JAKARTA (voa-islam.com) - Sesudah PKS satu dekade bersama SBY, nyaris tenggelam ke dasar kubangan sejarah hitam. PKS sepertinya menjadi ‘sesuatu’ yang tak berharga.
Kehilangan ‘trust’ (kepercayaan) dari sebagian kadernya dan rakyat. Ini murni akibat kesalahan melakukan pilihan politik. Masuk dalam kapal bersama ‘koalisi’ mendukung SBY.
Kondisi yang dialami PKS, akibat ketidak mampuan sebagian pemimpin PKS, membaca kondisi politik yang ada. Faktor lainnya, karena sebagian pemimpin PKS, sudah sangat beroreintasi dan mengejar kekuasaan. Sehingga, menghilangkan’commonsense’ (akal sehat), dan menjerumuskan dirinya bersama dengan SBY.
Sejak semula sudah diingatkan oleh ‘Tim 7’ yang dipimpin Abu Ridha, yang merekomendasikan kepada Majelis Syuro, tidak ikut mencalonkan calon presiden-wakil presiden, tidak mendukung salah satu calon presiden, fokus di parlemen, dan mengontrol pemerintah berkuasa. Karena di pemilu 2004, PKS perolehan suaranya tidak sampai 20 persen.
Tapi, sebagian pemimpin PKS bersikeras memilih berkoalisi dengan SBY. Masuk ke dalam kabinet KIB (Kabinet Indonesia Bersatu). PKS diganjar oleh SBY dengan empat porto folio dalam kabinet KIB oleh SBY.
Sejak tahun 2004, PKS bersama dengan SBY, terlibat dalam pengelolaan negara. Hasilnya, selama satu dekade bersama SBY, hanyalah ‘disaster’ (bencana) bagi PKS.
Di mana PKS harus memberikan legitimasi kepada kebijakan dan kuasaan SBY, tanpa reserve. Inilah yang mereduksi ‘trust’ sebagian kader dan rakyat terhadap PKS. Karena tidak semua kebijakan yang diambil oleh pemerintahan SBY itu, bisa diterima oleh rakyat.
Itulah resiko yang harus diterima oleh PKS. PKS benar-benar berada di persimpangan jalan. PKS harus melakukan ‘konflik’ di dalam dirinya, memilih antara idealisme atau pragmatisme politik?
Di tahun 2008, bulan Juni, PKS menyelenggarakan acara di Hotel Rizt Carlton, dihadiri Presiden SBY dan Ibu Ani. Disitu PKS secara sadar, melalui Ketua Majelis Syuro, Hilmi Aminudin, mengubah jati dirinya dan karakter dasarnya, sebagai ‘Partai Dakwah’ menjadi ‘Partai Terbuka’.
Mengubah jargonnya ‘bersih dan peduli’, yang sangat ideologis, berubah menjadi sangat pragmatis.
Di Ritz Carlton itu pula, Hilmi Aminudin, mentasbihkan kesetiaannya kepada SBY dengan, menegaskan, “Kebersamaan kami dalam koalisi bersama dengan Bapak SBY, bukan masalah strategi dan politik, tapi merupakan iman dan aqidah kami’, tegasnya.
Inilah yang mengakibatkan PKS masuk kubangan hitam sejarah, dan berujung dengan kehinaan. Sekalipun PKS masih bisa selamat di pemilu 2014 ini, lolos treshold, dan mendapatkan suara 7 persen.
Sejatinya, jika para pemimpin PKS, bisa melakukan pilihan yang benar, dan memposisikan partai tidak oportunis dan pragmatis, dan menjadikan partai sebagai intrumen ‘gerakan’ dakwah, maka PKS bisa menjadi kekuatan politik yang besar.
Pelajaran yang berharga selama satu dekade bersama dengan SBY, sepertinya PKS masuk dalam ‘killing ground’, dan salah satu ‘ikon’ PKS, Lutfhi Hasan, menjadi tersangka oleh KPK, dan dihukum dengan hukuman maksimum, 18 tahun penjara, serta dicabut hak-hak politiknya.
Ini merupakan ekses dari ‘koalisi’ selama satu dekade dalam pemerintahan SBY. Ini ekses dari pilihan politik yang diambil oleh para pemimpin PKS mendukung SBY.
SBY mengakhiri kekuasaannya dengan tragis. Menjadi rezim paling korup di era reformasi ini. Tidak ada yang bisa dibanggakan selama rezim SBY berkuasa. Hampir seluruh pemimpin Demokrat menjadi tersangka dan dipenjara, akibat kasus korupsi.
