari
mereka yang ada dalam DPO itu. Kita dapat brifing terus dari Mabes
ABRI. Kita selalu ditanyai. Sudah dapat belum Andi Arief. Tiap hari
ditanya. Sudah dapat belum si ini... begitu. Kejar-kejaran semua.
Itu pun, maaf ya, meski saya tanggung jawab, saya tanya anak-anak. Eh,
kalian saya perintahkan nggak? BKO sampai nyebrang ke Lampung segala.
Mereka ini namanya mau mencari prestasi. Tapi saya puji waktu mereka
dapat. Mereka kan membantu polisi yang terus mencari-cari anak-anak
itu. Soalnya Andi Arief kan dikejar-kejar.

Selain Anda, siapa lagi yang menerima daftar itu dari Pak Harto?
Apakah betul Kasad Jenderal Wiranto dan pangab saat itu, Jenderal
Feisal Tanjung menerima daftar serupa?


Yang bisa saya pastikan, saya bukan satu-satunya panglima yang
menerima daftar itu. Pimpinan ABRI lainnya juga menerima. Dan daftar
itu memang sifatnya untuk diselidiki. Perintahnya begitu. Seingat
saya, Pak Harto sendiri sudah mengakui kepada sejumlah menteri bahwa
itu adalah operasi intelijen. Di kalangan ABRI, sudah jadi
pengetahuan umum. Tapi, sudahlah, kalau bicara Pak Harto saya sulit.
Apalagi saya tak mau memecah-belah lembaga yang saya cintai, yakni
ABRI, khususnya TNI.

Bukankah hubungan Anda dan Pak Harto belakangan retak?

Itu benar dan sangat saya sesalkan. Mungkin ada yang memberikan
masukan kepada Pak Harto, seolah-olah saya sudah tidak loyal kepada
beliau. Saya dikatakan sudah main mata dengan Pak Habibie dan karena
itu menyarakan agar Pak Harto lengser pada pertengahan Mei. Mungkin
itu yang membuat Pak Harto marah kepada saya. Ironis, bukan? Oleh
masyarakat saya dianggap sebagai status quo karena menjadi bagian dari
Pak Harto. Saya tidak menyesal. Memang saya menikah dengan putrinya.
Tapi Pak Harto sendiri, dan keluarganya, justru marah kepada saya.

Benarkah Anda mengusulkan agar Pak Harto lengser?

Ya. Malah sebelum Pak Harto mundur, setelah terjadi peristiwa
Trisakti, saya pernah mengatakan kepada seorang diplomat asing.
Tampaknya Pak Harto akan mundur. Eskalasi situasi dan peta geopolitik
saat itu menghendaki demikian. Saya juga kemukakan ini sehari setelah
Pak Harto kembali dari Kairo (15 Mei 1998, Red.). Apalagi Pak Harto di
Kairo memang mengisyaratkan kesediaan untuk lengser. Mungkin ada yang
tidak suka saya bicara terbuka. Tapi saya biasa bicara apa adanya dan
terus terang. Saya tidak suka basa-basi. Mungkin di situ
masalahnya.

Kenapa akhirnya Anda mengambil tanggung jawab penculikan sembilan
aktivis?


Di situ saya merasa agak dicurangi dan diperlakukan tidak adil.
Mengamankan enam orang ini kan suatu keberhasilan. Wong orang mau
melakukan aksi pengeboman, kita mencegahnya. Mereka merakit 40 bom.
Kita mendapatkan 18, ada 22 bom yang masih beredar di masyarakat.
Katanya yang 22 itu sudah dibawa ke Banyuwangi. Bom yang meledak di
rusun Tanah Tinggi dan di Demak, Jawa Tengah itu kan karena anak-anak
itu, para aktivis, nggak begitu ahli merakit bom. Jadi, kurang
hati-hati, salah sentuh, meledak. Di Kopassus pun tidak sembarang
orang bisa merakit bom. Tidak semua orang bisa. Ini ada
spesialisasinya. Saya tidak bisa bikin bom. Jadi kita ini mencegah
peledakan bom di tempat-tempat strategis dan pembakaran terminal. Kita
harusnya dapat ucapan terima kasih karena melindungi hak asasi
masyarakat yang terancam peledakan itu. Soal tiga orang, memang
kesalahan. Saya minta maaf pada Haryanto Taslam dan yang lain. Tapi
dia juga akhirnya terima kasih. Untung yang menangkap saya. Kan hidup
semua. Saya mau bertemu mereka.

