View Full Version
Rabu, 18 Feb 2015

Hilangnya Harapan Rakyat Indonesia Terhadap Mega, PDIP, Jokowi?

JAKARTA (voa-islam.com) - Berapa banyak energi rakyat terkuras hanya karena konflik antara Polri-KPK? Jokowi tidak memiliki keputusan. Membiarkan kondisi konflik antara Polri-KPK berlarut-larut. Pemerintah berjalan tidak efektif. Dibayangi konflik Polri-KPK.

Sejak awal Jokowi sudah salah. Jokowi sudah tahu pencalonan Budi Gunawan sebagai Kapolri, pasti akan menimbulkan masalah besar. Sebelumnya Budi Gunawan sudah masuk  daftar calon menteri, dan mendapatkan ‘red notice’ oleh KPK.

Mengapa Jokowi kembali mencalonkan  Budi Gunawan sebagai Kapolri? Kemudian pencalonan Budi Gunawan itu, mendapatkan penolakan oleh KPK, dan Budi Gunawan oleh KPK dijadikan tersangka. Ini menjadi masalah besar, dan  tidak pernah selesai dan habis.

Jokowi dalam posisi tidak memiliki ‘diskresi’ (kewenangan) sebagai presiden. Karena ‘diskresi’ (kewenangan) itu berada di  tangan Mega dan PDIP. Jokowi tidak dalam posisi bisa menolak atas semua titah Mega. Ini sudah sangat jelas dengan dicalonkannya Budi Gunawan sebagai calon tungggal Kapolri.

Jokowi  berusaha menghindar dari tekanan Mega dan PDIP, dan membentuk ‘TIM 9’, tapi Jokowi tidak memberikan ‘otoritas’ apapun kepada ‘TIM 9’, karena dikebiri sendiri oleh Jokowi, karena dia sebagai Presiden tidak pernah mengeluarkan Kepres kepada ‘TIM 9’. Jadi ‘TIM 9’ hanya menjadi tempat ‘curhat’ atau ‘ngobrol’ Jokowi, tanpa ada nilai politiknya.

Jokowi mencoba mendekati  tokoh-tokoh KMP (Koalisi Merah Putih), tapi Jokowi yang oleh Mega disebut hanya ‘PETUGAS PARTAI’, tidak berani melakukan ‘jumping’ (melompat), dan meninggalkan Mega dan PDIP yang telah menghadiahi dirinya sebagai ‘calon presiden’, memperjuangkannya sampai Jokowi terpilih, dan sekarang menempati Istana.

Pertarungan semakin dramatik antara Polri-KPK, saat Mabes Polri menjadikan Ketua KPK, Abraham Samad, kemudian menjadi tersangka. Dibumbuhi dengan ‘testemoni’ PLT Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, tentang berbagai pertemuan antara Abraham Samad dengan sejumlah elite PDIP, ketika Mega ingin mencari pendamping Jokowi.

Puncaknya, Budi Gunawan mengajukan gugatan pra-peradilan di Pengadilan Jakarta Selatan, dan Budi Gunawan menang. Inilah persoalan yang semakin rumit, karena dengan kekuatan hukum itu, Budi Gunawan dinyatakan tidak bersalah, dan status Budi Gunawan yang dijadikan tersangka oleh KPK, otomatis batal. Budi Gunawan bersih dari semua tuduhan dugaan korupsi.

Sekalipun, keputusan Pengadilan Jakarta Selatan itu, tidak akan bisa mengubah persepsi dan  keyakinan rakyat terhadap sejumlah perwira Polri, termasuk Budi Gunawan yang diduga memiliki rekening gendut.

Sekarang  keputusan hanya tinggal di tangan Jokowi,  selaku presiden, melantik atau tidak melantik.

Tidak melantik Budi Gunawan akan menghadapi resiko  politik yang tidak kecil,  di mana Jokowi pasti akan menghadapi PDIP, KIH, dan Mega. Sebaliknya, jika melantik Budi Gunawan sebagai Kapolri, maka Jokowi akan menghadapi opini publik,  rakyat dan berujung gerakan rakyat, serta ini bisa sulit diprediksi kesudahan dampak politiknya.

Tentu, resiko  yang paling besar bagi Mega, PDIP, dan Jokowi, akan kehilangan kepercayaan ‘trust’ dari rakyat. Terutama pemilih. Bagaimana logika yang menjadi dasar Mega, PDIP, dan Jokowi, terus berusaha menjadikan Budi Gunawan sebagai Kapolri? Ini tidak ditemukan logikanya. Kendatipun Budi Gunawan memenangkan pra-peradilan di Pengadilan Jakarta Selatan.

Rakyat bukan hanya kehilangan ‘trust’ kepada Mega, PDIP, dan  Jokowi, yang saat kampanye memiliki komitmen memberantas korupsi, dan Jokowi sebagai sosok yang sederhana, jujur, dan pro-rakyat, justru membuat kebijakan dan keputusan yang sangat paradok dibidang hukum dengan  memilih Budi Gunawan.

Sedihnya bagi seluruh rakyat Indonesia, KPK yang lahir di era Reformasi, justru mati ditangan  Jokowi.  Memang,  Mega,  PDIP,  dan Jokowi dalam tahap konsolidasi kekuasaannya, instrument hukum  mereka kuasai semua. Seperti MK (Mahkamah Konstitusi), Kejaksaan, dan Kepolisian. Tiga pilar kekuasaan Jokowi sekarang sedang  ditata dan dikonsolidasikan.  

Sementara itu, KPK yang  menjadi ancaman harus dihancurkan, dibonsai, dan tidak memiliki  kekuatan apapun, termasuk penindakan, sesudah revisi undang-undang KPK  nanti. Sehingga, KPK tidak mangganggu kekuasaan yang sedang dibangun oleh rezim oligarki  yang dipimpin oleh Mega  dan PDIP.

KPK memang akan mengangkat masalah besar, seperti BLBI yang akan menyentuh Mega. Ini bisa menjadi ‘kiamat’ bagi Mega dan PDIP. Begitulah  nasib KPK. Nasibnya mati  ditangan kaum oligarki yang sekarang berkuasa. Mereka tidak ingin terganggu. Wallahu’alam. [email protected]


latestnews

View Full Version