View Full Version
Rabu, 01 Oct 2014

Diktator Minoritas Mengancam Masa Depan Pribumi

JAKARTA (voa-islam.com) - Menjelang pemilu 2014 lalu, Dewan Gereja Indonesia (DGI) dan Konferensi Wali Gereja di Indonesia (KWI) memberikan arahan kepada kader dan aktifisnya, yaitu dua pilihan, pertama mendirikan partai politik, atau masuk ke partai-partai politik dan institusi negara.

Atas arahan DGI dan KWI itu, para kader dan aktifis gereja diaspora (menyebar) masuk ke partai-partai politik, dan institusi negara.

Tujuannya menyebarkan pengaruh gereja, dan mengembangkan potensi-potensi kelompoknya yang sudah menyebar. Kemudian mengajak masyarakat dan lingkungannya agar mereka menjadi pengikut gereja.

Di mata gereja dan para pastur-pendeta, orang-orang yang berada diluar lingkungan gereja sebagai ‘gembala’ yang harus digembalakan, dan akhirnya mereka menjadi pengikut Kristus. Terakhir menguasai kekuasaan yang akan menjadi instrumen gerakan menyebarkan ajaran agamanya.

Sekarang ini, nampak dengan nyata seperti di DKI Jakarta, ada Ahok yang sebentar lagi menjadi gubernur. Di Kalimantan Tengah, ada Teras Narang yang menjadi gubernur. Di Kalimantan Barat ada Cornellis yang menjadi gubernur. Di Solo ada FX Rudyanto yang menjadi Walikota. Di Maluku, dan sejumlah wilayah lainnya, banyak tokoh dari gereja yang memegang jabatan, dan sangat berpengaruh.

Kehadiran mereka di ranah kekuasaan, sebanding lurus dengan perkembangan gereja. Bahkan, di Solo, menurut cerita seorang aktifis, satu desa seluruhnya murtad, sejak Solo dipimpin Jokowi dan FX Rudyanto.

Di DPR dan DPD setidaknya berdasarkan penelitian secara acak, tak kurang hampir 25 persen anggaotanya dari kalangan Kristen/Katolik. Di semua partai politik terdapat pimpinan atau anggota DPR dan DPD yang berasal dari kalangan Kristen/Katolik. Jumlah ini sangat besar.

Mereka sangat berpengaruh dan memiliki militansi yang tinggi. Terkadang sangat vokal. Seperti di PDIP, ada Muarar Sirait anak Sabam Sirait, Trimedya Panjaitan, Andi Widjayanto, menantu  Mayor Jenderal Theo Syafi’i yang pernah menjadi salah satu tokoh PDIP. Andi Widjajanto menjadi kepercayaan dan tangan kanan Jokowi.

Media massa yang mempunyai pengaruh sentral sebagian besar dimiliki kalangan Kristen dan Katolik. Seperti kelompok Gramedia dan Kompas, yang didirikan seorang keturunan Cina, PK Ojong, yang sekarang menjadi polopor gerakan anti terhadap ‘Islam politik’, dan bersama dengan Metro TV-Media Indonesia, termasuk kelompok Sinar Harapan (Suara Pemaharuan).

Tiga kekuatan media dari kalangan Kristen/Katolik, adalah pelopor gerakan de-Islamisasi di Indonesia. Dengan menggunakan isu pluralisme, toleransi, liberalisme dan sekulerisme, serta mengembangkan theori ancaman Islam fundamentalis.

Ada kalangan pengusaha dan konglomerat Cina, seperti Sofyan Wanandi, yang mendirikan CSIS (Center Strategic International Studies), yang menjadi think-thank Orde Baru, dan sekarang berada di belakang Jokowi.

Ada James Riyadi yang merupakan penganut Kristen Evengelis yang sangat militan. Mendirikan media, rumah sakit, mall-mall dan perumahan dari kelompok Lippo.

James Riyadi memiliki koneksi dengan sejumlah tokoh di AS,termasuk mantan Presiden Bill Clinton. Ada pula Jacob Soetojo, pengusaha dan konglomerat Cina, yang menjadi anggaota ‘Trilateral Commission’ untuk Asia-Pasific, dan termasuk Dewan Penyantun CSIS.

Pengusaha atau konglomerat Cina itu,sekarang sudah menguasai 80 persen asset ekonomi Indonesia. Mereka bangkit sejak zamannya Soeharto. Mereka menjadi anak ‘emas’ Soeharto, dan menjadi pilar kekuasaannya.

Mereka berambisi menguasai kekuasaan, dan menjadikan Jokowi sebagai ‘kuda tunggangan’ dan sasaran antara. Tujuan akhir kelompok konglomerat Cina, memegang kekuasaan di Republik  ini. Jaringan ‘hoakiao’ yang mayoritas beragama Kristen/Katolik itu, sekarang berkonspirasi dengan kekuatan internasional, dan terus berusaha menguasai Indonesia.

Gerakan mereka dahalu di era Orde Baru menempel kepada kekuasaan Soeharto, dan pemberi ‘input’ (masukan), melalui CSIS. Dengan CSIS itu, kemudian mereka berhasil mengendalikan kekuasaan rezim Orde Baru, dan menukangi Soeharto.

