JAKARTA (voa-islam.com) - Sekarang media ‘mainstream’, seperti Kompas, Tempo, dan Metro TV, ramai-ramai menggebuk ‘6 Fraksi’ yaitu, Golkar, Gerindra, Demokrat, PKS, PAN dan PPP, yang menginginkan pemilihan gubernur, bupati, dan walikota melalui DPRD.
Media ‘mainstream’ itu, begitu gigih, berusaha menggagalkan agar gagasan dan rencana enam fraksi itu tidak menjadi keputusan DPR. Maka, media ‘mainstream’ itu dengan berbagai cara membangun opini. Melakukan pressure ‘tekanan’ kepada pemerintah SBY agar membatalkan rencana yang dijalankan oleh ‘6 Fraksi’ itu.
Seperti media Kompas, membuat ‘headline’ dengan judul ‘6 Fraksi Tentang Suara Rakyat’ (10/9/2014). Dikatakan oleh Kompas, ‘Sikap politik keenam fraksi ini bertentangan dengan keinginan mayoritas rakyat’. Artinya, seakan dengan sikap ‘6 Fraksi’ itu, sebagai kejahatan dan melakukan pengkhianatan terhadap rakyat.
Tentu, agar kelihatan valid dan terkesan ilmiah harus dibumbui dengan bumbu hasil survei. Maka, harian Kompas mengangkat hasil survei yang menegaskan bahwa 81,25 persen publik menyetujui kepala daerah harus tetap dipilih secara langsung oleh rakyat.
Jadi, jika ‘6 Fraksi’ itu, mengubah pola pemilihan kepala daerah melalui DPRD, benar-benar bertentangan dengan aspirasi rakyat. Begitu cara Kompas membuat opini, seakan pemilihan langsung itu benar-benar menjadi aspirasi rakyat.
Penolakan terhadap pemilihan kepala daerah gubernur, bupati, walikota melalui DPRD terus dikumandangkan oleh media ‘mainstream’ kepada publik. Media ‘mainstreams’ itu, berusaha melakukan penolakan terhadap rencana ’6 Fraksi’ menjadi sebuah gerakan politik nasional.
Termasuk memblowup adanya sejumlah bupati dan walikota yang mengundurkan diri dari partai politik, karena menganggap tindakan ‘6 Fraksi’ sebagai pengkhianatan terhadap rakyat.
Katakanlah seperti Ahok dan Ridwan Kamil, mendapatkan ‘covered’ (liputan) media ‘maintreams’. Dengan begitu luar biasa. Seakan Ahok dan Ridwan Kamil itu, sebagai pahlawan. Karena keduanya berani keluar dari partainya, menentang pemilihan kepala daerah melalui DPRD.
Sebelumnya, harian Kompas juga membuat ‘headline’ dengan judul ‘SBY Diminta Jaga Demokrasi’ (8/9/2014). Dalam tulisannya itu, ‘Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta sekaligus untuk menyelamatkan demokrasi yang dalam sepuluh tahun terakhir ini sudah maju. Keperbihakan Yudhoyono di penghujung pemerintahannya ini dirasa perlu terkait dengan pembahasan Undang-undang Pemelihan Daerah”, tulis Kompas.
Media ‘mainstream’ terus membuat dan membangun opini dengan melakukan wawancara fihak-fihak yang mendukung pemilihan langsung. Melalui harian Kompas, TV Kompas, Metro TV, Media Indonesia, Tempo, dan sejumlah media lainnya, terus digalang usaha menggagalkan pola perubahan pemilihan kepala daerah.
Siapa Diuntungkan Dengan Pemilihan Langsung?
Mengapa media-media ‘mainstream’ itu begitu luar biasanya memperjuangkan agar pemilihan kepala daerah seperti gubernur, bupati, dan walikota dipilih langsung oleh rakyat? Karena, media 'mainstream' sudah menjadi perpanjangan tangan kepentingan 'Asing dan A Seng'. Mereka pasti akan memperjuangkan kepentingan 'Asing dan A Seng', dan pemilihan kepala daerah langsung oleh rakyat.
Bisa dipastikan di era otonomi daerah ini yang paling diuntungkan hanyalah ‘Asing dan A Seng’. Dengan pemilihan langsung itu, akhirnya Indonesia akan menjadi tanah jajahan dan dikuasai oleh ‘Asing dan A Seng’. Kaum pribumi hanya akan menjadi budak ‘Asing dan A Seng’. Bukan rakyat yang diuntungkan. Justru yang diuntungkan adalah ‘Asing dan A Seng’.
