JAKARTA (voa-islam.com) - Sekutu dan pendukung utama Amerika Serikat, Raja Arab Saudi Abddullah bin Abdul Aziz bin Abdurrahman al-Saud, diberitakan oleh media-media Arab, meninggal setelah beberapa lama mendapatkan perawatan medis, Jum'at, 23/1/2015.
Pernyataan resmi Kerajaan Saudi, menyatakan, “Dengan kesedihan yang mendalam, Pangeran Salman bin Abdul Aziz dan seluruh anggota keluarga Kerajaan berbelasungkawa atas meninggalnya "Pelayan Dua Kota Suci", Raja Abdullah bin Abdul Aziz pada pukul 01:00 Jumat dini hari bertepatan pada tanggal 3 Rabiul Akhir 1436 H, tutur pihak Kerajaan dalam pernyataannya.
Dalam pernyataan itu, shalat jenazah Raja Abdullah bin Abdul Aziz dilaksanakan pada Jum'at sore, setelah Shalat Ashar di Masjid Turki bin Abdullah kota Riyadh, ibukota Saudi Arabia.
Berdasarkan keputusan raja nomor 86 tanggal 5 Jumadal Tsani 1435 H, Raja Abdullah bin Abdul Aziz mewasiatkan bahwa dengan meninggalnya Abdullah yang akan menggantikannya adalah Pangeran Salman bin Abdul Aziz sebagai raja.
Arab Saudi dikenal sebagai sekutu dan pendukung utama Barat, khususnya Amerika Serikat. Arab Saudi menjadi tulang punnggung Amerika, saat berlangsung era ‘Perang Dingin’, antara Soviet dan Amerika Serikat.
Bahkan, negara kerajaan yang membelot dari Khilafah Otsmani itu memberikan dukungan kepada Amerika saat menghadapi invasi Soviet ke Afghanistan, karena Arab Saudi sudah dalam ‘genggaman Amerika’.
Saudi bukan ingin menyelamatkan negeri Muslim Afghanistan, tapi lebih mendukung Amerika Serikat yang ingin mengalahkan Soviet. Kerjasama antara Arab Saudi dan Amerika terus berlangsung sampai hari ini, tanpa batas.
Saat Saddam Husien menyerang Kuwait, kemudian Presiden George Walker Bush Sr, membela Kuwait, dan melakukan invasi ke negara Teluk itu, dan mengerahkan pasukannya dalam skala besar. Dengan dukungan Arab Saudi. Arab Saudi menjadi pangkalan pasukan Amerika, saat menyerang Irak.
Serangan Amerika Serikat itu menghancurkan Irak. Namun, perang di Irak belum usai, dan terus berkecamuk.
Tahun 2001, pasca serangan ke Gedung WTC, 11 September, di mana Amerika selesai menghancurkan Taliban dan menghancurkan kekuasannya, Amerika Serikat terus melangsungkan perang ke Teluk dengan menyerang Irak. Karena, menurut laporan CIA, Irak dan Saddam dituduh memiliki senjata pemusnah massal (WMD).
Serangan di era George Bush Jr ini, bertujuan menggulingkan Presiden Irak Saddam Husien. Arab Saudi dibelakang Amerika Serikat meluluh-lantakkan Irak. Kemudian, Saddam Husien mati ditiang gantungan oleh tangan Amerika.
Jutaan orang menjadi pengungsi, dan ratusan ribu Muslim Irak tewas. Negeri ‘1001’ yang pernah menjadi pusat peradban Islam itu, hancur berkeping. Sesudah itu, kekuatan Syi’ah memegang kekuasaan di Irak. Dengan menghancurkan kaum Sunni, yang hidup di negeri itu. Semua kejahatan Amerika dan Syi’ah itu, tak terlepas dari dukungan Arab Saudi.
Saat berlangsung kekacauan di Suriah, dan usaha-usaha dari kelompok-kelompok Sunni di Suriah ingin mengakhiri rezim Syi’ah Bashar al-Assad, yang sudah terlalu banyak menumpahkan banyak darah Muslim Sunni itu, Arab Saudi justru tidak berpihak kepada para pejuang Islam, seperti Jabhah al-Nusrah termasuk ISIS.
Arab Saudi bersama dengan 70 kekuatan koalisi memerangi semua kekuatan yang ingin memerangi rezim Syi’ah Bashar al-Assad dan rezim Syi’ah Nuri al-Maliki yang sekarang digantikan oleh Haidar al-Abadi.
Arab Saudi menjadi tulang punggung dalam 70 koalisi Negara Barat dan Arab, yang sekarang terus menumpahkan darah Muslim, karena kelompok ISIS dan lainnya, sudah diberi ‘cap’ oleh Barat, Amerika Serikat, Eropa dan Zionis, sebagai ‘teroris’.
Amerika Serikat bersama 70 negara, termasuk Arab Saudi, sekarang fokus, mengerahkan seluruh kekuatannya menghadapi ISIS, dan kelompok-kelompok Gerakan Islam, yang sudah diberi ‘stempel’ sebagi teroris, militan, ekstrimis, dan fundamentalis.
Negara-negara Arab seperti Arab Saudi, mempunyai kepentingan ikut bersama dengan negara-negara Barat lainnya, menghancurkan ISIS, karena mereka merasa takut kekuasaannya akan terancam. Sehingga, mereka melakukan apa saja, bersama dengan Barat menghancurkan ‘Islamiyyun’.