Anda pernah berpikir tidak bahwa dokumen atau daftar yang berasal dari rusun Tanah Tinggi itu buatan pihak yang berniat jahat?

Belakangan saya berpikir juga. Jangan-jangan dokumen itu bikinan.
Dalam dokumen itu, seolah-olah ada rapat di rumah Megawati. Saya
nggak bisa dan tidak mau menyalahkan anak buah. Saya katakan kepada
mereka, you di pengadilan mau ngomong apa aja deh, saya akan ikuti.
Saya diadili juga siap. Saya bilang, Haryanto Taslam saya perintahkan
nggak untuk ditangkap? Tidak ada. Tapi saya ambil alih tanggung
jawab. Di DKP pun saya katakan bahwa anak-anak itu tidak bersalah.
Mereka adalah perwira-perwira yang terbaik. Saya tahu persis karena
saya komandan mereka. Cek saja rekamannya di DKP. Tapi bahwa mungkin
mereka salah menafsirkan, terlalu antusias, sehingga menjabarkan
perintah saya begitu, ya bisa saja. Atau ada titipan perintah dari
yang lain, saya tidak tahu. Intinya, saya mengaku bertanggung jawab.

Apa memang ada pihak yang ikut nimbrung saat itu memberikan perintah?

Bisa saja. Saya tidak tahu. Tapi tetap apa yang sudah terjadi adalah
tanggung jawab saya. Tetap itu anak buah saya. Saya kan mesti
percaya sama anak buah. Makanya saya nggak apa-apa diberhentikan.
Saya nggak heran. Ini risiko saya. Iya kan?

Tapi kalau kemudian saya sudah berhenti, masih diisukan ini, itu,
dibuat begini, begitu. Ah..., saya merasa dikecewakan oleh Pak
Wiranto. Saya merasa harusnya dia tahu situasinya saat itu
bagaimana. Dia tahu kok ada perintah penyelidikan itu. Begitu dia
jadi pangab, saya juga laporkan, sedang ada operasi intelijen, sandi
yudha, begini, begitu. Kepada beberapa menteri Pak Harto ngomong bahwa
itu operasi intelijen. Tapi begitu Pak Harto tidak berkuasa,
situasinya dimanfaatkan oleh perwira yang ingin menyingkirkan saya.

Apa betul AS berkepentingan agar Anda dipecat?

Tidak tahu. Tapi Cohen (Menhan AS William Cohen, Red.) kan ketemu
saya juga.

Perintahnya menyelidiki kok bisa kepeleset menculik. Bagaimana itu?

Ya. Tapi dalam operasi intelijen itu kan biasanya kita ambil,
ditanyai, dan kalau bisa terus dia berkerja untuk kita. Kan begitu
prosedurnya. Sudahlah, itu kesalahan teknis, yang kemudian
dipolitisasi. Dan memang waktu itu saya harus dihabisi. Dulu Jenderal
Soemitro dituduh terlibat Malari, mau menyaingi Pak Harto. Pak H.R.
Dharsono dituduh terlibat kasus Tanjung Priok. Itu politik. Yang
kemudian naik orang yang nggak bisa apa-apa, nggak pernah bikin
inisiatif dan karenanya tidak pernah bikin salah. Lihat Prancis, itu
kan negara yang menjunjung tinggi hak sasai manusia. Tapi, dia
ledakkan kapal Greenpeace yang mau masuk ke perairan nasionalnya.
Kalau sudah kepentingan nasional dia ledakkan itu.

Anda kan lama di luar negeri, besar di negara yang liberal, dan
menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kok Anda tetap mentolerir gaya
penangkapan atau penculikan itu? Bukankah itu menjadi sorotan dunia
internasional terhadap penegakan HAM di Indonesia?


Benar. Begini, secara moral, saya tidak salah karena orang-orang itu
berniat berbuat kejahatan yang bertentangan dengan hak-hak asasi
manusia. Menurut saya membuat aksi pengeboman, membakar terminal,
untuk mengorbankan orang-orang tidak berdosa. Mereka justru
membahayakan hak asasi manusia orang lain. Tidak bisa dong. Kalau
you berbeda dalam politik, you bertempur lewat partai politik. Jangan
bikin aksi teror.