Seharusnya SBY ikut bertanggungjawab. Di mana sebagian besar elite pemimpin Demokrat menjadi tersangka. Mustahil SBY tidak tahu atas kasus-kasus yang menimpa para pemimpin Demokrat.
Sekarang, di tahun 20014 ini, PKS mencoba kembali bermain politik, dan berjudi dengan keadaan dan kondisi yang ada, berspekulasi dengan kekuatan-kekuatan politik, dan akhirnya ‘harus’ mendukung Prabowo.
PKS selalu salah melihat kondisi politik, dan tidak memahami realitas politik yang ada. Karena, sebagian pemimpin PKS, selalu beralasan mencari ‘pelindung’ politik. Tidak berani menempuh jalannya sendiri, sesuai dengan karakter dasarnya, sebagai sebuah gerakan dakwah.
Menghadapi lingkungan global yang sangat ‘phobia’ terhadap Islam, tidak bisa menggantungkan kepada kekuatan-kekuatan politik lokal, yang notabene bagian dari kepentingan global.
Di mana sekarang ini, para pelaku politik lokal hanyalah bagian dari kepentingan global. Menghabiskan seluruh energi mendukung tokoh lokal, melalui sebuah pemilihan, tanpa ada dukungan kekuatan global, hanyalah mengalami kegagalan belaka.
Seperti dalam pemilihan presiden Indonesia 2014 ini. Kemenangan Jokowi-JK dan kekalahan Prabowo-Hatta, adalah kemenangan kolaborasi dan konspirasi antara kekuatan lokal, regional dan global.
Sebuah permainan politik ditingkat lokal, regional, dan global yang memperebutkan Indonesia. Para ‘stake holder’ di tingkat global, hanya akan mendukung tokoh lokal yang bisa dipercaya menjalankan kepentingan mereka. Tujuan hanyalah melakukan penguasaan ekonomi dan politik atas Indonesia.
Seharusnya, langkah PKS yang paling tepat, membangun kekuatannya, mengakumulasikan jumlah kader dan SDM-nya, sesuai dengan manhaj, sesuai dengan ‘marothibul amal’, di mulai dengan bina’ul fard muslim, usroh, dan mujtama dan seterusnya. Sehingga, tumbuh sebuah entitas gerakan yang besar dan kokoh.
Indonesia dengan 250 juta penduduk, dan bukan negara kontinental, serta memiliki posisi geopolitik yang sangat strategis, luas wilayah tiga kali daratan Eropa, sangat dibutuhkan SDM dan kader-kader yang sangat banyak jumlahnya. Bukan hanya kuantitas yang dibutuhkan membangun Indonesia, dan menghadapi tantangan global, tapi SDM dan kader yang berkualitas.
Sepertinya, PKS tidak perlu ikut berjudi dengan melakukan ‘musyarakah’ (koalisi) dengan kekuatan-kekuatan politik yang ada, tanpa memiliki dukungan SDM dan kader yang besar dan kokoh. Resiko itu hanyalah membuat PKS sebagai ‘pecundang’, bukan sebagi subjek politik yang memiliki daya tawar yang memadai.
PKS sebelum menjadi ‘pemain politik’, sebagai gerakan atau partai yang dibangun seharusnya memiliki ‘fondasi’ yang kuat.
Tidak mungkin akan mampu menanggung beban politik yang sangat berat, menghadapi dinamika politik lokal dan global, yang sekarang sangat ‘phobia’ terhadap Islam, tanpa ada dukungan dari individu-individu yang kokoh, dan fondasi partai yang kuat bisa berhasil melawan gerakan ‘phobia’ yang sangat luar biasa.
Ambil pelajaran Ikhwan di Mesir, yang sudah sejak tahun 1928, membangun gerakannya, melalui dakwah, dan dengan pengorbanan yang sangat luar biasa, akhirnya di tahun 2013, harus menghadapi ‘malapetaka’ politik.
Kemenangan Ikhwan dalam pemilihan parlemen dan presiden, justru mengantarkan sebagian besar tokoh-tokohnya ke penjara, dan sebagian tewas oleh rezim militer.
Sebaliknya, Hamas berhasil melewati berbagai phase ujian yang sangat berat, menghadapi konspirasi global, melawan Zionis-Israel, Amerika, negara-negara Arab yang ingin menghancurkan Hamas.
