JAKARTA (voa-islam.com) - Sebelum dilantik menjadi presiden Jokowi menjadi sampul Majalah Time, dan berjudul ‘A New Hope’. Jokowi mendapatkan penghargaan dari Majalah Time, sebagai tokoh Indonesia, dan dianggap bisa memberi harapan baru bagi masa depan Indonesia.
Berikutnya, ketika Jokowi menghadiri pertemuan APEC di Beijing, sambutan dan penghargaan begitu tinggi. Para pemimpin dunia, seperti Presiden Cina, Xi Jinping, Presiden AS, Barack Obama, Presiden Rusia Vladimir Putin, Perdana Inggris, David Cameron, Perdana Jepang, Shinso Abe, dan sejumlah pemimpin dunia lainnya, bertemu dengan Jokowi, membicarakan kerjasama bilateral.
Tak kurang ratusan CEO dari perusahaan-perusahaan raksasa global, tertarik oleh presentasi Jokowi demgan kebijakannya yang ‘open policy’, kemudian para investor asing menawarkan investasi jumlahnya mencapai triliun dollar.
Mengapa Jokowi harus membuat kebijakan ‘open policy’, dan membuka seluas-luasnya bagi fihak asing melakukan investasi diberbagai bidang, termasuk pembangunan infrastruktur di Indonesia?
Mengapa Jokowi tidak memilih konsursium swasta nasional atau swasta pribumi diberi kesempatan terlibat dalam pembangunan infrastruktur atau di sektor-sektor lainnya? Justru diserahkan kepada fihak asing? Lalu, sebenarnya infrastruktur yang dibangun, nantinya siapa yang akan menikmatinya? Rakyat atau asing?
Jokowi dengan bermodalkan populeritasnya di dalam negeri, dan itu tercermin saat pelantikannya disambut dengan pesta rakyat besar-besaran yang menghabiskan biaya 1 milyar rupiah lebih. Populeritas Jokowi di dalam negeri itu, nampaknya menjadi modal dasar, bagi fihak asing masuk ke Indonesia, berinvestasi di semua sektor.
Bahkan, masuknya investor asing itu, menimbulkan kekawatiran sejumlah fihak di Indonesia, dan bisa berdampak terhadap penguasaan dan pengambil alihan terhadap sektor-sektor yang sangat strategis bagi masa depan rakyat dan bangsa.
Pengamat ekonomi, Ichasuddin Nursi, mengingatkan bagaimana Bung Karno, menolak keras terhadap investor asing yang ingin masuk ke Indonesia, dan memilih kebijakan berdikari dibidang ekonomi.
Sekarang, dibalik populeritas Jokowi yang ‘melangit’ itu, dan belum sebulan menjadi presiden sudah mengambil keputusan politik yang penting menaikan BBM. Keputusan menaikan BBM, sejatinya momentumnya dipertanyakan, karena minyak dunia turun, hingga mencapai harga dibawah $ 80 dollar/perbarel. Jadi tidak ada asalan yang perlu, saat ini harus menaikan BBM.
Jika pemerintah ingin mengalihkan subsidi BBM yang jumlah Rp 245 triliun, sebagai termaktub APBN 2015, ke pembangunan infrastruktu atau ke sektor yang lebih produktif, maka harus dilakukan perubahan terhadap APBN 2015. APBN-P harus dibahas antara DPR dengan fihak pemerintah. Tapi, Jokowi langsung memilih menaikan BBM.
Kenaikan BBM sudah pasti akan memukul kelas menenangah dan rakyat kecil. Karena kenaikan BBM mempunyai multi efek yang sangat luas, bagi rakyat, terutama harga kebutuhan pokok. Jumlah orang kaya di Indonesia masih kecil, tidak sampai 20 persen yang memiliki ‘income’ perkapita berdasarkan GDP diatas $ 3000 dollar pertahun.
Meskipun, tidak bisa dipukul rata tentan 'income' perkapita rakyat, karena terjadi gap yang sangat tajam, antara yang kaya dengan yang miskin. Boleh dibilang 80 persen rakyat Indonesia, rata-rata ‘income’ perkapita mereka, kurang $ 1000 dolar pertahun.
Bahkan, kelompok miskin yang absolut, bisa mencapai 60 persen penduduk Indonesia yang 240 juta dengan income perkapaita mereka dibawah $ 500 dolar pertahun.
Sekarang mereka sekarang harus meghadapi kenaikan BBM, pasti akan berdampak dengan melemahnya daya beli, akibat inflasi yang meningkat tajam. Tidak mungkin hanya 2 persen, kenaikan inflasi akibat kenaikan BBM. Inflasi pasti diatas dua digit. Ini sangat memukul berbagai sektor, termasuk sektor riil. Harga kebutuhan pokok dan ongkos transportasi pasti melambung.
Pantaskah Presiden Jokowi menaikan harga BBM, di kala rakyat masih banyak yang miskin? Pantaskah Presiden Jokowi disebut sebuah ‘A New Hope’? (sebuah harapan baru).
Indonesia sudah 69 tahun merdeka. Tujuh kali ganti presien, dan 6 kali berganti Presiden semuanya pernah menaikkan harga BBM. Presiden Jokowi yang dikatakan sebagai ‘A New Hope’, belum mampu membuat terobosan baru, dan membuat sosoknya berbeda dengan Presiden sebelum-sebelumnya, dan sering disebut sebagai ‘ratu adil’ yang didongengkan oleh Joyoboyo.
Dengarkan keluhan rakyat miskin dengan rencana pemerintah menaikkan harga BBM. Ketakutan melanda mereka karena sewaktu-waktu bisa menjadi ancaman serius bagi kehidupan mereka. Ajukan pertanyaan kepada mereka, memilih BBM naik atau kompensasi dari BBM naik?
Sejatinya, kenaikkan harga BBM tidak mendesak. APBN telah mematok harga BBM 105 USD per barel. “Apa dasarnya untuk menaikkan kalau asumsinya masih di bawah APBN. Kecuali harga minyak dunia sudah mencapai 140 USD per barel. Apalagi, sekarang harga minyak dunia $ 80 dollar/ perbarel. .
Padahal rakyat memilih Jokowi dinilai oleh masyarakat sebagai sosok yang sering blusukan, sederhana, berwajah lugu, dan dianggap mampu membawa perubahan kearah yang lebih baik.
Kenyataannya, rakyat harus menelan kepahitan hidup, di mana belum satu bulan Jokowi menjadi presiden sudah menaikan BBM.
Jokowi dengan didampingi Jusuf Kalla, dan sejumlah menteri berderet disamping kanan dan kiri mengapitnya, kemudian di podium, presiden ke tujuh itu mengumumkan kenaikan BBM. Rakyat terperangah. Harapan rakyat memudar kepada Jokowi. Wallahu’alam.