PARIS (voa-islam.com) - Luar biasa. Di mana seorang anak berusia delapan tahun, Ahmed, menunjukkan solidaritas terhadap pelaku penembakan di kantor majalah satire Charlie Hebdo pada 7 Januari lalu. Anak yang bernama Ahmed itu, kemudian di interorgasi polisi Prancis.
Diberitakan RT pada Kamis (29/1), Ahmed menolak berpartisipasi dalam aksi hening selama satu menit di sekolahnya untuk mengenang rentetan teror yang akhirnya menewaskan 17 orang di Paris. Melihat sikap Ahmed, pihak sekolah merasa khawatir dan akhirnya melapor ke pihak kepolisian.
"Dalam konteks sekarang, kepala sekolah memutuskan untuk melaporkan kepada polisi apa yang terjadi. Kami menanyakan kepada anak itu dan ayahnya untuk mencoba mengerti bagaimana seorang anak delapan tahun bisa memiliki pemikiran radikal seperti itu. Namun, anak itu tidak mengerti apa yang ia katakan," ungkap Kepala Keamanan Publik Kota Nice, Perancis, Marcel Authier.
Ketika ditanya bagaimana tanggapannya terhadap penyerangan di kantor Charlie Hebdo, Ahmed melontarkan jawaban yang cukup mengejutkan. "Ia menjawab, 'Saya berada di pihak teroris, karena saya menentang karikatur Nabi’,” tutur pengacara Ahmed, Sefen Guez Guez, kepada televisi Perancis, BFMTV seperti dikutip RT.
Namun, ketika ditanya mengenai terorisme, Ahmed mengaku tidak tahu. Memberikan pembelaan, Guez kembali berkata, "Kantor polisi jelas bukan tempat bagi anak berusia delapan tahun."
Melalui sebuah kicauan dari akun Twitter pribadinya, Guez juga meluruskan beberapa hal. "Anak ini membantah mengatakan, "Mati untuk Perancis.' Ia hanya mengaku mengatakan, "Saya di pihak teroris.'" kicau Guez.
Organisasi Collective Against Islamophobia in France (CCIF) juga akhirnya memberikan komentar mengenai kejadian ini melalui sebuah pernyataan.
"Ayah dan anak itu sangat terkejut dengan perlakuan ini, yang menunjukkan histeria kolektif yang telah melingkupi Perancis sejak awal Januari," demikian bunyi pernyataan CCIF.
Kemiskinan Dikalangan Imigran
Dibagian lain, banyak pengamat politik dan ekonomi, yang mencari latar belakang aksi serangan kelompok Islamis bersenjata mematikan di Paris yang terjadi Perancis berpusat pada upaya melawan Islam radikal dan memperkuat tradisi sekular negara itu.
Namun di “cites”, kompleks rumah susun kumuh yang menjadi tempat ketiga penembak itu tumbuh dan besar, banyak penghuni yang mengatakan ketidakacuhan pemerintah terhadap mereka merupakan penyebab utama.
“Tidak semua penghuni di sini penjual narkoba, perampok bank dan bahkan jihadis,” ujar Yamine Ouassini, warga berusia 28 tahun yang merupakan generasi kedua imigran asal Afrika Utara.
Satu dekade lalu dia ikut dalam aksi kerusuhan di Aulnay-Sous-Bois, sekitar 30 menit sebelah timur laut Paris, sebagai protes atas kesuraman kehidupan di kompleks rusun kumuh yang miskin di perkotaan Perancis.
Kini dia seorang ahli listrik tetapi tidak punya pekerjaan, dan dia menegaskan bahwa tidak ada perubahan apapun. “Masalah di Perancis bukan sekularisme atau Islam, masalahnya adalah penangguran. Itu masalah sebenarnya dan kita tidak boleh menyembunyikannya di balik isu lain.”
Aulnay, yang mirip dengan berbagai kota kecil berupa kompleks rusun kumuh yang ada di sekeliling kota-kota di Perancis, menjadi pusat kerusuhan pada 2005 yang bertujuan menjadi satu peringatan. Satu kompleks rumah susun kumuh yang terletak hanya beberapa kilometer dari pusat kota. Dan anak-anak pun lebih banyak bermain bola daripada bersekolah.
Sebagian besar penghuninya merupakan keturunan warga asal Afrika Utara dan Afrika sub-Sahara, yang selama bertahun-tahun hidup bersama.
Hampir satu dari dua keluarga adalah ibu tunggal atau tanpa figur ayah. Satu dari lima penghuni tidak bekerja, naik dari angka satu dari tiga untuk angkatan kerja usia 15-24 tahun. Dua kali lebih besar dari angk rata-rata nasional.
Dalam beberapa tahun jumlah dana telah digelontorkan, dan terlihat sejumlah rusun yang dirobohkan dan diganti dengan unit-unit bertingkat lebih rendah. Auditor pemerintah mengatakan bahwa pada 2012 lebih dari 42 miliar euro dialokasikan untuk renovasi perumahan perkotaan di seluruh wilayah Perancis.
Pengeluaran untuk sektor umum anggaran Perancis mencapai sekitar 56 persen dari produksi nasional, salah satu yang tertinggi di Eropa. Tetapi di cites, yang dipersoalkan adalah ketidakhadiran pemerintah.
Sistem pendidikan dinilai tidak sesuai dengan keperluan karena mengarahkan para remaja untuk melakukan pekerjaan kasar bukan menjadi pekerja profesional. Di sejumlah tempat jumlah guru terlalu sedikit dan pemerintah daerah kewalahan, sehingga tempat pertemuan sosial pun hancur. Para pejabat di lapangan mengatakan Paris tidak mendengarkan keluhan mereka.
“Kami diperintahkan menjelaskan nilai-nilai Perancis kepada murid, dan bahwa semua warga negara memiliki kesetaraan, tetapi mereka melihat bahwa hal itu tidak terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Mereka melihat kakak mereka menganggur, atau orangtua yang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup,” ujar Lahoucine Belkaid, guru sejarah dan geografi di Aulnay.
“Saya besar di sini, tetapi saya mendapat kesan murid sekarang tidak mau mendengar yang kami ajarkan. Bagi mereka, kita hidup dalam dua dunia yang berbeda.”
Prancis yang dikenal memiliki budaya mode yang sangat digemari oleh para selibriti yang tak pernah berhenti itu, menyimpan kehidupan yang sangat kontradiktif, dan penuh dengan antagonisme.
Di mana kelompok masyarakat kota Paris yang kaya raya, dan terus menikmati gemerlapnya kehidupan, sebaliknya rakyat Prancis, yang merupakan pendatang hidup dengan penuh kemiskinan.
Namun, masalah yang paling pokok masyarakat Prancis yang sekuler dan liberal itu, sudah berani menghina manusia yang sangat mulia yang setiap saat didoakan ratusan juta Muslim yaitu Nabi, dan mereka mendapatkan pelajaran berharga. (dimas/dbs/voa-islam.com)