JAKARTA (voa-islam.com) - Bagaimana masa depan politik dan demokrasi di Indonesia? Bagaimana dampak pasca keputusan Mahkamah Konstitusi nanti? Apakah polarisasi politik kubu Jokowi-JK dan Prabowo-Hatta terus berlangsung? Atau mungkin dua kubu yang sudah terpolarisasi itu mencair? Masing-masing partai politik akan mencari patron baru? Demi mengejar kekuasaan?
Sejatinya, pilpres 2014 ini, mempunyai nilai-nilai positif, dan akan memperkuat kelembagaan sistem demokrasi, jika dikelola dengan baik. Sebab, bukan hanya partai-partai politik yang terpolarisasi, tetapi masyarakat dan rakyat terpolarisasi dengan sangat jelas. Dengan polarisasi yang sangat tajam, tidak mudah dikalangan masyarakat dan rakyat melakukan rekonsiliasi. Masyarakat sudah terbelah antara para pendukung Jokowi dengan Prabowo.
Masyarakat dan rakyat sudah terpolarisasi terbelah dalam kubu ‘merah’ dan kubu ‘hijau’. Pendukung Jokowi, kelompok merah, mulai dari komunis, sosialis, Islam ‘abangan’, Islam liberal, kristen-katolik, dan kepentingan asing dan cina. Ini bisa dilihat kantong-kantong Cina semuanya mendukung Jokowi. Usai pengumuman Jokowi, langsung sejumlah pemimpin Barat mengucapkan selamat kepada Jokowi. Semua bermuara kepada Jokowi tidak kepada Prabowo.
Sementara, kubu Prabowo, kalangan Islam santri, Islam terdidik, kelompok-kelompok nasionalis, dan kalangan profesional. Prabowo tidak didukung oleh asing, dan kalangan konglomerat Cina, yang sudah alergi terhadap Prabowo. Ini bisa dilihat dari peta penyebaran pendukung Jokowi dan Prabowo.
Jokowi mendapat dukungan kalangan Islam abangan di Jawa, terutama Jawa Tengah, yang menjadi ‘stronghold’, kekuatan Jokowi. Sementara kubu Prabowo mendapat dukungan di Jawa Barat, di mana dalam pemilu 1955, di menangkan oleh Partai Masyumi.
Pilpres 2014 ini, mirip dengan pemilu 1955. Di mana polarisasi sangat nampak jelas. Garis antara kalangan ‘merah’ dengan kalangan ‘hijau’. Masing-masing partai dan pendukung ‘merah’ dan pendukung ‘hijau’ tidak ada yang mencapai mayoritas. PNI, PKI, Sosialis, Kristen-Katolik, dan partai-partai kecil lainnya, dikelompokkan dalam parlemen tidak mencapai mayoritas, tidak sampai mencapai melebihi 50 peren.
Sementara itu, Partai Masyumi, Partai NU, Partai Syarikat Islam, dan partai-partai kecil lainnya, juga sama tidak mencapai 50 persen. Polarisasi ini semakin menjadi jelas, ketika menentukan tentang dasar negara.
Partai PNI, PKI, Sosialis, Kristen-Katolik, dan partai-partai kecil lainnya mendukung Pancasila sebagai dasar negara. Sedangkan Partai Masyumi, Partai NU, Partai Syarikat Islam dan partai-partai kecil lainnya mendukung Islam sebagai negara, meskipun gagal, akibat dekrit yang dikeluar oleh Presiden Soekarno, tahun l959, dan kembali ke UUD ’45.
Apakah deklarasi koallisi ‘permanen’ yang terdiri dari Golkar, Gerindra, PKS, PPP, PAN, PBB ini, bisa dipertahankan? Tetap menjaga polarisasi ini dengan komitmen yang jelas, terutama memperjuangkan kepentingan negara dan bangsa sesuai dengan visi-misi mereka? Jika komitmen ini dipertahankan akan memberikan sumbangan berharga bagi masa depan kehidupan negara dan bangsa.
Menghidupkan sistem ‘check and balance’. Koalisi partai-partai yang kalah menjadi ‘balancing’ terhadap partai dan pemerintahan yang berkuasa, dan memberikan alternatif dan konsep perbaikan terhadap negara dan bangsa.
Jika perlu koalisi partai yang kalah membentuk kabinet ‘bayangan’ sama dengan kabinet pemerintahan yang berkuasa, dan menjadi pengimbang atau melakukan kontrol, dan memberikan alternatif, solusi, dan bahkan menolak terhadap kebijakan partai dan pemerintahan yang berkuasa. Bila ini bisa dijalankan secara konsisten selama lima tahun ke depan, sampai tahun 2019, maka ini akan memiliki nilai yang positif.
