JAKARTA (voa-islam.com) - Benar-benar seperti theori Niccolo Machiavelli yang sangat terkenal, di mana dalam rangka mencapai tujuan kekuasaan menghalalkan segala cara. Barangkali ini yang dijalankan oleh orang-orang yang berada di belakang Jokowi.
Pertama, di mulai dengan politik pencintraan tentang Jokowi, sebagai tokoh yang jujur, sederhana, dan merakyat. Tujuannya mendekatkan calon pemimpin dengan rakyat, yang mayoritas miskin, dan masih terbelakang.
Dengan jargon ‘jujur, sederhana, dan merakyat’ itu, kemudian menjadi antitesa dari lawannya Prabowo. Pencintraan ini dilakukan secara massif oleh ribuan jaringan media sosial, telivisi, dan media cetak. Sehingga, terpateri di pikiran, hati, dan bahkan menjadi keyakinan, bahwa Jokowi itu, tokoh yang jujur, sederhana, dan merakyat.
Kedua, sebaliknya dengan kampanye yang masif pula, tokoh yang menjadi antitesa Jokowi itu, yaitu Prabowo, terus di ‘bulli’, dan secara sistematis dihancurkan. Dengan kasus-kasus yang sengaja dihembuskan, melakukan kejahatan pelanggaran HAM, penculikan terhadap aktivis kiri, dipecat dari dinas militer, soal keluarga, sampai para pendukungnya para partai yang korup. Ini dibahas di media sosial, telivisi (METRO TV), media cetak, tanpa henti.
Semuanya tujuannya menghancurkan pribadi Prabowo. Sehingga, rakyat menjadi sangat anti pati, dan kemudian rakyat membuat kesimpulan Prabowo tidak layak dipilih.
Ketiga, membuat lembaga-lembaga survei atau eksit poll, dan digunakan sebelum pemilu legislatif maupun pemilihan presiden. Dengan secara konsisten menempatkan Jokowi-JK selalu menang atas Prabowo. Jauh sebelum pemilihan presiden dikeluarkan hasil survei yang menempatkan posisi Jokowi selalu diatas. Dibanding Prabowo.
Rata-rata hasil survei dari lembaga-lembaga yang ada menempatkan Jokowi dengang dukungan diatas 50 persen suara. Dengan hasil survei ini, membuat legitimasi menjadi kuat, dan memang didukung oleh rakyat. Sehingga, jika angka hasil pemilihan presiden, tidak sesuai dengan hasil survei lembaga-lembaga itu, kemudian di ‘judge’ melakukan kecurangan.
Keempat, dalam dunia militer atau intelijen, sejatinya dikenal dengan istilah ‘pre-emptive’, menyerang lebih dahulu lawan, sebelum lawan menyerang. Itulah yang dipraktikan oleh Mega, Jokowi,dan PDIP. Di mana saat penghitungan baru 70 persen, secara dini, Mega sudah menyelenggarakan konferensi pers, dan dihadiri oleh Jokowi dan JK, dan mengumumkan kemenangan.
Seakan-akan yakin akan kemenangan Jokowi-JK, dan klaim itu tentu tujuannya membuat opini, bahwa Jokowi-JK, sebagai pemenang pilpres 2014. Berdasar hasil quick count lembaga-lembaga yang menjadi perpanjangan tangan dari PDIP ini.
Kelima : Teror, menciptakan kekacauan, sampai desintegrasi nasional. Seperti tokoh Katolik Franz Magnis Suseno dan Kompas, sebelumnya sudah mengancam, jika Jokowi kalah, maka akan terjadi kekacauan (chaos), sehingga aparat militer dan polisi dikerahkan guna mengamankan pilpres.
Jika pasca pengumuman KPU, tanggal 22 Juli, tentang hasil pilpres yang sangat menentukan dan tidak menguntungkan Jokowi, apakah fihak yang kalah bisa menerima keputusan KPU? Disinilah akan terjadi kekacauan. Bukan hanya mengajukan gugatan kepada MK (Mahkamah Konstitusi), tetapi akan terjadi pergerakan massa, melakukan tekanan yang hebat.
Jika Jokowi-kalah berdasarkan keputusan KPU, dan tidak menerimanya, hanya menjadi jalan menuju kekacauan politik, karena memang sudah diskenariokan. Mega, Jokowi, PDIP, sudah menjadi sandera kepentingan para pendukung ‘dibelakangnya’ (Asing dan A Seng), yang memang Jokowi ‘harus’ mengambil alih kekuasaan dan jabatan presiden. Tidak ada yang lain. Bahkan, mungkin sampai pada tingkat mengancam terjadinya des-integrasi nasional. Wallahu’alam.
#Pemilu2014