View Full Version
Jum'at, 06 Feb 2015

Raja Salman Akan Memelopori Rekonsiliasi Dengan Jamaah Ikhwan?

RIYADH (voa-islam.com) -  Pasca Arab Spring di beberapa negara di Timur Tengah yang kini arahnya semakin tidak jelas, ditambah tragedi kudeta militer di Mesir 30 Juni 2013 silam.
 
Kini negara-negara Timur Tengah dilanda krisis percaya diri, dan berada dalam kekacauan.
 
Satu-satunya yang terus bergerak maju, terlepas dari kontroversi dunia internasional terhadapnya, hanyalah Iran.
 
Khusus untuk kawasan Teluk, kumpulan negara kaya minyak tersebut pasca Arab Spring berada dalam kondisi tertekan dan minim kekuatan menghadapi super power Iran di kawasan itu.
 
Walaupun Saudi Arabia memiliki hubungan baik dan merupakan sekutu terdekat Amerika Serikat di kawasan Timur Tengah, namun dibawah kepemimpinan Raja Abdullah negara kaya tersebut tidak bisa berbuat banyak.
 
Padahal sebagai pemimpin negara Teluk dan kiblat umat Islam dunia, Saudi Arabia diharapkan memainkan peran lebih penting menangkal pengaruh Iran yang semakin luas di Timur Tengah.
 
Kudeta di Yaman baru-baru ini terjadi menjadi bukti bagaimana kekuatan Iran untuk mengusai kawasan Timur Tengah dari segala sisi terutama militer dan ekonomi bukan omong kosong.
 
Lewat milisi Syi'ah Hauthi Iran berhasil menguasai Yaman. Sebelumnya Iran sudah menancapkan kuku di Suriah, Libanon dan ada kemungkinan Kuwait segera menyusul. Satu persatu negara arab jatuh seperti kartu 'domina', dan kemudian masuk kedalam ‘kantong' Iran.
 
Pada awalnya, bagi-bagi kekuasaan antar negara kuat di Timur Tengah diprediksi banyak kalangan menjadi solusi ketegangan, dalam hal ini Saudi Arabia dan Iran, tentu dengan dukungan Amerika Serikat dan Eropa.
 
Namun peta politik di kawasan sepertinya berubah dan menjadi sedikit lebih rumit ketika Raja Abdullah meninggal. Tampuk kekuasaan yang sekarang dipegang Raja Salman dinilai akan membawa perubahan signifikan di kawasan.
 
Walaupun ketika Arab Spring meletus, Saudi Arabia dibawah komando raja Abdullah memilih mendukung rezim lama, seperti di Mesir misalnya. Tetapi sudah menjadi rahasia umum, Iran adalah ancaman lama bagi Saudi Arabia.
 
Gesekan dua negara minyak tersebut bukan hanya memperebutkan ‘kue’ negara di kawasan, lebih dari itu, ketidak harmonisan dua negara tersebut juga dipicu gengsi dua peradaban, Persia dan Arab.
 
Bagaimanapun, Saudi Arabia adalah kiblat umat Islam di dunia. Tentu semacam kewajiban bagi Saudi Arabia untuk mempertahankan posisi terhormat tersebut.
 
Iran, walaupun memakai nama Islam dalam negaranya, yaitu Republik Islam Iran, tetapi posisi dua negara tersebut sangat berbeda di hati umat Islam, belum lagi isu Sunni-Syiah yang membuat cita rasa keduanya sangat berbeda.
 
Misi Iran menguasai kawasan Timur Tengah, dan tentu akan berdampak terhadap negara teluk yang dipimpin Saudi Arabia, baik secara politik maupun ekonomi.
 
Ketika milisi syiah Hauthi berhasil menduduki Yaman beberapa waktu lalu, negara teluk langsung menggelar pertemuan di Abu Dhabi, guna membahas langkah yang akan ditempuh untuk menghadang lajunya pengaruh Iran.
 
Saudi Arabia, Uni Emirat Arab, Bahrain, Kuwait, Qatar dan Oman yang tergabung dalam kerja sama negara teluk (GCC) tentu tidak ingin kekuasaan mereka terancam dengan semakin menguatnya pengaruh Iran.
 
Karena itu mereka bersatu untuk menghadang, dibawah komando Saudi Arabia, yang sekarang komando itu ada di pundak raja Salman.
 
Raja Salman menjadi harapan para pemimpin negara teluk untuk lebih berani keras terhadap Iran. Dengan bantuan Amerika Serikat, negara teluk berharap Saudi Arabia bisa menekan Iran dan melindungi kekuasaan mereka dari hal serupa yang terjadi di Yaman.
 
