JAKARTA (voa-islam.com) - Hari-hari ini kepemimpinan Jokowi diuji. Apakah Jokowi benar pemimpin atau hanya ‘PETUGAS PARTAI’?
Langkah-langkah kebijakan yang diambil Jokowi sangat menentukan sosok pribadinya, terutama ketika terjadi konflik antara Polri-KPK. Inilah ujian yang benar-benar akan menentukan kualitas pribadi Jokowi?
Mantan Wakil Menkumham, Denny Indrayana, mengkritik Presiden Jokowi dengan mengatakan, “Jangan pindahkan Istana ke Teuku Umar”. Maksudnya ke rumah Mega.
Denny menginginkan Jokowi secara de facto dan de jure, benar-benar seorang Presidan. Bukan seperti yang diucapkan Megawati, bahwa Jokowi itu hanyalah ‘PETUGAS PARTAI”, bahkan sekadar ‘BONEKA’ yang dipajang di etalase yang dipertontonkan kepada publik oleh Mega dan PDIP.
Pernyataan Ikrar Nusabakti, lebih ‘ketus’ lagi, dan mengatakan hendaknya Jokowi tidak tunduk kepada ‘Ratu’. Maksudnya pasti Megawati. Semua mengharapkan Jokowi memiliki independensi, berintegritas sebagai seorang presiden dalam mengambil kebijakan atau keputusan politik.
Meskipun, Jokowi tidak diharamkan meminta pendapat dari manapun, termasuk dari Megawati. Tapi, pendapat dari Megawati itu, sifatnya bukan perintah atau instruksi. Inilah persoalan yang sekarang mendasari karut marut politik yang ada di Indonesia, sesudah Jokowi dilantik menjadi presiden.
Mega dan Komjen Pol Budi Gunawan?
Harus dipahami hubungan Megawati dengan Komjen Pol Budi Gunawan yang sudah menjadi ajudan Mega, sejak 2001-2004. Waktu yang tidak singkat. Sudah terpaut ikatan ‘emosional’, dan bukan sekadar menjadi ajudan.
Karena barangkali tingkat interaksi antara Megawati dengan Budi Gunawan. Ini titik persoalan yang paling pokok. Sehingga, sekarang mempunyai implikasi politik yang sangat serius, dan tidak bisa di urai semata dengan logika politik semata.
Presiden Jokowi sudah tahu dari awal tentang sikap KPK terhadap Budi Gunawan, saat Mega mencalonkan Budi Gunawan menjadi salah calon menteri. KPK memberi ‘red notice’.
Kenyataannya, Presiden Jokowi tetap tidak bisa menolak keinginan ‘Teuku Umar’ yang berobsesi menjadikan Budi Gunawan sebagai Kapolri.
Jokowi pun menyerahkan pencalonannya kepada DPR, Komisi III, dan berlangsung uji kelayakan calon tunggal Kapolri. Kemudian, secara aklamasi Komisi III menyetujui Budi Gunawan sebagai calon Kapolri, dan dikukuhkan melalui paripurna DPR. Artinya, Budi Gunawan memiliki legitimasi secara politik.
Masalah timbul saat Budi Gunawan yang sudah disetujui oleh DPR, melalui paripurna, Jokowi tidak langsung melantiknya. Akibat adanya “status tersangka “ oleh KPK terhadap Budi Gunawan. Inilah yang menimbulkan kekacauan.
Kalangan Polri menilai penundaaan pelantikan Budi Gunawan itu, bukan hanya menimbulkan kekosongan jabatan Kapolri, karena Sutarman sudah diberhentikan oleh Jokowi, tapi menimbulkan pro-kontra, baik di internal Polri, maupun masyarakat.
Sebagian masyarakat mendukung KPK. Bahkan, Polri mengambil tindakan dengan melakukan penangkapan terhadap Wakil Ketua KPK, Bambang Widjojanto.
Situasi ini semakin tidak menentu dengan adanya konferensi pers, ketika Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto, yang membeberkan, bahwa tindakan Abraham Samad, menjadikan Budi Gunawan sebagai tersangka, karena adanya ‘balas dendam’.
Karena Abraham gagal mendampingi Jokowi sebagai wakil presiden, dan Mega memilih Jusuf Kalla. Di sini menurut Hasto ada peranan Budi Gunawan yang memberikan saran kepada Mega tidak memilih Abraham Samad.
Akibat pasca penetapan Bambang Wijayanto sebagai tersangka maka hal tersebut mendapat respon yg luar biasa dari berbagai masyarakat yang mendukung KPK termasuk munculnya gerakan "Save KPK".
Melihat phenomena semakin tidak adanya penyelesaian dan titik temu antara Polri Dan KPK, maka Presiden Jokowi dalam Konfrensi persnya mengumumkan beberapa hal mendasar terkait dengan penyelamatan institusi Polri dan KPK :
Pertama jangan ada kriminalisasi, kedua prinsip penegakan hukum harus tranparan, ketiga KPK dan Polri harus jaga wibawah institusi penegak hokum, keempat, jangan ada intervensi KPK dan Polri, kelima,KPK dan Polri harus kerjasama dalam memberantas korupsi.