Informasi soal rencana pengeboman itu didapat dari interogasi, bukan
kita ngarang. Dapat keterangan dari mereka. Anda dengar ancaman bom
tiap minggu. Seluruh bank tutup, BI tutup. Korban kepada bangsa
bagaimana. Itu aksi destabilisasi. Jadi, jangan salah, untuk
menegakkan demokrasi, kita justru harus menjaga keamanan. Tidak bisa
demokrasi tanpa keamanan. Itu duty kita, panggilan kita. Tapi,
lawan-lawan saya lebih kuat. Punya media massa, punya kemampuan untuk
perang psikologi massa.

Kok Anda dulu tidak segera membantah kalau memang merasa tidak
bersalah?


Hashim memang menyuruh saya. Kamu harus jawab dong. Saya malas juga.
Saya kan tidak berbuat. Saya percaya kebenaran akan muncul. Hashim
bilang, "Tidak bisa dong kalau kamu diam berarti kamu mengakui itu
benar." Memang ada teori itu. Teori pengulangan kebohongan. Kalau
diulang-ulang terus, orang jadi percaya. Itu teori yang digunakan
Hitler kepada rakyat Jerman.

Anda tidak mau nuntut soal pemecatan itu karena tidak ingin
mempermalukan Pak Harto?


Benar, terutama itu. Juga tak ingin mencemari institusi ABRI,
khususnya TNI AD. Bagaimanapun juga Pak Harto jenderal bintang lima.
Ini kan tidak baik dalam iklim dan budaya bangsa Indonesia. Apa pun
yang terjadi. Ada masalah dilematis, bagaimanapun dia kakek dari anak
saya. Itu yang dilematis. Walaupun dia kemudian membenci saya. 

Dalam pemeriksaan di TGPF, ada kesan kegiatan Anda pada 13 Mei 1998 tidak diketahui. Muncul kecurigaan, Anda sedang apa saat itu? Apa sih yang Anda lakukan hari itu?

Saya mulai dari 12 Mei 1998. Malam itu, pukul 20.00 wib, ketika di
rumah Jl. Cendana No. 7, saya ditelepon Sjafrie (pangdam Jaya saat
itu, Mayjen TNI Sjafrie Sjamsoeddin). Kata dia, "Gawat nih Wo, ada
mahasiswa yang tewas tertembak." Saya lalu bergegas ke Makostrad. Saya
sudah antisipasi, besok pasti ramai. Maka pasukan saya konsolidasi.
Kalau perlu tambahan pasukan kan mesti disiapkan tempatnya. Mau
ditaruh di mana mereka. Malam itu saya terus memantau situasi. Lalu,
terpikir oleh saya, kelanjutan rencana acara Kostrad di Malang pada 14
Mei 1998. Rencananya inspektur upacara adalah Pangab Wiranto.
Pangkostrad juga harus hadir. Kalau ibu kota genting, apa kita masih
pergi juga?

Keesokan harinya, sejak pukul 08.00 wib, saya mengontak Kol. Nur Muis
dan menyampaikan usulan agar acara di Malang ditunda. Atau, kehadiran
pangab dibatalkan saja karena situasi ibu kota genting. Biar saya
saja yang berangkat. Jawaban dari Pak Wiranto yang disampaikan lewat
Kol. Nur Muis, acara tetap berlangsung sesuai rencana. Irup tetap Pak
Wiranto dan saya selaku pangkostrad tetap hadir. Beberapa opsi usulan
saya tawarkan kepada Pak Wiranto, yang intinya agar tidak meninggalkan
ibu kota, karena keadaan sedang gawat. Posisi terpenting yang harus
diamankan adalah ibu kota. Tapi, sampai sekitar delapan kali saya
telepon, keputusan tetap sama. Itu terjadi sampai malam hari.

Jadi, pada 14 Mei, pukul 06.00 wib kita sudah berada di lapangan Halim
Perdanakusumah. Saya kaget juga. Panglima utama ada di sana. Danjen
Kopassus segala ikut. Saya membatin, sedang genting begini kok seluruh
panglima, termasuk panglima ABRI malah pergi ke Malang. Padahal,
komandan batalion sekalipun sudah diminta membuat perkiraan cepat,
perkiraan operasi, begini, lantas bagaimana setelahnya. Tapi, ya
sudah, saya patuh saja pada perintah. Saya ikut ke Malang.

