JAKARTA (voa-islam.com) - Begitu benci, marah, dan penuh prasangka Romo Franz Magnis Suseno terhadap Amin Rais, FPI, Gerindra, dan Ormas Islam yang mengangkat Prabowo sebagai penglima perang Islam, di Yogyakarta. Bahkan, kebencian Romo Maagnis itu juga diarahkan kepada Prabowo.
Magnis secara telanjang mengekspresikan kebencian dan permusuhan terhadap semua pendukung Prabowo, khususnya kalangan Muslim, dan Partai-partai Islam, mirip seperti Wimar Witoelar atau Butet Kertajaya.
Mengapa sikap kebencian itu harus diekskpresikan dengan penuh amarah? Bukankah rakyat Indonesia sudah pernah dijajah, diperbudak, dan dibunuhi oleh penjajah yang sebangsa dengan Romo Franz Magnis, selama 350 tahun?
Berapa banyak bangsa Indonesia yang mati, saat membangun jalan dari Anyer ke Panarukan? Mereka harus mati dengan kelaparan, saat membangun jalan demi kepentingan ekonomi penjajah Eropa? Sampai sekarang mereka masih menjajah Republik. Masihkan semua itu dipandang belum cukup oleh Romo?
Barat tetap menjajah, memperbudak, dan menghisap darah bangsa Indonesia. Mengapa Romo Franz harus marah kepada umat Islam? Termasuk peristiwa Westerling di Makassar? Muslim seluruh dunia ingin bebas dari penjajahan dan perbudakan Barat dan Eropa. Itulah yang harus dipahami oleh Romo Magnis?
Mengapa Romo Franz Magnis, mengeluarkan ancaman, kalau Jokowi kalah akan terjadi 'chaos'? Romo tidak ingin Jokowi yang sudah menjadi 'nabinya' para Salibis ini kalah. Jokowi seakan menjadi 'Jesus' alias juru selamat bagi golongan Salibis alias Nasrani.
Kekawatiran itulah, kemudian Romo Franz Magnis Suseno mengirimkan suratnya yang ditujukan kepada Prabowo Subianto, dan sejumlah tokoh lainnya. Inilah isi surat Romo Franz Magnis :
Saudara-saudari,
Pertama, saya mohon maaf kalau kiriman ini yang jelas berpihak, tidak berkenan, apalagi di masa puasa. Namun beberapa hari sebelum pilpres saya merasa terdorong sharing kekhawatiran saya.
Saya mau menjelaskan dengan terus terang mengapa saya tidak mungkin memberi suara saya kepada Bapak Prabowo Subiyanto. Masalah saya bukan dalam program Prabowo. Saya tidak meragukan bahwa Pak Prabowo, sama seperti Pak Joko Widodo, mau menyelamatkan bangsa Indonesia. Saya tidak meragukan bahwa ia mau mendasarkan diri pada Pancasila. Saya tidak menuduh Beliau antipluralis. Saya tidak meragukan iktikat baik Prabowo sendiri.
Yang bikin saya khawatir adalah lingkungannya. Kok Prabowo sekarang sepertinya menjadi tumpuan pihak Islam garis keras. Seakan-akan apa yang sampai sekarang tidak berhasil mereka peroleh mereka harapkan bisa berhasil diperoleh andaikata saja Prabowo menjadi presiden? Adalah Amien Rais yang membuat jelas yang dirasakan oleh garis keras itu: Ia secara eksplisit menempatkan kontes Prabowo – Jokowi dalam konteks perang Badar, yang tak lain adalah perang suci Nabi Muhammad melawan kafir dari Makkah yang menyerang ke Madinah mau menghancurkan umat Islam yang masih kecil! Itulah bukan slip of the tongue Amien Rais, memang itulah bagaimana mereka melihat pemilihan presiden mendatang.
Mereka melihat Prabowo sebagai panglima dalam perang melawan kafir. Entah Prabowo sendiri menghendakinya atau tidak. Dilaporkan ada masjid-masjid di mana dikhotbahkan bahwa coblos Jokowi adalah haram. Bukan hanya PKS dan PPP yang merangkul Prabowo, FPI saja merangkul.
Mengapa? Saya bertanya: Kalau Prabowo nanti menjadi presiden karena dukungan pihak-pihak garis keras itu: Bukankah akan tiba pay-back-time, bukankah akan tiba saatnya di mana ia harus bayar kembali hutang itu? Bukankah rangkulan itu berarti bahwa Prabowo sudah tersandera oleh kelompok-kelompok garis keras itu?
Lalu kalimat gawat dalam Manifesto Perjuangan Gerindra: "Negara dituntut untuk menjamin kemurnian ajaran agama yang diakui dari segala bentuk penistaan dan penyelewengan dari ajaran agama". Kalimat itu jelas pertentangan dengan Pancasila karena membenarkan penindasan terhadap Achmadiyah, kaum Syia, Taman Eden dan kelompok-kelompok kepercayaan.
Sesudah diprotes Dr. Andreas Yewangoe, Ketua PGI, Pak Hashim, adik Prabowo, sowan pada Pak Yewangoe dan mengaku bahwa kalimat itu memang keliru, bahwa Prabowo 2009 sudah mengatakan harus diperbaiki dan sekarang sudah dihilangkan. Akan tetapi sampai tanggal 25 Juni lalu kalimat itu tetap ada di Manifesto itu di website resmi Gerindra. Bukankah itu berarti bahwa Hashim tidak punya pengaruh nyata atas Gerindra maupun Prabowo?
Terus terang, saya merasa ngeri kalau negara kita dikuasai oleh orang yang begitu semangat dirangkul dan diharapkan oleh, serta berhutang budi kepada, kelompok-kelompok ekstremis yang sekarang saja sudah semakin menakutkan.
Lagi pula, sekarang para mantan yang mau membuka aib Prabowo dikritik. Tetapi yang perlu dikritik adalah bahwa kok baru saja sekarang orang bicara. Bukankah kita berhak mengetahui latar belakang para calon pemimpin kita?
Prabowo sendiri tak pernah menyangkal bahwa penculikan dan penyiksaan sembilan aktivis yang kemudian muncul kembali, yang menjadi alasan ia diberhentikan dari militer, memang tanggungjawabnya. Prabowo itu melakukannya atas inisiatifnya sendiri.
Saya bertanya: Apa kita betul-betul mau menyerahkan negara ini ke tangan orang yang kalau ia menganggapnya perlu, tak ragu melanggar hak asasi orang-orang yang dianggapnya berbahaya? Apa jaminan bahwa Prabowo akan taat undang-undang dasar dan undang-undang kalau dulu ia merasa tak terikat oleh ketaatan di militer?
Aneh juga, Gerindra menganggap bicara tentang hak-hak asasi manusia sebagai barang usang. Padahal sesudah reformasi hak-hak asasi manusia justru diakarkan ke dalam undang-undang dasar kitab agar kita tidak kembali ke masa di mana orang dapat dibunuh begitu saja, ditangkap dan ditahan tanpa proses hukum.
Jakarta, 25 Juni 2014
Franz Magnis-Suseno SJ