Selain itu, juga Presiden Jokowi membentuk Tim Khusus yang bersifat Informal untuk menyelesaikan Kasus KPK VS POLRI dan tim ini terdiri Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Jimly Assiddiqie, Mantan wakil Ketua KPK Erry Riyana Hardjapamekas, mantan Wakapolri Komjen Purn Oegroseno, Pengamat Kepolisian Widodo umar, Guru Besar ilmu Hukum UI Hikmahanto Juwana, mantan Pimpinan KPK Hatorangan Panggabean,serta Syafii Maarif yang berhalangan hadir.
Dilihat tokoh yang diundang oleh Presiden Jokowi ke Istana itu, terutama dari kepolisian, yaitu tokoh yang berseberangan dengan Budi Gunawan, seperti mantan Wakapolri Komjen Pol Oegroseno, dan pengamat kepolisian Widodo Umar.
Apakah ini menandakan perubahan sikap Jokowi terhadap Mega? Sampai tingkat tertentu Jokowi akan ‘bercerai’ dengan Mega? Apakah Jokowi berani mengambil tindakan sejauh itu?
Jika Jokowi tidak melantik Budi Gunawan, membiarkan statusnya, dan sampai tingkat tertentu Budi Gunawan digelandang oleh KPK, dan disini apakah Mega akan mentolelir Jokowi? Apakah Jokowi berani hanya bersandar kepada ‘commonsens’ publik, terutama kalangan LSM, Relawan, dan Media yang selama ini sudah menjadi tulang punggung Jokowi?
Perlu diingat Jokowi terpilih sebagai Presiden itu, hanya bermodal ‘dengkul’ belaka. Tanpa dicalonkan oleh Mega dan PDIP, Jokowi menggunakan instrument apa bisa mengantarkananya sebagai Presiden? Ini menjadi tidak logis.
Kenyataan dan faktanya Jokowi sudah mengingkari seluruh janjinya, mulai membentuk postur cabinet, sampai orang-orang yang duduk di dalam kabinet “KERJA”, semua orang-orang partai. Padahal, Jokowi dalam kampanyenya ingin melepaskan dari partai politik.
Jokowi tanpa dukungan KIH (Koalisi Indonesia Hebat), ibaratnya seperti tubuh tanpa tulang. Dapatkah Jokowi bisa berdiri tegak? Apalagi, kaitannya pencalonan Budi Gunawan yang sudah didukung seluruh partai politik, dan sudah disetujui melalui paripurna DPR.
Apakah mungkin Megawati mau kehilangan muka dengan dipenjarakannya Budi Gunawan. Apakah mungkin Polri bisa legowo membiarkan Budi Gunawan dpenjarakan? Apakah mungkin sanggup Jokowi menanggung resiko politik dengan membiarkan Budi Gunawan dikerangkeng oleh KPK?
Pencalonan Budi Gunawan sebagai calon tunggal itu, bukan hanya menjadi kepentingan Mega, PDIP, dan KIH, tapi parrtai-partai yang oposisi terhadap Jokowi, yang tergabung dalam KMP, turut mendukung Budi Gunawan. Inilah yang akan menjadi titik krusial dan bisa menimbulkan dampak politik bagi Jokowi.
Kemungkinan yang paling masuk akal, jika Budi Gunawan, sampai gagal dilantik, “Ratu” Teuku Umar, bisa murka, dan akan ada dampak politik ikutan yang sangat berisiko bagi masa depan Jokowi sebagai presiden.
Bagaimana mungkin Jokowi memerintah dan berkuasa, tanpa dukungan Mega dan KIH, dan menghadapi oposisi dari KMP? Jika Jokowi memilih penegakan hukum secara transparan, dan membiarkan Budi Gunawan dimasukan penjara oleh KPK? Ini bukan semata masalah hukum.
Sementara itu, harus dibuktikan oleh Hasto dan PDIP tentang petualangan Abraham Samad yang juga ‘ngiler’ terhadap jabatan kekuasaan, wakil presiden. Jika terbukti Abraham Samad berpetualang dan 'ngemis' jabatan wakil presiden kepada Mega dan PDIP, maka tamat riwayat KPK.
Dilantik atau tidak dilantik Budi Gunawan akan ada resiko politik bagi Jokowi. Resiko politik pasti akan dihadapi Jokowi. Pertanyaan yang paling mendasar, sanggupkah Jokowi ‘berpisah’ dengan Mega?
Jokowi berpisah dengan Mega dan partai-politik? Kelihatan tidak akan sanggup Jokowi memilih diluar Mega dan partai politik. Jokowi akan tetap berada di dalam ‘real politik’ yang ada, yaitu tetap hidup bersama dengan Mega dan KIH.
Indonesia akan semakin suram di bawah sebuah oligarki politik yang sangat menyengsarakan rakyat. Sistem 'bathil' disertai pemimpin yang tidak amanah dan jujur, pasti akan selelu membuat rakyat menderita lahir dan bathin. Wallahu’alam.