Saya pribadi termasuk orang yang percaya bahwa raja Salman akan menempatkan Iran sebagai musuh utama dibandingkan musuh Saudi Arabia lainnya, yaitu Ikhwanul Muslimin di Mesir. Namun dalam waktu bersamaan raja Salman juga akan tetap menjaga Saudi Arabia dari pengaruh gerakan Ikhwanul Muslimin.
 
Disinilah titik perbedaan politik mendiang raja Abdullah dengan raja Salman, pada penempatan siapa yang akan dihabisi terlebih dahulu. Mendiang raja Abdullah menghabisi Ikhwanul Muslimin dengan mendanai kudeta di Mesir, dan sedikit berdamai dengan Iran untuk sementara waktu.
 
Berbeda dengan raja Salman, walaupun saya tidak terlalu yakin raja Salman berani melakukan konfrontasi ‘jantan’ melawan Iran, tetapi setidaknya dia akan lebih keras dibanding pendahulunya, raja Abdullah, dan akan sedikit berkompromi dengan Ikhwanul Muslimin, dengan syarat tidak saling mengganggu.
 
Dalam agenda raja Salman kedepan melawan Iran, tentu Saudi Arabia tidak bisa melakukannya sendiri, mengharapkan bantuan negara teluk lainnya agak mustahil, karena sifat pemimpin negara teluk cenderung lebih memilih cari aman.
 
Mempertaruhkan kekuasaan untuk melawan Iran sangat berisiko, jadi posisi negara Teluk lebih menunggu langkah berani Saudi Arabia, sedangkan mereka membantu dari jauh. Solusinya raja Salman mau tidak mau harus mencari sekutu lain yang kekuatan militer dan ekonominya memadai.
 
Erdogan

Kehadiran Erdogan dalam pemakaman raja Abdullah beberapa waktu lalu cukup menarik. Jadwal Erdogan yang seharusnya berkunjung ke Somalia ditunda demi menghadiri prosesi pemakaman Raja Abdullah, padahal selama ini Turki dikenal sering berseberangan sikap dengan Saudi Arabia.
 
Ada yang mengatakan Erdogan adalah sekutu yang dilirik raja Salman untuk menghadapi Iran. Dengan kekuatan ekonomi dan militer yang dimiliki Turki, koalisi dua negara tersebut cukup menjanjikan, ditambah kesiapan Qatar untuk bergabung.
 
Turki pada dasarnya memiliki kepentingan untuk menekan Iran, terutama dalam kasus Suriah dan perbatasan.
 
Jika poros Riyadh-Ankara-Doha ini benar-benar terbentuk, tentu memiliki konsekuensi. Saudi Arabia diperkirakan akan mengganti haluan politiknya terhadap Ikhwanul muslimin di Mesir, sebagai imbalan untuk sekutu barunya Turki.
 
Erdogan dikenal sebagai anak ideologis Ikhwanul Muslimin, penentang kudeta nomor wahid di Mesir, dan sampai sekarang  Erdogan tidak mengakui al-Sisi. Ini tentu ancaman bagi negara Teluk lainnya terutama Uni Emirat Arab, dan kemungkinan pecah kongsi dalam tubuh GCC akan sangat terbuka.
 
Uni Emirat Arab akan meninggalkan Saudi Arabia kemudian membangun poros Dubai-Al-Manama-Cairo.
 
Uni Emirat Arab tidak akan membiarkan Saudi Arabia dan Turki melemahkan pemerintahan As-Sisi di Mesir dengan membantu perjuangan Ikhwanul Muslimin. Kekacauan di Mesir merupakan ‘nafas’ bagi Uni Emirat Arab.
 
Selama ini Uni Emirat Arab selalu ketakutan jika kondisi Mesir kondusif, karena akan berdampak terhadap ekonomi negara tersebut terutama sektor pariwisata.
 
Namun kedua poros ini umurnya sangat dinamis, sekuat apa perlawanan penentang kudeta di Mesir. Ketika pemerintah kudeta di Mesir tumbang, kemungkinan akan ada peta baru diluar dua poros tersebut.
 
Namun,  isyarat juga datang dari Tunisia. Di mana pemimpin Jamaah Ikhwan Tunisia, Prof. Rashid Ganoushi, mengatakan bahwa dia telah meminta Raja Salman bin Abdul Aziz memelopori rekonsiliasi antara para pemimpin Arab dengan Ikhwan, khsusus di Mesir. Benarkah ini akan terjadi? Wallahu'alam.
 
* hasmi Bachtiar/abimantrono (Alumni Al-Azhar Mesir, Saat ini menempuh S2 di Lille Perancis Jurusan Hubungan Internasional).
 
 

latestnews

View Full Version