Dengan polarisasi antara kubu Jokowi dan Prabowo, dan polarisasi itu, kalau dilihat bukan hanya semata polarisasi politik, tapi sudah pada tahap polarisasi ideologi. Sangat nampak jelas kubu Prabowo yang menawarkan hal-hal yang sangat prinsip dan mendasar tentang pengelolaan negara, terutama sikap nasionalisme yang tulus dari Prabowo, dan belum pernah dikemukakan oleh tokoh lainnya. Prabowo dengan sangat jelas ingin mengakhiri dominasi ‘asing’ atas kekayaan dan asset negara.
Ini harus menjadi komitmen perjuangan dari kelompok koalisi ‘Merah Putih’, dan ini lebih berharga bagi masa depan Indonesia. Dibanding dengan mendekati kekuatan yang berkuasa, dan menjadi bagian dari kekuasaan baru. Ini tidak akan pernah ada perbaikan apapun bagi masa depan Indonesia. Harus ada kekuatan politik yang terkonsilidasi secara politik dan ideologi, dan menjadi antitesa dari kekuatan politik yang berkuasa.
Sehingga, tidak ada satupun kekuasaan yang bebas, melaksanakan apapun yang tidak dikontrol, dan tanpa alternatif. Rakyatpun akan bisa menilai perjuangan dari kelompok partai-partai yang ada di panggung politik Indonesia.
Di Malaysia, UMNO yang merupakan pilar dalam ‘BARISAN NASIONAL’ dan berkuasa, bersama dengan golongan Cina dan India, mendapatkan kontrol dari kelompok ‘OPOSISI’, yang terdiri dari Partai PAS, Partai Keadilan Rakyat, dan partai Cina dan India, menggalang kekuatan oposisi, dan Anwar Ibrahim menjadi pemimpin oposisi.
Pemerintahan ‘BARISAN NASIONAL’ yang dipimpin Tengku Najib Razak, dikontrol oleh barisan ‘OPOSISI’ yang dipimpin oleh Anwar Ibrahim. Sehingga, kehidupan politik di Malaysia relatif lebih sehat.
Di Inggris partai politik juga terbelah, antara Partai Konservatif dengan Partai Buruh. Sekarang yang berkuasa Partai Konservatif yang dipimpin oleh David Cameron. Kelompok Partai Buruh menjadi kekuatan oposisi. Ini berlangsung sepanjang waktu. Di Inggris, politik dan demokrasi sudah mapan. Kekuatan-kekuatan politik berlomba dengan menawarkan visi, dan kebijakan-kebijakan yang sangat jelas antara masing-masing kubu.
Jika kubu koalisi ‘Merah Putih’ gagal memenangkan gugatan di MK, tetap mempunyai nilai positif dengan tidak menjadi oportunis. Dengan mengkonsolidasikan kekuatan politik yang ada, mempertajam visinya, membentuk kekuatan ‘OPOSISI’ di parlemen, maupun diluar pemerintahan, dan ini tetap berharga. Sembari terus memberikan pendidikan politik kepada publik secara luas.
Kerja-kerja politik tidak hanya bersifat musiman lima tahun sekali, tetapi sepanjang tahun, dan melakukan tranformasi terhadap kehidupan masyarakat secara konsisten. Melakukan sosialisasi tentang visi-misi dari Prabowo-Hatta kepada masyarakat luas. Mendidik masyarakat secara luas, agar tidak jumud terhadap politik, dan membebaskan mereka dari buta politik.
Sebaliknya, jika menang gugatan di MK, kubu 'Merah Putih', maka akan dituntut merealisasikan visi-misi dalam bentuk kebijakan yang konkrit, dan benar-benar bisa dirasakan perubahan bagi kehidpun masyarakat.
Kekalahan di MK bukan berarti segalanya berakhir. Kemenangan di MK bukan berarti itu, pesta-pora, tetapi justru akan menuntut tanggung jawab yang lebih berat, karena akan melaksanakan misi politik, bagaimana bisa menjadikan bangsa Indonesia yang lebih bermartabat, berharga, bernilai dalam kehidupan, dan dalam pergaulan diantara bangsa-bangsa di dunia.
Sebaliknya, kita tidak ingin menjadi 'budak' bangsa asing. Indonesia sudah terlalu lama diperbudak oleh bangsa asing. Perlu jenis pemimpin baru yang bisa membela kepentingan bangsa, negara, dan menyelamatkan hari depan rakyat. Masih ada waktu memperjuangkan cita-cita yang tertunda. Tidak berhenti dengan keputus MK. Wallahu’alam. *mashadi