Inilah yang sangat mengkawatirkan bagi masa depan Islam. Umat Islam dan Muslim,bukan hanya menghadapi kafir musyrik (Yahudi dan Nasrani), tapi menghadapi para pemimpin Arab yang munafiq dan haus kekuasaan.
Betapa Arab Saudi sebagi negara ‘petro dollar’ kekayaannya hanya digunakan mendukung kepentingan Barat, Amerika, Eropa dan Zionis yang terus melakukan penghancuran terhadap Muslim di negeri-negeri Muslim. Tidak ada jeda waktu perang yang mereka jalankan sampai hari ini.
Raja Abdullah menurut berbagai sumber menggelontorkan miliaran dollar kepada Marsekal Abdul Fattah al-Sisi, menggulingkan Presiden Mesir Mohamad Mursi. Mursi dipilih secara bebas rakyat Mesir, melalui sebuah pemilu.
Sesudah itu, al-Sisi membantai ribuan pendukung Mursi. Al-Sisi juga memanjarakan puluhan ribu anggota dan pemimpin Ikhwan, dan mereka menghadapi malapetaka dalam penjara dengan berbagai penyiksaan.
Sebuah sumber intelijen menyebutkan agresi militer Zionis-Israel ke Gaza merupakan konspirasi antara Mesir, Arab Saudi, Emirat Arab (UEA), dan Zionis-Israel. Sebelum berlangsung agresi militer Israel, akhir 2014, di dahului pertemuan antara kepala intelijen Arab Saudi, Pangeran al-Turki dengan kepala Mossad.
Agresi militer Zionis ke Gaza itu, tujuannya melumpuhkan kekuatan militer Hamas, yaitu Brigade Izzuddin al-Qassam.Namun, usaha Zionis itu gagal, dan tidak berhasil menghancurkan Hamas.
Zionis-Israel sesudah sebulan menyerang dengan kekuatan udaranya, kemudian secara sefihak Perdana Israel, Benyamin Netanyahu mengumumkan gencatan senjata secara sefihak.
Menurut berbagai sumber menyebutkan bahwa dalam Konferensi Pembangunan 'Gaza' di Kairo, belum lama, Negara-negara Arab menyanggupi bantuan puluhan miliar dollar untuk membangun kembali Gaza, yang luluh-lantak. Tapi, negara-negara Arab, minta syarat, yaitu Hamas, "TIDAK BOLEH MENYERANG ZIONIS-ISRAEL". Hamas menolak syarat itu.
Arab Saudi bukan hanya mendukung Amerika Serikat melawan kekuatan-kekuatan Islam yang sudah diberi lebel ‘radikal, ekstrimis, militant, fundamentalis, dan teroris’, tetapi ulama-ulama yang memiliki kecenderungan kepada ‘Harakah Islamiliyah’ ikut diberangus.
Bahkan, Arab Saudi bertindak lebih keras lagi, siapapun warga Arab Saudi yang pergi ke Suriah, kembali ke Saudi, diancam dengan hukuman penjara selama 20 tahun.
Arab Saudi atau Abdullah, betapapun telah mendapatkan gelar sbagai ‘Khadimul Haramain’ (Pelayan dua kota suci), Makkah dan Madinah, tetapi yang sangat ironi, terlibat langsung dalam penghancuran terhadap Muslim yang ingin menegakkan ‘al-Islam’ sebagai dinul haq.
Sekarang, bersamaan dengan kematian Raja Abdullah, dia menjadi saksi nyata kehancuran Muslim di berbagai negara, dan ini tidak terlepas dari peran Raja Abdullah. Bahkan, Yaman dibiarkan oleh Arab Saudi dicaplok oleh Syi'ah Houthi. Ini hanya karena tindakan Amerika Serikat yang melarang Arab Saudi mendukung kelompok yang anti Syi'ah di Yaman.
Barangkali yang patut dikenang sepanjang sejarah, hanyalah sosok Raja Faisal, pemimpin Kerajaan Arab Saudi, yang sangat mulia ini, bisa mendapatkan julukan sebagai ‘Khadimul Umah’, karena betapa besarnya perhatian kepada umat Islam di seluruh dunia.
Ketika, Zionis-Israel menyerang negara-negara Arab, saat perang tahun l973, dan langsung Raja Faisal mengumumkan tindakan embargo minyak terhadpa semua negara penyokong. Amerika Serikat mengalami krisis minyak. Ekonomi hampir ‘collapse’ (ambruk), antrian bahan bakar minyak panjang di mana-mana. Amerika menghadapi krisis.
Kemudian, Raja Faisal dibunuh oleh keponakannya sendiri, yang baru pulang dari Amerika Serikat. Ini hanya satu pekerjaan CIA. Tapi, peristiwa ini tidak pernah diingat lagi oleh Muslim yang hidup di Arab Saudi, atau negara-negara Arab, dan mereka tetap setia dengan Amerika Serikat, dan menjadi budaknya.
Sungguh jutaan Muslim mati di tangan para penguasa Muslim. Kekuasaan dan kekayaan yang berlimpah bukan untuk berkhidmat kepada al-Islam, dan melindungi pemeluknya, justru digunakan membunuhi mereka. Wallahu’alam.