Kembali ke Jakarta sekitar pukul 11.00 wib. Ketika hendak mendarat di
Halim, ibu kota terlihat diselimuti asap hitam. Selanjutnya, seperti
telah ditulis di berbagai media massa, saya membantu mengingatkan
Sjafrie perlunya mengamankan ibu kota lewat patroli dengan panser di
sepanjang Jl. Thamrin. Malam harinya, saya bertemu dengan sejumlah
orang di Makostrad. Itu yang kemudian dituduh mau merencanakan
kerusuhan. Padahal, di tengah jalan sore itu saya ditelepon, karena
Setiawan Djodi dan Bang Buyung Nasution ingin bertemu. Ternyata sudah
ada beberapa orang di kantor saya, ada Fahmi Idris, Bambang
Widjojanto, dan beberapa orang lain. Itu pertemuan terbuka,
membicarakan situasi yang terakhir. Bang Buyung dominan sekali malam
itu. Dia banyak bicara. Acara ditutup makan malam dan kemudian kami
ada rapat staf di Mabes.

Kalau kemudian surat Muladi mengatakan saya bersalah karena gagal
menjaga keselamatan negara sehingga menimbulkan kerusuhan 13-14 Mei,
bagaimana ceritanya. Pangkoops, selaku penanggung jawab keamanan ibu kota adalah Pangdam Sjafrie? Mestinya iya. Penanggung jawab yang lebih tinggi ya panglima ABRI.

Dalam pemeriksaan di TGPF, mantan Ka BIA Zacky Makarim, konon
mengatakan bahwa sebulan sebelum peristiwa Trisakti, ada perkiraan
situasi intelijen versi Anda, yang mengatakan, eskalasi meningkat dan
dikhawatirkan akan ada martir di kalangan mahasiswa. Bagaimana Anda sampai pada kesimpulan itu?


Situasinya memang demikian. Aksi mahasiswa kan bukan cuma di Jakarta,
melainkan meluas ke daerah. Di Yogyakarta, aksi mahasiswa malah sempat
bentrok. Berdasarkan analisis situasi, saya mengingatkan kemungkinan
adanya eskalasi yang memanas dan kalau aksi mahasiswa meluas, bukan
tidak mungkin jatuh korban atau ada pihak-pihak yang ingin ada korban
di pihak mahasiswa. Itu saya ingatkan.

Tapi, justru Anda dituduh bertanggung jawab atas penembakan mahasiswa Trisakti?

Iyalah. Saya ini selalu dituduh. Apa untungnya bagi saya membuat
jatuh korban? Saat itu kan presidennya Pak Harto. Mertua saya. Saya
bagian dari status quo itu. Kan begitu tuduhannya. Masak saya
membuat situasi agar Pak Harto jatuh. Pak Harto jatuh kan saya jatuh
juga. Sejarah kan begitu kejadiannya.

Mungkin Anda ingin menunjukkan bahwa Wiranto tidak kapabel mengamankan Jakarta?

Tidak ada alasan juga. Motifnya tidak ada.

Bukankah Anda pernah disebut-sebut minta jabatan pangab dan katanya dijanjikan Habibie untuk jadi pangab?

Lebih dari tiga kali Habibie mengatakan kepada saya. "Bowo, kalau
saya jadi presiden, you pangab." Itu faktanya. Habibie bahkan
mengatakan saya ini sudah dianggap anak ketiganya. Saya memang dekat
dengan Habibie, karena saya mengagumi kepandaiannya, visinya.
Meskipun sekarang saya kecewa karena dia menuduh saya berbuat sesuatu
yang bohong. Saya merasa dikhianati. Bahwa saya ingin jadi pangab,
apakah itu salah. Setiap prajurit, tentara, tentu bercita-cita
menjadi pangab. Why not? Saya tidak pernah menyembunyikan itu. Bahwa
kemudian dipolitisasi, seolah-olah pada saat genting, saat pergantian
kepemimpinan 21 Mei 1998 itu, saya minta jadi pangab, silakan saja.
Tapi, saya tak pernah minta jadi pangab kepada Habibie.

Benar tidak Anda pernah didesak jadi pangab sekitar 19-20 Mei itu?

Ada yang mendesak. Bahkan ada yang mengusulkan agar saya mengambil
alih situasi. Saya tolak. Saya orang yang konstitusional. Wapres
masih ada dan sehat. Menhankam/Pangab masih ada. Tidak ada alasan
untuk mengambil alih. Kalau saya melakukan kudeta, setelah itu mau
apa? Inkonstitusional, tidak demokratis, dan lebih berat lagi, secara
psikologis saya ini kan terkait dengan keluarga Pak Harto. Kalau Pak
Harto sudah menyerahkan ke Habibie, masak saya mau kudeta? Di luar itu
semua, yang terpenting, saya berasal dari keturunan keluarga pejuang.
Anda tahu paman saya gugur sebagai pahlawan muda. Kakek saya pejuang.
Moyang saya, selalu berjuang melawan penjajah kolonial Belanda.
Bagaimana mungkin saya menodai garis keturunan yang begitu saya
banggakan, dengan berpikir mengambil alih kekuasaan secara
inkonstitusional.