Lihat sekarang ini. Siapa yang menguasai ekonomi nasional Indonesia? Siapa yang menguasai asset negara? Siapa yang menguasai sumber daya alam (SDA) Indonesia? Siapa yang menguasai kekayaan laut Indonesia? Semua yang menguasai ‘Asing dan A Seng’.
Rakyat Indonesia yang 80 persen tamatan SD (Sekolah Dasar), dan sebagian buta huruf, begitu mudah dimanipulasi oleh media ‘mainstream’. Ditambah dengan kalangan masyarakat perkotaan, yang sudah diperbudak oleh media massa, media sosial, begitu mudah mereka dikalahkan oleh media ‘mainstream’, kemudian berpihak kepada 'Asing dan A Seng'.
‘Asing dan A Seng’ sebagai pemilik modal, membiayai setiap pilkada yang ada, terutama calon-calon yang bakal maju, dan dengan komitmen mereka nantinya menjadi ‘kaki tangan’ dan menyerahkan 'asset' daerah kepada 'Asing dan A Seng'.
Sementara itu, media ‘mainstream’ memberikan citra (image) kepada tokoh ‘jadi-jadian’ dengan segudang aksesoris yang sangat menakjubkan. Seperti jujur, sederhana, merakyat.
Tokoh-tokoh 'jadi-jadian'itu, selalu dikaitkan dengan kehidupan rakyat langsung, yang miskin dan mlarat. Mereka pasti mencari sosok yang merakyat yang dapat menjadi pengayom mereka. Bagaimana kisah 'blusukan' seorang tokoh, akhirnya mengantarkan dia menjadi presiden.
Maka, dibuat tokoh baru yang menjadi ‘anti-tesa’ dari kondisi yang ada, yaitu kehidupan yang korup. Tokoh ‘antagonis’ itu, pasti dimakan ramai-ramai oleh rakyat. Inilah sebuah tesis baru. Media ‘mainstream’ berhasil mendongkrak sejumlah tokoh ‘abal-abal’ menjadi tokoh nasional.
Dengan opini yang terus dijalankan secara konsisten, maka tokoh ‘jadi-jadian’ itu diterima oleh rakyat. Mereka akan berjaya. Kerja media ‘mainstream’ itu, begitu sistematis mencekokan opini kepada rakyat yang 80 persen hanya lulusan SD.
Dengan media mereka itu, rakyat berubah pendapatnya, pandangannya, dan keyakinannya. Ini sebuah teori baru yang sekarang dijalankan, ‘kebohongan’ yang terus-menerus akan menjadi kebenaran.
Bisa diprediksi dalam waktu lima belas tahun ke depan, jika pemilihan langsung kepala daerah berjalan terus-menerus, sudah bisa dipastikan yang akan berjaya menguasai dan menjajah Indonesia, adalah golongan minoritas, ‘Asing dan A Seng’.
Sebaliknya, rakyat hanyalah menjalankan kewajiban setiap lima tahun sekali ke kotak suara, memilih tokoh-tokoh ‘jadian-jadian’ yang dibuat oleh media ‘mainstream, dan kemudian menang.
Jika pemilihan gubernur, bupati dan walikota melalui DPRD, sudah dapat dipastikan tidak akan pernah lahir tokoh-tokoh jadi-jadian seperti Jokowi, Ahok, termasuk dua gubernur di Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah, yang beragama Nasrani. Di mana di kedua wilayah itu, mayoritas penduduknya beragama Islam.
Dengan penguasa di lembaga pemerintahan oleh golongan ‘minoritas’, ‘Asing dan A Seng’, maka dominasi golongan ‘minoritas’, ‘Asing dan A Seng’ terhadap Indonesia akan berlangsung. Sementara itu, kaum pribumi, hanya menjadi kuli di negerinya sendiri.
Mustahil kaum pribumi akan mendapatkan hak-hak dasarnya. Dengan para ‘boneka’ yang menjadi alat kepentingan ‘Asing dan A Seng’ itu, praktis nasib kaum pribumi hanya akan hidup dibawah penjajahan dan perbudakan.
Mereka akan mlarat selamanya. Tidak akan pernah mengenyam kebahagian dan kesejahteraan di negeri sendiri. Semua kekayaan dan harta mengalir keluar ke negeri ‘Asing dan A Seng’. Begitulah nasib kaum pribumi di negerinya sendiri. Wallahu’alam.