Tapi, karena Hamas memiliki kesiapan menghadapi lingkungan global yang sangat ‘phobia Islam’, Hamas selalu dapat menyelamatkan dirinya. Sampai, kekuatan-kekuatan yang ingin menghancurkan Hamas, harus berkompromi.
Begitu pula, Erdogan dalam satu dekade, berhasil mengubah Turki, dan Erdogan atau Partai AKP (Partai Keadilan dan Kesejahteran), berhasil menjadi sebuah ‘mainstream’, dan disegani oleh kekuatan-kekuatan politik yang ada ditingkat lokal, regional dan global.
Erdogan berhasil mengakumulasikan kader-kader AKP, sejak dia menjadi Walikota Istambul. Erdogan sudah memulai 'prepare' sejak bersama dengan Prof.Necmetin Erbakan yang memimpin Partai Refah (Kesejahteraan).
Sekarang, Erdogan dan AKP,memainkan peranan penting, dan mampu berhadapan dengan siapapun, baik itu Uni Eropa, Amerika, dan negara-negara di kawasan regional, seperti negara-negara Arab. Turki menjadi faktor ‘penentu’ setiap perubahan di kawasan yang ada, termasuk di TimurTengah atau dunia Arab.
Betapa para pemimpin PKS bisa mengambil pelajaran berharga dari peristiwa politik yang dialami oleh Ikhwan di Mesir, Hamas di Palestina, dan AKP di Turki.
Para pemimpin PKS perlu melakukan komperasi (perbandingan) antara berbagai gerakan dan polal-pola perubahan yang mereka lakukan, dan harus menjadi sebuah perhatian sungguh-sungguh bagi PKS.
Sekarang, sesungguhnya ancaman yang paling besar menurunnya ‘trust’ (kepercayaan) dari sebagian kader dan rakyat terhadap PKS. Ini yang berbahaya bagi masa depan PKS.
Jika kehilangan ‘trust’ dari rakyat, PKS masih bisa eksis. Tapi,jika PKS sudah kehilangan ‘trust’ dari kadernya, ini berarti lonceng ‘kematian’, bagi masa depannya. Masalah inilah yang harus dicari solusinya.
Sekarang, PKS akan menapaki kehidupan baru, sebagai kekuatan oposisi. Sejatinya itu, bukan pilihan PKS semula. Kondisi yang ada memaksanya harus menjadi oposisi.
Kekalahan Prabowo memaksanya harus menjadi kekuatan oposisi. Perubahan politik dan perubahan situasi global, memaksa PKS harus berani mengambil pelajaran dan melakukan reposisi politik.
PKS mendapatkan pelajaran berharga. Perlahan-lahan harus kembali ke jati dirinya yang semula, dan menegaskan kembali karakter dasarnya sebagai gerakan dakwah, bukan semata-mata sebagai partai politik.
Betapapun, jika PKS tidak kembali ke gerakan dakwah, dan hanya menjadi sebuah gerakan partai politik, maka PKS akan tenggelam di dasar kubangan sejarah.
Tidak ada gunanya membuat ‘fakta integritas’ bagi semua anggota legislatif dari PKS, karena ini hanya menjadi ‘lip service’, jika tidak ada ketauladanan.
Seluruh pemimpin, pejabat dan anggota legislatif PKS, harus menjadi tokoh panutan. Bukan tokoh politik. Sikap hidup ‘zuhud’ harus menjadi 'inherent' (melekat) dalam diri setiap kader PKS, termasuk para pemimpinnya, tidak makan sesuatu yang ‘subhat’.
Tidak ada yang bisa menolong eksistensi PKS sebagai sebuah gerakan. Apalagi manusia, kekuasaan, dan apapun aksesoris dunia. Semua palsu, dan tidak dapat menolongnya. Tidak ada gunanya memburu kekuasaan, jika tidak untuk mengabdi kepada Allah Azza Wa Jalla dan menegakkan al-haq.
Pelajaran satu dekade dengan SBY, sebuah noda sejarah, dan tidak mudah bisa dihapuskan. Diperlukan kerja keras, dan hanya dengan tauladan yang bisa mengubahnya.
PKS tidak perlu lagi melakukan ‘talbiz’ dengan sesuatu yang dapat menjerumuskan dirinya ke dalam kehinaan. Sudah cukup selama satu dekade bersama dengan SBY. Tidak perlu diulang lagi. Wallahu’alam.