Kemudian, Soeharto mengangkat sejumlah pejabat sipil dan militer yang berasal dari kalangan Kristen/Katolik, dan memarjinalkan golongan Islam dengan isu ‘Komando Jihad’ dan kelompok ekstrim lainnya, yang sengaja diciptakan untuk memojokan dan menghancurkan golongan Islam.

Di era reformasi yang sangat liberal ini, kekuatan minoritas Kristen/Katolik menunggangi partai politik, dan menciptakan tokoh-tokoh ‘palsu’ yang menjadi alat mereka, kemudian berhasil menguasai jabatan kekuasaan.

Dengan menggunakan opini media massa dan media sosial, dan dibiayai para konglomerat  Cina, mereka berhasil memenangkan pertarungan politik, yaitu adanya kemenangan Jokowi.

Tiga pilar yang menjadi soko-guru perjuangan kalangan Kristen/Katolik yaitu, partai politik, media massa, dan ekonomi, yang sudah berada di tangan cukong Cina itu, menjadi sarana merebut kekuasaan.

Kelompok minoritas Kristen/Katolik dengan kampanye yang sangat luar biasa, didukung media massa dan dana, berhasil memanipulasi rakyat. Dengan opini yang dibentuk secara terus-menerus dapat mempengaruhi, membentuk, dan mengubah keyakinan rakyat.

Sekarang kampanye yang sangat berbahaya dari kalangan pendukung Jokowi, yang hakekatnya mereka ini kelompok minoritas, menggunakan jargon-jargon kerakyatan. Sehingga, Jokowi itu menjadi simbol 'tokoh' rakyat, dan PDIP dan partai pendukungnya Jokowi itu, sebagai kekuatan rakyat dan kekuatan demokrasi.

Sebaliknya, kekuatan Merah Putih yang terdiri partai-partai yang notabene menguasai 60 persen di  parlemen, di citrakan dan diposisikan sebagai musuh rakyat dan kelompok yang korup.

Padahal, PDIP berdasarkan KPKwatch-RI, justru partainya Mega paling korup dengan l58 tokohnya yang terkena skandal korupsi. Bagaimana dengan Mega yang menjual asset negara, dan memberikan pengampunan kepada konglomerat hitam, yang sudah merampok dana rakyat melalui BLBI sebesar Rp 650 triliun?. 

Pembalikan fakta dan opini yang berlangsung sekarang ini, diarahkan menjadi gerakan perlawanan rakyat terhadap kekuatan dan koalisi Merah-Putih, seperti yang diucapkan oleh Erman Saragih, di Metro TV, saat berbicara dalam acara tajuk di telivisi itu.

Mereka yang mendukung pilkada melalui DPRD sebagai musuh rakyat dan musuh demokrasi. Kalangan Kristen/Katolik yang berhasil menyusup dan menunggangi PDIP, Nasdem, PKB, Hanura, dan PKPI itu, terus menggelorakan perlawanan dengan memposisikan mereka sebagah pembela dan pelindung rakyat.

Menurut Erman Saragih, menggambarkan Jokowi yang sekarang menghadapi koalisi Merah Putih yang menguasai parlemen, seperti  menjelang kejatuhan Soeharto. Di mana parlemen diduduki rakyat. Kemudian, rezim Orde Baru di bawah Soeharto itu, jatuh. Jadi menurut Erman Saragih, Jokowi tidak perlu takut menghadapi koalisi Merah Putih, nanti akan dijatuhkan rakyat.

Sesudah Soeharto jatuh, muncul Habibie, mereka membuat gerakan lagi, menjatuhkan Habibi.Melalui gerakan jalanan, yang menggunakan kelompok kiri dan liberal yang mereka tunggangi, seperti FORKOT (Forum Kota). Habibie mereka jatuhkan.

Karena kalangan Kristen/katolik,  dan konglomerat Cina serta Singapura tidak suka Habibie. Habibie dianggap menguntungkan kaum pribumi. Inilah yang paling menyakitkan setiap kali kekuatan Muslim dan  pribumi bangkit, kemudian digagalkan dan dihancurkan.

Seperti kekuatan koalisi Merah  Putih, dan Prabowo berusaha ingin menjadikan Indonesia merdeka, berdaulat dibidang ekonomi, politik dan budaya, dan mengembalikan asset negara, berakhir dengan tragis. Kekalahan Prabowo hanyalah akibat adanya konspirasi antara kekuatan lokal dan internasional.

Konspirasi lokal dan internasional, tidak terlepas dari tangan-tangan kekuatan kalangan Kristen/Katolik yang sekarang ini sudah berkuasa dibalik layar dengan menggunakan tangan-tanan yang tak nampak.

Mereka pasti akan tidak suka kekuatan Muslim dan pribumi berkuasa. Mereka akan menggagalkannya. Terbukti Prabowo yang didukung koalisi Partai-Partai Islam kalah. Tidak akan pernah diberi kesempatan berkuasa, dan memegang kekuasaan. Meskipun, masih mendapatkan dukungan suara 46 persen dari rakyat yang memilihnya.

Memang harus lahir gerakan pembebasan Indonesia yang membebaskan tanah kelahiran mereka dari para penjajah. Dari penjajah asing dan lokal. Wallahu’alam.

[email protected]


latestnews

View Full Version