Ketika Habibie mengatakan Anda datang menemui Habibie pada 22 Mei
1998, benarkah Anda membawa senjata dan pasukan sehingga Habibie
merasa terancam?


Senjata saya tanggalkan di depan pintu. Jangankan menghadap presiden,
wong menghadap komandan kompi saja senjata harus dicopot. Bohong
besar berita yang mengatakan saya hendak mengancam Habibie.

Jujur saja, kalau memang saya ingin, bisa saja. Jangan meremehkan
pasukan Kopassus, tempat saya dibesarkan. Ingat, Pak Sarwo Edhi
(almarhum) hanya butuh dua kompi untuk mengatasi situasi saat
G-30-S/PKI. Dan anak buah saya memang ada yang sakit hati saya
diberhentikan seperti itu. Pataka komando hendak diambil begitu saja
tanpa sepengetahuan saya. Saya datang ke Habibie karena sebelumnya
dia selalu berkata. "Bowo, kalau ada keragu-raguan, jangan
segan-segan menemui saya." Itulah yang saya lakukan. Menemui Habibie
untuk bertanya apakah betul dia ingin mengganti saya dari jabatan
pangkostrad. Habibie bilang turuti saja perintah atasan. Ini kemauan
ayah mertua kamu juga. Jadi, Pak Harto memang minta saya diganti.

Soal anggapan bahwa para jenderal ingin menyingkirkan Anda, apakah ini disebabkan oleh sikap Anda sebelumnya yang disebut arogan, karena dekat dengan pusat kekuasaan?

Saya akui, itu ciri khas. Dan itu jadi senjata buat yang ingin
menjatuhkan. Tapi kita lihat kepemimpinan itu dari output. Bisa
tidak meraih prestasi kalau prajuritnya tak semangat. Semangat itu
tidak bisa dibeli dengan uang. Kadang-kadang mereka mau mati karena
bendera. Kain itu harganya berapa? Tentara Romawi mati-matian demi
bendera. Itu kan kebanggaan. Bagaimana? Saya ciptakan teriakan,
berapa harganya? Saya dapatkan dari gaya suku dayak. Teriakan panjang
itu bisa membangkitkan semangat, mengurangi ketakutan, dan menakutkan
musuh. Pakai duit berapa? Tapi hal-hal ini tidak populer di mata the
salon officer. Apa nih Prabowo pakai nyanyi-nyanyi segala. Pakai
bendera, pakai teriakan. Kenapa orang fanatik membela sepakbola,
sampai membakar, ini psikologi massa. Masa kita mau mati karena uang?
Buat apa uangnya kalau kita harus mati.

Sebagai menantu presiden saat itu, tentu Anda lebih mudah naik pangkat dibanding yang lain. Ini bikin cemburu juga kan?

Ya, tapi akses kepada penguasa politik. Itu wajar. Jenderal Colin
Powell, peringkat ke berapa dia bisa jadi pangab AS. Dia bekas
sekretaris militer Bush waktu jadi wakil presiden. Jadi, waktu Bush
jadi presiden, dia jadi pangab. Bahwa saya punya akses kepada penguasa
politik, saya sependapat. Tapi kan bukan hanya saya. Pak Wiranto kan
dari ajudan presiden. Langsung kasdam, langsung pangdam, langsung
pangkostrad. Itu kan tuduhan saja kepada saya. Coba dilihat berapa
kali saya VC (kontak senjata langsung di medan operasi), berapa kali
bertugas di daerah operasi, berapa kali tim saya di Kopassus merebut
kejuaraan, berapa kali operasi militer saya selesaikan, apa yang saya
buat di Mount Everest itu kan mengangkat bangsa. Berapa saya melatih
prajurit komando dari beberapa negara. Itu kan tidak dilihat. Yang
dicari cuma daftar dosa saya. Ya memang kalau you dalam keadaan kalah
politik, segala dosa bisa ditemukan. Dia keluar negeri nggak izin, dia
ini, dia itu. Semua bisa ketemu. Kalau menang? Itu kan politik. (jj/habis)


latestnews

View Full Version